Image : www.sharondrewmorgen.com
KETIKA HARUS MEMILIH…
Oleh
: N.Sikome
“
Hallo.... selamat malam, bisa bicara dengan Ade ? “ sebuah suara halus menyapa
diujung telepon. Sejenak Ade tersentak, suara itu begitu sangat dia kenal.
Ingatan cowok itu seperti mengalami sebuah pemutaran film flashback. Kejadian-kejadian yang terekam dalam ingatannya tentang
dia dan pemilik suara halus itu seperti mengambang ke permukaan memorinya dan
mulai melintas cepat satu persatu.
“ Hallo... ?! “ suara itu terdengar
resah. Mungkin karena tak kunjung mendengar jawaban dari lawan bicaranya. Ade
tersentak dari lamunan flashback-nya.
“ Apa kabar, Ta ? “ tercetus begitu
saja kalimat itu dari mulut Ade.
“ Kamu masih mengenali suaraku, De ?
“ gadis di ujung telepon di seberang kedengaran heran
“ Tentu saja... bagaimana mungkin aku
bisa melupakan seorang gadis yang dulu sangat aku sayangi, tapi kemudian dia
pergi meninggalkan aku sendirian tanpa pesan apa-apa ? “ suara Ade terdengar
getir. Terdengar desah pendek dari seberang.
“ Maafkan aku, boleh kita bertemu ? “
tanya gadis itu ragu-ragu. Tanpa pikir panjang, Ade langsung mengiyakan
ajakannya.
“ Kalau begitu, besok aku akan
menunggu-mu di Sunset Café, jam 5
sore... “ dia lalu menyudahi percakapan itu. Saat meletakkan gagang telepon
kembali ke tempatnya, Ade kelihatan seperti orang yang kehilangan arah.
“ Telepon dari siapa, Kak ? “ Stevy
adiknya ternyata sudah pulang sekolah. Ade hanya menggeleng pelan, lalu masuk ke kamarnya, diikuti oleh pandangan
heran adik kecilnya.
Mata
Ade menerawang ke langit-langit kamarnya, teringat kembali peristiwa 2 tahun
yang lalu. Octa. Seorang gadis yang dengan seluruh pesonanya telah mencuri hati
Ade, dan membawanya pergi bersama dengan keberangkatannya ke Boston, untuk
melanjutkan sekolah.
Selama hampir setahun Ade seperti
orang gila, tak tahu harus berbuat apa setelah Octa pergi. Rasa benci, marah
dan rindu bercampur menjadi satu dalam benak dan hati cowok itu. Yang lebih
menyakitkan adalah bahwa Octa pergi tanpa memberitahukan apa-apa pada Ade. Dia
sendiri baru mengetahui kepergian gadis itu keesokan harinya setelah Octa telah
meninggalkan Indonesia. Perlahan cowok berlesung pipi itu memejamkan matanya,
ada rasa sakit yang sukar untuk dijelaskan tiba-tiba muncul di ulu hatinya,
seperti dua tahun yang lalu.
Gadis
itu tak berubah. Dia masih saja seperti dulu, dengan tubuh jangkung dan wajah
tirus serta mata boneka yang dulu sangat disukai Ade. Satu-satunya yang berubah
hanya warna kulitnya, jadi lebih putih. Mungkin karena cuaca di Boston. Tapi
Ade harus mengakui kalau kini Octa terlihat lebih cantik, walau agak pucat
sedikit.
“ Sudah lama nunggunya, Ta ? sorry terlambat, ya...di jalanan ada
kecelakaan, jadi macetnya agak lama “ Ade meminta maaf. Sore itu, Octa
kelihatan sangat cantik dalam balutan kemeja lengan pendek berwarna biru cerah
dan celana jeans kasual. Gaya
berpakaiannya pun tak berubah, bisik Ade pada dirinya sendiri.
“ Kamu mau minum apa, De ? “ tawar
Octa. Ade hanya menggeleng. Bukan apa-apa, sejak dari rumah tadi dia sudah
memutuskan untuk berbicara dengan Octa, langsung pada pokok pembicaraan yang
diinginkan gadis itu jika dia tiba di Café.
“ Kamu mau apa ketemu denganku, Ta ?
“ tembak Ade, yang tak hanya membuat Octa kaget, namun juga membuat dirinya
sendiri heran dengan nada suaranya yang agak kasar itu.
