16 Maret 2012 | By: nsikome

REALITA (1)

Image: www.radovan.bloger.cz 

REALITA (1)

Melangkah diatas kepingan duka,
Telapak kaki teriris perih, hati tak peduli!
Sebab kembali atau pergi,
Adalah serupa dan akan tetap sama....

Tak ada cara untuk berhenti
Hanya berjalan dan terus melangkah,
Hingga diujung asa....

Ikuti duka, atau mungkin sengsara?
Sampai tak ada lagi nyawa diraga...

Hanya bisa terus menapak tanpa arah,
Mencari jalan sedih, atau mungkin bahagia
Bila itu, masih ada yang tersisa...

(Paris, 28 February 1998)



13 Maret 2012 | By: nsikome

KETIKA HARUS MEMILIH


Image : www.sharondrewmorgen.com 

KETIKA HARUS MEMILIH


Oleh :  N.Sikome

            “ Hallo.... selamat malam, bisa bicara dengan Ade ? “ sebuah suara halus menyapa diujung telepon. Sejenak Ade tersentak, suara itu begitu sangat dia kenal. Ingatan cowok itu seperti mengalami sebuah pemutaran film flashback. Kejadian-kejadian yang terekam dalam ingatannya tentang dia dan pemilik suara halus itu seperti mengambang ke permukaan memorinya dan mulai melintas cepat satu persatu.
“ Hallo... ?! “ suara itu terdengar resah. Mungkin karena tak kunjung mendengar jawaban dari lawan bicaranya. Ade tersentak dari lamunan flashback-nya.
“ Apa kabar, Ta ? “ tercetus begitu saja kalimat itu dari mulut Ade.
“ Kamu masih mengenali suaraku, De ? “ gadis di ujung telepon di seberang kedengaran heran
“ Tentu saja... bagaimana mungkin aku bisa melupakan seorang gadis yang dulu sangat aku sayangi, tapi kemudian dia pergi meninggalkan aku sendirian tanpa pesan apa-apa ? “ suara Ade terdengar getir. Terdengar desah pendek dari seberang.
“ Maafkan aku, boleh kita bertemu ? “ tanya gadis itu ragu-ragu. Tanpa pikir panjang, Ade langsung mengiyakan ajakannya.
“ Kalau begitu, besok aku akan menunggu-mu di  Sunset Café, jam 5 sore... “ dia lalu menyudahi percakapan itu. Saat meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya, Ade kelihatan seperti orang yang kehilangan arah.
“ Telepon dari siapa, Kak ? “ Stevy adiknya ternyata sudah pulang sekolah. Ade hanya menggeleng pelan, lalu  masuk ke kamarnya, diikuti oleh pandangan heran adik kecilnya.
            Mata Ade menerawang ke langit-langit kamarnya, teringat kembali peristiwa 2 tahun yang lalu. Octa. Seorang gadis yang dengan seluruh pesonanya telah mencuri hati Ade, dan membawanya pergi bersama dengan keberangkatannya ke Boston, untuk melanjutkan sekolah.
Selama hampir setahun Ade seperti orang gila, tak tahu harus berbuat apa setelah Octa pergi. Rasa benci, marah dan rindu bercampur menjadi satu dalam benak dan hati cowok itu. Yang lebih menyakitkan adalah bahwa Octa pergi tanpa memberitahukan apa-apa pada Ade. Dia sendiri baru mengetahui kepergian gadis itu keesokan harinya setelah Octa telah meninggalkan Indonesia. Perlahan cowok berlesung pipi itu memejamkan matanya, ada rasa sakit yang sukar untuk dijelaskan tiba-tiba muncul di ulu hatinya, seperti dua tahun yang lalu.
            Gadis itu tak berubah. Dia masih saja seperti dulu, dengan tubuh jangkung dan wajah tirus serta mata boneka yang dulu sangat disukai Ade. Satu-satunya yang berubah hanya warna kulitnya, jadi lebih putih. Mungkin karena cuaca di Boston. Tapi Ade harus mengakui kalau kini Octa terlihat lebih cantik, walau agak pucat sedikit.
“ Sudah lama nunggunya, Ta ?  sorry terlambat, ya...di jalanan ada kecelakaan, jadi macetnya agak lama “ Ade meminta maaf. Sore itu, Octa kelihatan sangat cantik dalam balutan kemeja lengan pendek berwarna biru cerah dan celana jeans kasual. Gaya berpakaiannya pun tak berubah, bisik Ade pada dirinya sendiri.
