Photo : www.myemospace.com
LEARNING TO
LOVE, AGAIN
Sialan!!..kenapa
wajah ayu itu tidak juga menjauh dari ingatanku!? Rutuk Ophie sambil
menjambak rambutnya sendiri. Sudah 2 bulan lebih semenjak dia putus dengan
Endah, setelah 5 tahun menjalin kasih. Tak peduli dengan segala perbadaan yang
mereka miliki, entah mengapa, cinta itu sepertinya begitu kuat melekat di hati
mereka berdua, hingga akhirnya kenyataan pahit itu harus menghantam. Lelaki
yang dulunya begitu tegar, dan penuh senyuman, kini berubah 160 derajat. Tidak
ada lagi Ophie yang selalu menebar kegembiraannya kemana-mana, yang tertinggal
hanya sesosok lelaki getir, yang terlihat awut-awutan dan selalu memancarkan
kesedihan dari matanya. Bunyi dering handphone menyentakkan Ophie dari lamunan
panjang tak berkesudahannya tentang Endah, gadis yang telah meremukkan hatinya.
“Halo!” jawab
Ophie begitu terkoneksi
“Selamat malam
Kak..boleh menganggu sedikit?” terdengar sebuah suara merdu diseberang sana.
“Ini siapa ya?”
tanya Ophie setengah ketus.
“Ini Anggraini,
Kak, yang di Sanggar Gets”
“Oh...ada apa?”
Ophie masih menerka-nerka wajah si pemilik suara. Ada banyak anak-anak yang
tergabung di sanggar Kelurahan bimbingan Ophie, kebanyakan dari mereka adalah
perempuan, dan Ophie sampai sekarang masih susah untuk menghafal nama berikut wajah
mereka.
“Saya boleh
minta foto-foto kegiatan kita bulan kemarin, boleh ya Kak?” suara gadis itu
terdnegar penuh harap. Ophie tak sampai hati untuk menolaknya.
“Boleh, besok
dilatihan kamu bawa flash disk aja, nanti Kakak copy dari laptop!”
“Aduhhh..makasih
banyak ya Kak...” suara gadis itu terdengar gembira, dan sambungan telpon pun
ditutup. Ophie pun kembali pada lamunannya, yang lagi-lagi, masih tentang
Endah.
“Kak, laptopnya
nggak lupa, kan?” Anggraini menyongsong Ophie dipintu sanggar, ketika dia baru
saja turun dari motornya. Ophie langsung ingat gadis itu. Siapa yang bisa lupa
pada seorang gadis manis, yang hari pertama-nya ikut latihan teater di sanggar
ditandai dengan robohnya pagar depan sanggar oleh mobilnya, yang dia bawa kabur
dari rumah untuk belajar mengemudi?.
“Iya...” jawab
Ophie pendek, lalu dia langsung melangkah masuk ke dalam ruangan sanggar bercat
biru langit itu. Gadis itu mengekorinya, lalu langsung duduk disamping Ophie
yang mulai menghidupkan laptopnya.
“Kak...boleh
tanya nggak?” suara Anggrainy memecah keheningan. Ophie memalingkan wajahnya
menatap gadis itu heran. Sebelumnya mereka tak pernah berbicara sebanyak ini,
hanya sekedar bertegur sapa sebagai basa-basi belaka setiap kali bertemu di
sanggar.
“Pacar kakak
yang suka datang kesini, kok nggak kelihatan lagi?” tanya Anggraini lagi,
sambil menyodorkan sebuah flash disk berbentuk tokoh kartun Sponge Bob. Pertanyaan
gadis itu sungguh lancang menurut Ophie. Ingin rasanya dia memarahi Anggraini,
namun ketika menatap wajah polos yang dihiasi sepasang lesung pipi yang indah
itu, entah mengapa dia jadi tak tega.
“Sudah putus”
Ophie menjawab sekena-nya.
“Ohhh..sori kak,
Riny agak cerewet ya?”
“Nggak terlalu,
kok” sungguh Ophie merasa heran dengan gadis itu, padahal mereka berdua sama sekali
tidak akrab, namun cara dia mengutarakan pertanyaannya, membuat Ophie merasa
nyaman untuk menjawab, meskipun hanya jawaban pendek seadanya.
