12 Juli 2012 | By: nsikome

THE LOST CITY 2 (Bloodline-Secret of the Royal Family) PART 2


Image: www.twotourism.com
        

THE LOST CITY (BOOK 2)
BLOODLINE, Secret of The Royal Family

Part 2


            “Kamu tenang saja, Ning. Nanti Papa yang bicara sama Mama, ya?” Papa mengedip padaku. Hatiku seketika langsung merasa tenang, Papa memang hebat. Sejak dulu, jika aku dan Arya berantem sama Mama, selalu Papa yang jadi penengahnya. Dia kan yang paling tahu bagaimana cara meluluhkan si hati baja.

“Bagaimana urusan ijinnya, Kak?” tanya Arya. Aku hanya menggeleng lemah. Kami berempat tengah bersantai di kamar tidur Arya usai makan malam. Tadi, Mama dengan alasan sakit kepala, tidak ikut makan bersama kami. Aku tahu benar, pasti dia masih marah sama aku dan Papa. Terdengar Arya mengeluh pelan.

19 Juni 2012 | By: nsikome

ENTAHLAH

Image: widowsvoice-sslf.blogspot.com


ENTAHLAH...




Saat rindu itu datang......
Saat sedih itu membayang.....
Ada luka kembali menggores angan
Ada sejuta harap yang ikut di belakang….

Dan......
16 Maret 2012 | By: nsikome

REALITA (1)

Image: www.radovan.bloger.cz 

REALITA (1)

Melangkah diatas kepingan duka,
Telapak kaki teriris perih, hati tak peduli!
Sebab kembali atau pergi,
Adalah serupa dan akan tetap sama....

Tak ada cara untuk berhenti
Hanya berjalan dan terus melangkah,
Hingga diujung asa....

Ikuti duka, atau mungkin sengsara?
Sampai tak ada lagi nyawa diraga...

Hanya bisa terus menapak tanpa arah,
Mencari jalan sedih, atau mungkin bahagia
Bila itu, masih ada yang tersisa...

(Paris, 28 February 1998)