“ Kamu mau minum apa, De ? “ tawar Octa. Ade hanya menggeleng. Bukan apa-apa, sejak dari rumah tadi dia sudah memutuskan untuk berbicara dengan Octa, langsung pada pokok pembicaraan yang diinginkan gadis itu jika dia tiba di Café.
“ Kamu mau apa ketemu denganku, Ta ? “ tembak Ade, yang tak hanya membuat Octa kaget, namun juga membuat dirinya sendiri heran dengan nada suaranya yang agak kasar itu.
“ Kamu marah padaku, ya ? “ Octa bertanya, namun gadis itu menunduk. Seperti takut untuk menatap wajah cowok dihadapannya. Emosi Ade tiba-tiba saja langsung meledak mendengar pertanyaan Octa.
“ Kamu bertanya apa aku marah, Ta ? kamu ini punya perasaan nggak, sih ? dua tahun yang lalu kamu tinggalin aku tanpa pesan apa-apa, dan sekarang seenaknya saja kamu minta bertemu cuma untuk  bertanya apa aku marah ?!! “ mata Ade melotot ke arah Octa, yang kini semakin menunduk.
“ Aku mau ngomong jujur sama kamu, Ta. Aku memang marah sama kamu, tapi sekarang karena kita berdua sudah bertemu, aku mau tanya sama kamu, mengapa kamu pergi tanpa meninggalkan pesan apa-apa sama aku ? “ nada suara Ade melemah. Octa mengangkat kepalanya, dan langsung saja Ade bisa melihat ada airmata yang jatuh ke pipi gadis itu.
“ Aku hanya capek, De. Aku bosen tiap hari ngingetin kamu untuk berhenti dari kebiasaan burukmu yang tiada hari tanpa mabuk bersama dengan geng kamu itu. Aku bosen tiap kali kamu ngumpul sama mereka sepulang sekolah, aku kamu jadiin patung buat ngejagain kamu mabuk-mabukkan. Dan yang paling parah lagi, aku seperti nggak ada artinya buat kamu, sebab semua yang aku katakan seperti tak pernah kamu dengarkan !! “ terlontar keluar semua isi hati Octa juga akhirnya. Ade tertegun mendengar semuanya. Kembali kejadian-kejadian dimasa lalu mengalir dalam ingatannya, dan kali ini rasa marah yang ada dalam hatinya berubah menjadi penyesalan. Octa memang benar. Namun mengapa waktu itu Ade begitu buta dan bahkan tak bisa melihat kesalahannya sendiri tapi malah menyalahkan gadis itu ?
Diakuinya, bahwa dulu semasa SMU kelakuannya tidaklah membanggakan. Kerjanya hanya selalu mabuk-mabukkan bersama geng-nya di sekolah. Dan selalu ada Octa yang menemaninya, saat dia termuntah-muntah akibat terlalu banyak alkohol yang ditenggaknya, gadis itu tetap setia memapahnya dan bersamanya hingga pengaruh minuman keras itu menghilang dan akhirnya dia bisa pulang ke rumahnya lagi. Tiba-tiba ada rasa malu yang merambati hati cowok itu, bercampur dengan penyesalan.
“ Maafkan aku, Ta... tapi kini aku sudah berubah. Aku tak lagi seperti dulu__ “
“ Aku tahu, bahkan aku juga tahu bahwa kini kau punya gadis lagi... “ potong Octa.
“ Ta, kupikir dulu itu kamu sudah melupakan aku, hingga saat aku bertemu Vetsi kuputuskan untuk mencoba menata kembali hidupku. Tapi kini kau telah kembali, dan aku... aku ingin bersamamu lagi... “ tersendat-sendat Ade mengucapkan kalimat itu.
“ Bagaimana dengan dia ? “ tanya Octa
“ Beri aku waktu, Ta. Aku akan mencoba untuk bicara baik-baik dengannya, setelah itu, aku ingin bersamamu, selamanya... “ Ada senyum cerah tersungging di bibir Ade, dia bahagia.
 “ Si, baru pulang kerja, ya ? “ Ade menyodorkan sebotol air dingin pada Vetsi. Gadis itu kelihatan lelah.
“ Iya... ternyata kuliah sambil kerja itu susah, ya ... “ keluh Vetsi sembari menghenyakkan pantatnya di kursi teras rumah Ade.
“ Si... aku mau ngomong sama kamu...ehm...begini... aku pikir, mungkin sebaiknya kita berdua..begini... __ “