“Jadi, kakak
sekarang nggak punya pacar dong!” suara gadis itu terdengar sedikit menggoda,
tak urung membuat Ophie tersenyum. Dia hanya membalas dengan menganggukkan
kepalanya.
“Nih,
foto-fotonya sudah kakak isi di flash disk kamu!” Ophie mengangsurkan flash
disk itu kearah Anggariny.
“Makasih ya
Kak...” begitu flash disk berada ditangannya, gadis itu langsung berdiri dan
berjalan menuju ke arah kumpulan teman-teman se-sanggarnya yang sedang duduk
menghafal naskah disudut ruangan.
Bukannya
tidak ada gadis-gadis yang menyukainya. Terlalu banyak malah. Namun, sejak dia
mengenal Endah sejak lima tahun yang lalu, Ophie lalu menetapkan hatinya hanya
untuk gadis itu seorang, dan tak pernah terpikir olehnya, bahwa keadaan akan
menjadi seperti sekarang ini. Endah, gadis mungil bermata sipit yang telah
setia menemaninya selama lima tahun ini, tiba-tiba saja memutuskan tali cinta
mereka secara sepihak, tanpa dia tahu apa yang menjadi penyebabnya.
Berulang kali
dia mencoba untuk mencari tahu, bertanya pad Endah, namun hanya jawaban samar
yang selalu dia dapatkan. Terakhir kali, ketika dia menelpon Endah, nomor
handphone gadis itu sudah tidak aktif lagi. Rupanya dia sudah mengganti nomor
HP nya. Dia tak ingin lagi Ophie menghubunginya.
“Ris, kamu kan
sahabat dia, mana mungkin kamu tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi pada
dirinya?” suara Ophie mendekati antara bicara dan berteriak. Ketika itu, dia
mencoba untuk menanyai Mariska, teman sekantor Endah, dan juga merupakan
sahabat baik gadis itu.
“Maafin aku
Phie, meskipun aku sahabatan sama Endah, aku sama sekali tidak pernah mau ikut
campur dengna urusan pribadinya” jawab Mariska diplomatis, membuat hati pemuda
itu jadi lebih geram.
“Mana mungkin
kamu nggak tahu apa-apa, Ris? Tolonglah...sedikit saja informasi tentang Endah,
tentang mengapa dia memutuskan aku secara sepihak?”
“Dia sama sekali
tidak pernah mau membicarakan tentang hal itu dengan aku, Phie. Kalau aku tahu,
sudah pasti kamulah orang pertama yang akan aku berutahukan tentang semua itu!”
“Ada orang lain
ya Ris? Dia punya kekasih lain, ya?” todong Ophie. Sejenak Mariska terdiam, dan
seketika Ophie tersadar, dia kini mengerti mengapa Endah meninggalkannya.
Dengan lunglai pemuda itu berjalan dan menaiki motornya, lalu berlalu dari
hadapan Mariska secepat kilat.
“Dia nanya sama kamu tentang aku,
Ris? Terus,kamu bilang apa?” wajah Endah menampakkan kekuatiran, ketika Mariska
bercerita tentang percakapannya dengan Ophie.
“Aku tidak
ngomong apa-apa, Ndah. Cuman dia kelihatannya terpukul banget. Kamu sih
keterlaluan, mutusin anak orang nggak ada perasaannya, ngomong kek ke dia apa
alasannya, kalo perlu biar alasan yang dibikin-bikin juga nggak apa-apa.
Kasihan aku ngeliat dia, Ndah!” tukas
Mariska panjang lebar. Endah tertunduk mendengar ucapan sahabatnya itu.
“Tapi dia
baik-baik saja kan Ris?”
“Kamu masih
khawatir tentang Ophie, Ndah? Kamu ini aneh banget deh, kalo emang masih sayang
sama dia, kok kamu putusin dia sih?”
“Masalahnya
tidak segampang itu, Ris, bukannya aku...” Ucapan Endah terpotong oleh sebuah
suara klakson mobil yang sangat keras di depan kedua gadis itu.
“Endah, ayo!”
seorang cowok berkulit putih menjulurkan kepalanya ke jendela mobil.
“Aku pulang dulu
ya, Ris!” Endah langsung menaiki mobil sedan hitam itu, dan berlalu dari
hadapan Mariska yang menghela nafas panjang.