“ Kamu marah padaku, ya ? “ Octa
bertanya, namun gadis itu menunduk. Seperti takut untuk menatap wajah cowok
dihadapannya. Emosi Ade tiba-tiba saja langsung meledak mendengar pertanyaan
Octa.
“ Kamu bertanya apa aku marah, Ta ?
kamu ini punya perasaan nggak, sih ? dua tahun yang lalu kamu tinggalin aku
tanpa pesan apa-apa, dan sekarang seenaknya saja kamu minta bertemu cuma
untuk bertanya apa aku marah ?!! “ mata
Ade melotot ke arah Octa, yang kini semakin menunduk.
“ Aku mau ngomong jujur sama kamu,
Ta. Aku memang marah sama kamu, tapi sekarang karena kita berdua sudah bertemu,
aku mau tanya sama kamu, mengapa kamu pergi tanpa meninggalkan pesan apa-apa
sama aku ? “ nada suara Ade melemah. Octa mengangkat kepalanya, dan langsung
saja Ade bisa melihat ada airmata yang jatuh ke pipi gadis itu.
“ Aku hanya capek, De. Aku bosen tiap
hari ngingetin kamu untuk berhenti dari kebiasaan burukmu yang tiada hari tanpa
mabuk bersama dengan geng kamu itu. Aku bosen tiap kali kamu ngumpul sama
mereka sepulang sekolah, aku kamu jadiin patung buat ngejagain kamu
mabuk-mabukkan. Dan yang paling parah lagi, aku seperti nggak ada artinya buat
kamu, sebab semua yang aku katakan seperti tak pernah kamu dengarkan !! “
terlontar keluar semua isi hati Octa juga akhirnya. Ade tertegun mendengar
semuanya. Kembali kejadian-kejadian dimasa lalu mengalir dalam ingatannya, dan
kali ini rasa marah yang ada dalam hatinya berubah menjadi penyesalan. Octa
memang benar. Namun mengapa waktu itu Ade begitu buta dan bahkan tak bisa
melihat kesalahannya sendiri tapi malah menyalahkan gadis itu ?
Diakuinya, bahwa dulu semasa SMU
kelakuannya tidaklah membanggakan. Kerjanya hanya selalu mabuk-mabukkan bersama
geng-nya di sekolah. Dan selalu ada Octa yang menemaninya, saat dia
termuntah-muntah akibat terlalu banyak alkohol yang ditenggaknya, gadis itu
tetap setia memapahnya dan bersamanya hingga pengaruh minuman keras itu
menghilang dan akhirnya dia bisa pulang ke rumahnya lagi. Tiba-tiba ada rasa
malu yang merambati hati cowok itu, bercampur dengan penyesalan.
“ Maafkan aku, Ta... tapi kini aku
sudah berubah. Aku tak lagi seperti dulu__ “
“ Aku tahu, bahkan aku juga tahu
bahwa kini kau punya gadis lagi... “ potong Octa.
“ Ta, kupikir dulu itu kamu sudah
melupakan aku, hingga saat aku bertemu Vetsi kuputuskan untuk mencoba menata
kembali hidupku. Tapi kini kau telah kembali, dan aku... aku ingin bersamamu
lagi... “ tersendat-sendat Ade mengucapkan kalimat itu.
“ Bagaimana dengan dia ? “ tanya Octa
“ Beri aku waktu, Ta. Aku akan
mencoba untuk bicara baik-baik dengannya, setelah itu, aku ingin bersamamu,
selamanya... “ Ada senyum cerah tersungging di bibir Ade, dia bahagia.
“ Si, baru pulang kerja, ya ? “ Ade
menyodorkan sebotol air dingin pada Vetsi. Gadis itu kelihatan lelah.
“ Iya... ternyata kuliah sambil kerja
itu susah, ya ... “ keluh Vetsi sembari menghenyakkan pantatnya di kursi teras
rumah Ade.
“ Si... aku mau ngomong sama
kamu...ehm...begini... aku pikir, mungkin sebaiknya kita berdua..begini... __ “
“ Kamu itu, mau ngomong kok susah
amat, lagi sariawan ya ? “ canda Vetsi sambil tertawa gemas. Ade seperti tengah
menelan segenggam kerikil tajam, dia tak mampu untuk bersuara. Tanpa mereka
berdua sadari, dari balik rimbunan perdu di pagar rumah Ade, ada sepasang mata
yang tengah memperhatikan keduanya.