“ Kamu itu, mau ngomong kok susah amat, lagi sariawan ya ? “ canda Vetsi sambil tertawa gemas. Ade seperti tengah menelan segenggam kerikil tajam, dia tak mampu untuk bersuara. Tanpa mereka berdua sadari, dari balik rimbunan perdu di pagar rumah Ade, ada sepasang mata yang tengah memperhatikan keduanya.
            Ade resah. Sudah berkali-kali dia menelpon ke HP Octa, tapi tak di aktifkan, di telpon ke rumah, tak ada yang mengangkat. Akhirnya cowok itu memutuskan untuk mengunjungi gadis itu. Setibanya disana, betapa kagetnya cowok itu setelah tetangga sebelah rumah Octa memberitahukan kalau Octa sedang di rawat di rumah sakit. Tanpa pikir panjang, Ade langsung memacu motornya kesana.
Saat dia tiba disana, Octa tengah terbaring lemah di tempat tidur, dengan berbagai jenis selang tertusuk kedalam tubuhnya. Gadis itu sangat pucat.
“ Josh, Octa kenapa ? “ tanya Ade panik pada Joshte, sahabat karib Octa sejak dulu yang tengah duduk. Mata gadis itu sembab. Joshte  hanya menggeleng, lalu terisak lagi. Dari balik kaca, nampak Octa membuka matanya, Ade lalu melambaikan tangannya kearah gadis itu.
“ Siapa disini yang bernama Ade ? “ seorang suster keluar dan bertanya.
“ Memangnya ada apa, Sus ? “ tanya Mama Octa. Wanita itu sedari tadi hanya terisak sedih. Ade benar-benar terjepit ditengah-tengah suatu situasi yang sangat tak nyaman.
“ Octa ingin bicara dengannya... “ jawab suster itu. Bergegas Ade masuk kedalam ruangan ICU yang didominasi warna hijau mudah teduh.
“ Ta... kok kamu nggak bilang ke aku kalau kamu lagi sakit ? “ protes Ade pelan, dia meraih tangan gadis itu, dan mengecupnya pelan.
“ Kamu masih sayang aku, ya De.... “ tanpa menghiraukan protes Ade, Octa malah bertanya lain hal.
“ Tentu saja aku sayang kamu, bodoh.... aku hanya sayang kamu sejak dulu, dan sampai kapanpun.. “ ada air yang kini mulai mengaliri pipi Ade. Gadis yang biasanya selalu tegar itu kini terbaring tak berdaya dihadapannya.
“ Aku minta maaf karena membuatmu harus memilih salah satu dari aku dan Vetsi, sungguh bukan maksudku untuk membuatmu bingung, aku hanya ingin tahu seberapa besar cintamu padaku... “ kini Octa yang mulai menangis.
“ Ssssttt... kamu jangan nangis dong, Ta... jelek tau.... “ Ade mencoba untuk bercanda, tapi airmata malah mengalir lebih deras dari mata cowok itu. Octa meremas tangan Ade erat-erat.
“ Sini aku bisikkan sesuatu padamu... “ Ade lalu mendekatkan telinganya ke bibir Octa.
“ De... aku tak pernah berhenti mencintaimu sejak dulu dan sampai kapanpun juga. Kamu nggak usah bingung, karena sekarang kamu tak harus memilih... “ bisik Octa pelan, lalu genggaman tangannya melemah.
            Ade sendirian, terpekur di depan makam basah Octa. Gadis itu tak pernah membuatnya susah sejak dulu. Dia selalu ada dalam masa-masa sulit Ade semasa SMU. Namun Ade lupa, bahwa Octa hanyalah seorang manusia, yang mempunyai batasan-batasan dalam segala hal, termasuk kesabaran. 
Ketika gadis itu pergi ke Boston, Ade malah menuduh Octa sebagai pengkhianat yang hanya mau menang sendiri. Kini gadis itu telah pergi untuk selama-lamanya, ketika Ade harus memilih diantara Vetsi dan dirinya.
“ De... pulang, yuk... “ sebuah tangan menyentuh bahu Ade. Ternyata Vetsi.
“ Kamu udah lama disini, Si ? “ tanya Ade sembari menyeka sisa-sisa airmatanya. Dia lalu meraih tangan gadis itu, dan tak akan melepaskannya. Dia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti yang dia lakukan pada Octa. Membiarkan orang yang dicintai pergi, dan baru menyadari cinta itu ketika mereka tak lagi berada di sisi....
( To a very special person.... )
06 Maret 2012 | By: nsikome