Ophie sedang sibuk membuat laporan
mingguan pekerjaannya, ketika Mama melongok ke dalam kamarnya.
“Ophie, ada yang
cari kamu, tuh!”. Siapa ya? Perasaaan dia
tidak sedang janjian dengan Charles sahabatnya, pikir Ophie. Lagipula, jika
itu memang Charles, sudah pasti dia tidak akan menunggu di depan dan langsung
masuk ke kamar atau menuju ke ruangan makan dan mengobrak-abrik semua makanan
yang ada disana. Dia kan salah satu sahabat Ophie yang tingkat kemaluannya
lebih rendah dari sendal teplek milik Vita, adik Ophie!.
“Maaf ya Kak,
tadi anak-anak sanggar kerumah bikin kolak duren, terus masih ada sisanya cukup
banyak. Dari pada nggak abis dan jadinya mubazir, kata mereka di bagi aja sama
kakak-kakak pengasuh” gadis itu mengangsurkan rantang makanan bercorak
daun-daun hijau.
“Wahh...kalian
repot-repot membawakan ini untuk kakak?” kolak duren adalah salah satu makanan
favorit Ophie, yang mampu membuatnya tersenyum, segalau apapun pikirannya.
“Mana anak-anak
yang lain?” tanya Ophie lagi.
“Sudah pulang
kak, kebetulan saya lagi dipinjemin mobil sama Papa, jadi sekalian anterin
kolaknya sama kakak!”
“Nggak nabrak
pagar lagi kan dengan mobilnya?” goda Ophie. Riny, nama panggilan gadis itu
hanya tersenyum. Entah mengapa, Ophie sangat menyukai senyum gadis itu.
“Aku pulang dulu
ya, Kak. Sampai ketemu besok di sanggar!” Riny melambaikan tangannya, lalu
pergi dengan mobilnya. Meninggalkan Ophie yang tersenyum senang. Kolak duren,
Padahal tidak sedang musim durian!.
Tiga bulan
berikutnya, entah bagaimana, Ophie menjadi semakin dekat dengan Riny. Gadis itu
sepertinya enak juga di jadikan teman curhat. Tidak banyak bicara saat Ophie
sedang bercerita sesuatu hal, membuat dia merasa sangat nyaman.
“Ihh..sudah
nggak patah hati lagi, nih!” ledek Charles, sesama pengurus Sanggar merangkap
sebagai sahabat baiknya meledek Ophie.
“Apaan sih?”
“Kamu dengan si
Riny, lagi pedekate ya? Beneran udah lupa sama Endah?” tambah Charles dengan
gaya usilnya yang biasa. Tiba-tiba, Ophie seperti ditampar wajahnya mendengar
nama Endah disebut. Lagi-lagi, luka di hati itu seperti dirobek dan terbuka
kembali.
“Kak, jadi nggak
kita nongkrong di Karaoke?” terdengar sebuah suara lembut dari belakang.
Ternyata Riny.
“Nggak!” jawab
Ophie ketus, lalu meraih jaket kulitnya dan segera menuju parkiran. Motornya
keluar dari situ dengan raungan keras. Meninggalkan seseorang yang mengamatinya
dari balik jendela sanggar. Ada airmata yang jatuh di pipi yang berlesung indah
itu.
Sebulan sudah,
Ophie tak pernah lagi melihat Riny muncul di Sanggar. Entah mengapa, sepertinya
ada yang hilang bersama dengan ketidak hadiran gadis itu.
“Riyo, kamu
lihat si Riny nggak?” tanya Ophie pada salah seorang anak didiknya yang
berpostur tubuh kerempeng.
“Dia ada
dirumahnya, katanya dia tidak mau ikut latihan di Sanggar lagi!” jawab Riyo
“Kenapa?” tanya
Ophie lagi. Riyo hanya mengangkat bahunya tanda tak tahu. Ophie makin resah.
“Halo, Riny ya?”
Akhirnya dia memutuskan untuk menelpon gadis itu.
“Iya Kak Ophie,
ada apa?” suara lembut itu menjawab, dan tiba-tiba saja, Ophie merasakan ada
luapan kerinduan yang tiba-tiba muncul di hatinya.