Ade
resah. Sudah berkali-kali dia menelpon ke HP Octa, tapi tak di aktifkan, di
telpon ke rumah, tak ada yang mengangkat. Akhirnya cowok itu memutuskan untuk
mengunjungi gadis itu. Setibanya disana, betapa kagetnya cowok itu setelah
tetangga sebelah rumah Octa memberitahukan kalau Octa sedang di rawat di rumah
sakit. Tanpa pikir panjang, Ade langsung memacu motornya kesana.
Saat dia tiba disana, Octa tengah
terbaring lemah di tempat tidur, dengan berbagai jenis selang tertusuk kedalam
tubuhnya. Gadis itu sangat pucat.
“ Josh, Octa kenapa ? “ tanya Ade
panik pada Joshte, sahabat karib Octa sejak dulu yang tengah duduk. Mata gadis
itu sembab. Joshte hanya menggeleng,
lalu terisak lagi. Dari balik kaca, nampak Octa membuka matanya, Ade lalu
melambaikan tangannya kearah gadis itu.
“ Siapa disini yang bernama Ade ? “
seorang suster keluar dan bertanya.
“ Memangnya ada apa, Sus ? “ tanya
Mama Octa. Wanita itu sedari tadi hanya terisak sedih. Ade benar-benar terjepit
ditengah-tengah suatu situasi yang sangat tak nyaman.
“ Octa ingin bicara dengannya... “
jawab suster itu. Bergegas Ade masuk kedalam ruangan ICU yang didominasi warna
hijau mudah teduh.
“ Ta... kok kamu nggak bilang ke aku
kalau kamu lagi sakit ? “ protes Ade pelan, dia meraih tangan gadis itu, dan
mengecupnya pelan.
“ Kamu masih sayang aku, ya De.... “
tanpa menghiraukan protes Ade, Octa malah bertanya lain hal.
“ Tentu saja aku sayang kamu,
bodoh.... aku hanya sayang kamu sejak dulu, dan sampai kapanpun.. “ ada air
yang kini mulai mengaliri pipi Ade. Gadis yang biasanya selalu tegar itu kini
terbaring tak berdaya dihadapannya.
“ Aku minta maaf karena membuatmu
harus memilih salah satu dari aku dan Vetsi, sungguh bukan maksudku untuk
membuatmu bingung, aku hanya ingin tahu seberapa besar cintamu padaku... “ kini
Octa yang mulai menangis.
“ Ssssttt... kamu jangan nangis dong,
Ta... jelek tau.... “ Ade mencoba untuk bercanda, tapi airmata malah mengalir
lebih deras dari mata cowok itu. Octa meremas tangan Ade erat-erat.
“ Sini aku bisikkan sesuatu padamu...
“ Ade lalu mendekatkan telinganya ke bibir Octa.
“ De... aku tak pernah berhenti
mencintaimu sejak dulu dan sampai kapanpun juga. Kamu nggak usah bingung,
karena sekarang kamu tak harus memilih... “ bisik Octa pelan, lalu genggaman
tangannya melemah.
Ade
sendirian, terpekur di depan makam basah Octa. Gadis itu tak pernah membuatnya
susah sejak dulu. Dia selalu ada dalam masa-masa sulit Ade semasa SMU. Namun
Ade lupa, bahwa Octa hanyalah seorang manusia, yang mempunyai batasan-batasan
dalam segala hal, termasuk kesabaran.
Ketika gadis itu pergi ke Boston, Ade
malah menuduh Octa sebagai pengkhianat yang hanya mau menang sendiri. Kini
gadis itu telah pergi untuk selama-lamanya, ketika Ade harus memilih diantara
Vetsi dan dirinya.
“ De... pulang, yuk... “ sebuah tangan
menyentuh bahu Ade. Ternyata Vetsi.
“ Kamu udah lama disini, Si ? “ tanya
Ade sembari menyeka sisa-sisa airmatanya. Dia lalu meraih tangan gadis itu, dan
tak akan melepaskannya. Dia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti
yang dia lakukan pada Octa. Membiarkan orang yang dicintai pergi, dan baru
menyadari cinta itu ketika mereka tak lagi berada di sisi....
( To
a very special person.... )