LEARNING TO LOVE, AGAIN

Photo : www.myemospace.com

LEARNING TO LOVE, AGAIN

            Sialan!!..kenapa wajah ayu itu tidak juga menjauh dari ingatanku!? Rutuk Ophie sambil menjambak rambutnya sendiri. Sudah 2 bulan lebih semenjak dia putus dengan Endah, setelah 5 tahun menjalin kasih. Tak peduli dengan segala perbadaan yang mereka miliki, entah mengapa, cinta itu sepertinya begitu kuat melekat di hati mereka berdua, hingga akhirnya kenyataan pahit itu harus menghantam. Lelaki yang dulunya begitu tegar, dan penuh senyuman, kini berubah 160 derajat. Tidak ada lagi Ophie yang selalu menebar kegembiraannya kemana-mana, yang tertinggal hanya sesosok lelaki getir, yang terlihat awut-awutan dan selalu memancarkan kesedihan dari matanya. Bunyi dering handphone menyentakkan Ophie dari lamunan panjang tak berkesudahannya tentang Endah, gadis yang telah meremukkan hatinya.
“Halo!” jawab Ophie begitu terkoneksi
“Selamat malam Kak..boleh menganggu sedikit?” terdengar sebuah suara merdu diseberang sana.
“Ini siapa ya?” tanya Ophie setengah ketus.
“Ini Anggraini, Kak, yang di Sanggar Gets”
“Oh...ada apa?” Ophie masih menerka-nerka wajah si pemilik suara. Ada banyak anak-anak yang tergabung di sanggar Kelurahan bimbingan Ophie, kebanyakan dari mereka adalah perempuan, dan Ophie sampai sekarang masih susah untuk menghafal nama berikut wajah mereka.
“Saya boleh minta foto-foto kegiatan kita bulan kemarin, boleh ya Kak?” suara gadis itu terdnegar penuh harap. Ophie tak sampai hati untuk menolaknya.
“Boleh, besok dilatihan kamu bawa flash disk aja, nanti Kakak copy dari laptop!”
“Aduhhh..makasih banyak ya Kak...” suara gadis itu terdengar gembira, dan sambungan telpon pun ditutup. Ophie pun kembali pada lamunannya, yang lagi-lagi, masih tentang Endah.
“Kak, laptopnya nggak lupa, kan?” Anggraini menyongsong Ophie dipintu sanggar, ketika dia baru saja turun dari motornya. Ophie langsung ingat gadis itu. Siapa yang bisa lupa pada seorang gadis manis, yang hari pertama-nya ikut latihan teater di sanggar ditandai dengan robohnya pagar depan sanggar oleh mobilnya, yang dia bawa kabur dari rumah untuk belajar mengemudi?.
“Iya...” jawab Ophie pendek, lalu dia langsung melangkah masuk ke dalam ruangan sanggar bercat biru langit itu. Gadis itu mengekorinya, lalu langsung duduk disamping Ophie yang mulai menghidupkan laptopnya.
“Kak...boleh tanya nggak?” suara Anggrainy memecah keheningan. Ophie memalingkan wajahnya menatap gadis itu heran. Sebelumnya mereka tak pernah berbicara sebanyak ini, hanya sekedar bertegur sapa sebagai basa-basi belaka setiap kali bertemu di sanggar.
“Pacar kakak yang suka datang kesini, kok nggak kelihatan lagi?” tanya Anggraini lagi, sambil menyodorkan sebuah flash disk berbentuk tokoh kartun Sponge Bob. Pertanyaan gadis itu sungguh lancang menurut Ophie. Ingin rasanya dia memarahi Anggraini, namun ketika menatap wajah polos yang dihiasi sepasang lesung pipi yang indah itu, entah mengapa dia jadi tak tega.
“Sudah putus” Ophie menjawab sekena-nya.
“Ohhh..sori kak, Riny agak cerewet ya?”
“Nggak terlalu, kok” sungguh Ophie merasa heran dengan gadis itu, padahal mereka berdua sama sekali tidak akrab, namun cara dia mengutarakan pertanyaannya, membuat Ophie merasa nyaman untuk menjawab, meskipun hanya jawaban pendek seadanya.