“Kok kamu nggak
pernah kelihatan di Sanggar lagi?”
“Takut hanya
menganggu kakak” jawaban gadis itu sungguh menyentak hati Ophie. Dia sama
sekali tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. Lalu terlintas di
benaknya, apa yang dia lakukan ketika terkahir kali bertemu dengan Riny. Dia
membentak gadis itu.
“Rin, maafin
kakak ya. Bukan maksud kakak untuk marah sama kamu yang kemarin di Sanggar itu.
Kakak sama sekali nggak marah sama kamu!”
“Kakak marah
sama kak Endah, kan?”
Pertanyaan gadis
itu membuatnya terdiam, dia tak mampu untuk menjawab
“Aku bukan dia,
selamat malam, Kak” lalu sambungan telpon terputus. Meninggalkan Ophie yang
termenung, memikirkan apa yang dikatakan oleh gadis itu. Dia lalu memutuskan
untuk menelpon gadis itu lagi.
“Rin, kamu mau
nggak nonton sama kakak hari Sabtu nanti?” begitu tersambung, tanpa menunggu
suara Riny terdengar, Ophie langsung bertanya.
“Hoiii!! Ini kakaknya,
Riny lagi ke toilet!!” terdengar suara seorang cowok.
“Waduh!! Maaf ya..”
“Ihh!! Kak Randy
kenapa sih? Main angkat telpon orang sembarangan, sini kembaliin hape Riny!” terdengar suara Riny berteriak nyaring, mebuat
Ophie langsung tersenyum.
“Halo?”
“Rin, ini aku,
mau nggak nonton sama kakak hari Sabtu nanti? Kakak jemput jam 6 Sore dirumahmu
ya?” Ophie mengulang pertanyaannya. Tidak ada suara diujung sana.
“Rin, maafin
kakak ya..Please jawab pertanyaan kakak, ini udah yang kedua kalinya kakak
menanyakan hal yang sama, tadi sama kakakmu yang menerima telpon, dan sama kamu”
Ophie mencoba untuk mencairkan suasana. Sepertinya dia berhasil, karena
terdengar suara cekikikan halus.
“Iya..jemput aku
jam 7 ya!” sambungan telpon langsung dimatikan oleh gadis itu. Ophie pun
bersorak di kamarnya.
“YES!!!!”
“Kak Ophieeee!! Jangan
ribut dong...Vivi lagi belajar nih..besok ada ujian, tau!!” terdengar teriakan
adiknya dari kamar sebelah.
“Ups!! Sorry
Vi..”
Hari Sabtu tepat
jam 6 sore, Ophie sudah menjemput Riny dirumahnya. Setelah sedikit berbasa-basi
dengan orang tua gadis itu yang memang sudah dia kenal, jauh sebelum mengenal
Riny bahkan, karena merupakan salah satu pengurus organisasi di Kelurahan
bersama dengan Ophie, mereka berdua lalu menuju ke Bioskop.
“Kita nonton
dulu ya Rin, nanti setelah itu baru kita makan, gimana?” tanya Ophie pada gadis
itu, yang tengah duduk di boncengan motornya.
“Terserah kakak,
deh. Riny sih nurut aja”
Begitu tiba
diparkiran, Ophie langsung memarkir motornya. Ketika dia dan Riny hendak menuju
ke pintu masuk utama, tiba-tiba di parkiran mobil, ada sesosok tubuh yang
begitu dikenalnya, keluar dari sebuah sedan mewah berwarna hitam. Endah.
Gadis itu
keluar, lalu diikuti oleh seorang pemuda tampan berkulit putih, yang langsung
menggandeng tangan Endah dengan mesra.
“Kak..” suara
Riny terdengar prihatin. Ophie memandang gadis itu, lalu tersenyum.
“Kakak baik-baik
saja kok, kan ada kamu..”
Ophie berpikir,
mungkin dia memang bukan yang terbaik untuk Endah. Mereka mungkin memang bukan
jodoh. Untuk apa bersedih dan merusak diri karenanya?. Toh dia bisa belajar
untuk mencintai seseorang lagi. Seseorang seperti Riny, yang tengah menggenggam
tangannya erat sekarang ini.(NS/’12)
(Ayayayayay... to Ophie & Riny : Hope that life
will treat both of you very well..Hehehehe)