“Jadi, kakak sekarang nggak punya pacar dong!” suara gadis itu terdengar sedikit menggoda, tak urung membuat Ophie tersenyum. Dia hanya membalas dengan menganggukkan kepalanya.
“Nih, foto-fotonya sudah kakak isi di flash disk kamu!” Ophie mengangsurkan flash disk itu kearah Anggariny.
“Makasih ya Kak...” begitu flash disk berada ditangannya, gadis itu langsung berdiri dan berjalan menuju ke arah kumpulan teman-teman se-sanggarnya yang sedang duduk menghafal naskah disudut ruangan.
Bukannya tidak ada gadis-gadis yang menyukainya. Terlalu banyak malah. Namun, sejak dia mengenal Endah sejak lima tahun yang lalu, Ophie lalu menetapkan hatinya hanya untuk gadis itu seorang, dan tak pernah terpikir olehnya, bahwa keadaan akan menjadi seperti sekarang ini. Endah, gadis mungil bermata sipit yang telah setia menemaninya selama lima tahun ini, tiba-tiba saja memutuskan tali cinta mereka secara sepihak, tanpa dia tahu apa yang menjadi penyebabnya.
Berulang kali dia mencoba untuk mencari tahu, bertanya pad Endah, namun hanya jawaban samar yang selalu dia dapatkan. Terakhir kali, ketika dia menelpon Endah, nomor handphone gadis itu sudah tidak aktif lagi. Rupanya dia sudah mengganti nomor HP nya. Dia tak ingin lagi Ophie menghubunginya.
“Ris, kamu kan sahabat dia, mana mungkin kamu tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi pada dirinya?” suara Ophie mendekati antara bicara dan berteriak. Ketika itu, dia mencoba untuk menanyai Mariska, teman sekantor Endah, dan juga merupakan sahabat baik gadis itu.
“Maafin aku Phie, meskipun aku sahabatan sama Endah, aku sama sekali tidak pernah mau ikut campur dengna urusan pribadinya” jawab Mariska diplomatis, membuat hati pemuda itu jadi lebih geram.
“Mana mungkin kamu nggak tahu apa-apa, Ris? Tolonglah...sedikit saja informasi tentang Endah, tentang mengapa dia memutuskan aku secara sepihak?”
“Dia sama sekali tidak pernah mau membicarakan tentang hal itu dengan aku, Phie. Kalau aku tahu, sudah pasti kamulah orang pertama yang akan aku berutahukan tentang semua itu!”
“Ada orang lain ya Ris? Dia punya kekasih lain, ya?” todong Ophie. Sejenak Mariska terdiam, dan seketika Ophie tersadar, dia kini mengerti mengapa Endah meninggalkannya. Dengan lunglai pemuda itu berjalan dan menaiki motornya, lalu berlalu dari hadapan Mariska secepat kilat.
            “Dia nanya sama kamu tentang aku, Ris? Terus,kamu bilang apa?” wajah Endah menampakkan kekuatiran, ketika Mariska bercerita tentang percakapannya dengan Ophie.
“Aku tidak ngomong apa-apa, Ndah. Cuman dia kelihatannya terpukul banget. Kamu sih keterlaluan, mutusin anak orang nggak ada perasaannya, ngomong kek ke dia apa alasannya, kalo perlu biar alasan yang dibikin-bikin juga nggak apa-apa. Kasihan aku ngeliat dia, Ndah!”  tukas Mariska panjang lebar. Endah tertunduk mendengar ucapan sahabatnya itu.
“Tapi dia baik-baik saja kan Ris?”
“Kamu masih khawatir tentang Ophie, Ndah? Kamu ini aneh banget deh, kalo emang masih sayang sama dia, kok kamu putusin dia sih?”
“Masalahnya tidak segampang itu, Ris, bukannya aku...” Ucapan Endah terpotong oleh sebuah suara klakson mobil yang sangat keras di depan kedua gadis itu.
“Endah, ayo!” seorang cowok berkulit putih menjulurkan kepalanya ke jendela mobil.
“Aku pulang dulu ya, Ris!” Endah langsung menaiki mobil sedan hitam itu, dan berlalu dari hadapan Mariska yang menghela nafas panjang.
            Ophie sedang sibuk membuat laporan mingguan pekerjaannya, ketika Mama melongok ke dalam kamarnya.
“Ophie, ada yang cari kamu, tuh!”. Siapa ya? Perasaaan dia tidak sedang janjian dengan Charles sahabatnya, pikir Ophie. Lagipula, jika itu memang Charles, sudah pasti dia tidak akan menunggu di depan dan langsung masuk ke kamar atau menuju ke ruangan makan dan mengobrak-abrik semua makanan yang ada disana. Dia kan salah satu sahabat Ophie yang tingkat kemaluannya lebih rendah dari sendal teplek milik Vita, adik Ophie!.
“Maaf ya Kak, tadi anak-anak sanggar kerumah bikin kolak duren, terus masih ada sisanya cukup banyak. Dari pada nggak abis dan jadinya mubazir, kata mereka di bagi aja sama kakak-kakak pengasuh” gadis itu mengangsurkan rantang makanan bercorak daun-daun hijau.
“Wahh...kalian repot-repot membawakan ini untuk kakak?” kolak duren adalah salah satu makanan favorit Ophie, yang mampu membuatnya tersenyum, segalau apapun pikirannya.
“Mana anak-anak yang lain?” tanya Ophie lagi.
“Sudah pulang kak, kebetulan saya lagi dipinjemin mobil sama Papa, jadi sekalian anterin kolaknya sama kakak!”
“Nggak nabrak pagar lagi kan dengan mobilnya?” goda Ophie. Riny, nama panggilan gadis itu hanya tersenyum. Entah mengapa, Ophie sangat menyukai senyum gadis itu.
“Aku pulang dulu ya, Kak. Sampai ketemu besok di sanggar!” Riny melambaikan tangannya, lalu pergi dengan mobilnya. Meninggalkan Ophie yang tersenyum senang. Kolak duren, Padahal tidak sedang musim durian!.
Tiga bulan berikutnya, entah bagaimana, Ophie menjadi semakin dekat dengan Riny. Gadis itu sepertinya enak juga di jadikan teman curhat. Tidak banyak bicara saat Ophie sedang bercerita sesuatu hal, membuat dia merasa sangat nyaman.
“Ihh..sudah nggak patah hati lagi, nih!” ledek Charles, sesama pengurus Sanggar merangkap sebagai sahabat baiknya meledek Ophie.
“Apaan sih?”
“Kamu dengan si Riny, lagi pedekate ya? Beneran udah lupa sama Endah?” tambah Charles dengan gaya usilnya yang biasa. Tiba-tiba, Ophie seperti ditampar wajahnya mendengar nama Endah disebut. Lagi-lagi, luka di hati itu seperti dirobek dan terbuka kembali.
“Kak, jadi nggak kita nongkrong di Karaoke?” terdengar sebuah suara lembut dari belakang. Ternyata Riny.
“Nggak!” jawab Ophie ketus, lalu meraih jaket kulitnya dan segera menuju parkiran. Motornya keluar dari situ dengan raungan keras. Meninggalkan seseorang yang mengamatinya dari balik jendela sanggar. Ada airmata yang jatuh di pipi yang berlesung indah itu.
Sebulan sudah, Ophie tak pernah lagi melihat Riny muncul di Sanggar. Entah mengapa, sepertinya ada yang hilang bersama dengan ketidak hadiran gadis itu.
“Riyo, kamu lihat si Riny nggak?” tanya Ophie pada salah seorang anak didiknya yang berpostur tubuh kerempeng.
“Dia ada dirumahnya, katanya dia tidak mau ikut latihan di Sanggar lagi!” jawab Riyo
“Kenapa?” tanya Ophie lagi. Riyo hanya mengangkat bahunya tanda tak tahu. Ophie makin resah.
“Halo, Riny ya?” Akhirnya dia memutuskan untuk menelpon gadis itu.
“Iya Kak Ophie, ada apa?” suara lembut itu menjawab, dan tiba-tiba saja, Ophie merasakan ada luapan kerinduan yang tiba-tiba muncul di hatinya.
“Kok kamu nggak pernah kelihatan di Sanggar lagi?”
“Takut hanya menganggu kakak” jawaban gadis itu sungguh menyentak hati Ophie. Dia sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. Lalu terlintas di benaknya, apa yang dia lakukan ketika terkahir kali bertemu dengan Riny. Dia membentak gadis itu.
“Rin, maafin kakak ya. Bukan maksud kakak untuk marah sama kamu yang kemarin di Sanggar itu. Kakak sama sekali nggak marah sama kamu!”
“Kakak marah sama kak Endah, kan?”
Pertanyaan gadis itu membuatnya terdiam, dia tak mampu untuk menjawab
“Aku bukan dia, selamat malam, Kak” lalu sambungan telpon terputus. Meninggalkan Ophie yang termenung, memikirkan apa yang dikatakan oleh gadis itu. Dia lalu memutuskan untuk menelpon gadis itu lagi.
“Rin, kamu mau nggak nonton sama kakak hari Sabtu nanti?” begitu tersambung, tanpa menunggu suara Riny terdengar, Ophie langsung bertanya.
“Hoiii!! Ini kakaknya, Riny lagi ke toilet!!” terdengar suara seorang cowok.
“Waduh!! Maaf ya..”
“Ihh!! Kak Randy kenapa sih? Main angkat telpon orang sembarangan, sini kembaliin hape Riny!”  terdengar suara Riny berteriak nyaring, mebuat Ophie langsung tersenyum.
“Halo?”
“Rin, ini aku, mau nggak nonton sama kakak hari Sabtu nanti? Kakak jemput jam 6 Sore dirumahmu ya?” Ophie mengulang pertanyaannya. Tidak ada suara diujung sana.
“Rin, maafin kakak ya..Please jawab pertanyaan kakak, ini udah yang kedua kalinya kakak menanyakan hal yang sama, tadi sama kakakmu yang menerima telpon, dan sama kamu” Ophie mencoba untuk mencairkan suasana. Sepertinya dia berhasil, karena terdengar suara cekikikan halus.
“Iya..jemput aku jam 7 ya!” sambungan telpon langsung dimatikan oleh gadis itu. Ophie pun bersorak di kamarnya.
“YES!!!!”
“Kak Ophieeee!! Jangan ribut dong...Vivi lagi belajar nih..besok ada ujian, tau!!” terdengar teriakan adiknya dari kamar sebelah.
“Ups!! Sorry Vi..”
Hari Sabtu tepat jam 6 sore, Ophie sudah menjemput Riny dirumahnya. Setelah sedikit berbasa-basi dengan orang tua gadis itu yang memang sudah dia kenal, jauh sebelum mengenal Riny bahkan, karena merupakan salah satu pengurus organisasi di Kelurahan bersama dengan Ophie, mereka berdua lalu menuju ke Bioskop.
“Kita nonton dulu ya Rin, nanti setelah itu baru kita makan, gimana?” tanya Ophie pada gadis itu, yang tengah duduk di boncengan motornya.
“Terserah kakak, deh. Riny sih nurut aja”
Begitu tiba diparkiran, Ophie langsung memarkir motornya. Ketika dia dan Riny hendak menuju ke pintu masuk utama, tiba-tiba di parkiran mobil, ada sesosok tubuh yang begitu dikenalnya, keluar dari sebuah sedan mewah berwarna hitam. Endah.
Gadis itu keluar, lalu diikuti oleh seorang pemuda tampan berkulit putih, yang langsung menggandeng tangan Endah dengan mesra.
“Kak..” suara Riny terdengar prihatin. Ophie memandang gadis itu, lalu tersenyum.
“Kakak baik-baik saja kok, kan ada kamu..”
Ophie berpikir, mungkin dia memang bukan yang terbaik untuk Endah. Mereka mungkin memang bukan jodoh. Untuk apa bersedih dan merusak diri karenanya?. Toh dia bisa belajar untuk mencintai seseorang lagi. Seseorang seperti Riny, yang tengah menggenggam tangannya erat sekarang ini.(NS/’12)

(Ayayayayay... to Ophie & Riny : Hope that life will treat both of you very well..Hehehehe)