13 Maret 2012 | By: nsikome

KETIKA HARUS MEMILIH


Image : www.sharondrewmorgen.com 

KETIKA HARUS MEMILIH


Oleh :  N.Sikome

            “ Hallo.... selamat malam, bisa bicara dengan Ade ? “ sebuah suara halus menyapa diujung telepon. Sejenak Ade tersentak, suara itu begitu sangat dia kenal. Ingatan cowok itu seperti mengalami sebuah pemutaran film flashback. Kejadian-kejadian yang terekam dalam ingatannya tentang dia dan pemilik suara halus itu seperti mengambang ke permukaan memorinya dan mulai melintas cepat satu persatu.
“ Hallo... ?! “ suara itu terdengar resah. Mungkin karena tak kunjung mendengar jawaban dari lawan bicaranya. Ade tersentak dari lamunan flashback-nya.
“ Apa kabar, Ta ? “ tercetus begitu saja kalimat itu dari mulut Ade.
“ Kamu masih mengenali suaraku, De ? “ gadis di ujung telepon di seberang kedengaran heran
“ Tentu saja... bagaimana mungkin aku bisa melupakan seorang gadis yang dulu sangat aku sayangi, tapi kemudian dia pergi meninggalkan aku sendirian tanpa pesan apa-apa ? “ suara Ade terdengar getir. Terdengar desah pendek dari seberang.
“ Maafkan aku, boleh kita bertemu ? “ tanya gadis itu ragu-ragu. Tanpa pikir panjang, Ade langsung mengiyakan ajakannya.
“ Kalau begitu, besok aku akan menunggu-mu di  Sunset Café, jam 5 sore... “ dia lalu menyudahi percakapan itu. Saat meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya, Ade kelihatan seperti orang yang kehilangan arah.
“ Telepon dari siapa, Kak ? “ Stevy adiknya ternyata sudah pulang sekolah. Ade hanya menggeleng pelan, lalu  masuk ke kamarnya, diikuti oleh pandangan heran adik kecilnya.
            Mata Ade menerawang ke langit-langit kamarnya, teringat kembali peristiwa 2 tahun yang lalu. Octa. Seorang gadis yang dengan seluruh pesonanya telah mencuri hati Ade, dan membawanya pergi bersama dengan keberangkatannya ke Boston, untuk melanjutkan sekolah.
Selama hampir setahun Ade seperti orang gila, tak tahu harus berbuat apa setelah Octa pergi. Rasa benci, marah dan rindu bercampur menjadi satu dalam benak dan hati cowok itu. Yang lebih menyakitkan adalah bahwa Octa pergi tanpa memberitahukan apa-apa pada Ade. Dia sendiri baru mengetahui kepergian gadis itu keesokan harinya setelah Octa telah meninggalkan Indonesia. Perlahan cowok berlesung pipi itu memejamkan matanya, ada rasa sakit yang sukar untuk dijelaskan tiba-tiba muncul di ulu hatinya, seperti dua tahun yang lalu.
            Gadis itu tak berubah. Dia masih saja seperti dulu, dengan tubuh jangkung dan wajah tirus serta mata boneka yang dulu sangat disukai Ade. Satu-satunya yang berubah hanya warna kulitnya, jadi lebih putih. Mungkin karena cuaca di Boston. Tapi Ade harus mengakui kalau kini Octa terlihat lebih cantik, walau agak pucat sedikit.
“ Sudah lama nunggunya, Ta ?  sorry terlambat, ya...di jalanan ada kecelakaan, jadi macetnya agak lama “ Ade meminta maaf. Sore itu, Octa kelihatan sangat cantik dalam balutan kemeja lengan pendek berwarna biru cerah dan celana jeans kasual. Gaya berpakaiannya pun tak berubah, bisik Ade pada dirinya sendiri.
“ Kamu mau minum apa, De ? “ tawar Octa. Ade hanya menggeleng. Bukan apa-apa, sejak dari rumah tadi dia sudah memutuskan untuk berbicara dengan Octa, langsung pada pokok pembicaraan yang diinginkan gadis itu jika dia tiba di Café.
“ Kamu mau apa ketemu denganku, Ta ? “ tembak Ade, yang tak hanya membuat Octa kaget, namun juga membuat dirinya sendiri heran dengan nada suaranya yang agak kasar itu.
“ Kamu marah padaku, ya ? “ Octa bertanya, namun gadis itu menunduk. Seperti takut untuk menatap wajah cowok dihadapannya. Emosi Ade tiba-tiba saja langsung meledak mendengar pertanyaan Octa.
“ Kamu bertanya apa aku marah, Ta ? kamu ini punya perasaan nggak, sih ? dua tahun yang lalu kamu tinggalin aku tanpa pesan apa-apa, dan sekarang seenaknya saja kamu minta bertemu cuma untuk  bertanya apa aku marah ?!! “ mata Ade melotot ke arah Octa, yang kini semakin menunduk.
“ Aku mau ngomong jujur sama kamu, Ta. Aku memang marah sama kamu, tapi sekarang karena kita berdua sudah bertemu, aku mau tanya sama kamu, mengapa kamu pergi tanpa meninggalkan pesan apa-apa sama aku ? “ nada suara Ade melemah. Octa mengangkat kepalanya, dan langsung saja Ade bisa melihat ada airmata yang jatuh ke pipi gadis itu.
“ Aku hanya capek, De. Aku bosen tiap hari ngingetin kamu untuk berhenti dari kebiasaan burukmu yang tiada hari tanpa mabuk bersama dengan geng kamu itu. Aku bosen tiap kali kamu ngumpul sama mereka sepulang sekolah, aku kamu jadiin patung buat ngejagain kamu mabuk-mabukkan. Dan yang paling parah lagi, aku seperti nggak ada artinya buat kamu, sebab semua yang aku katakan seperti tak pernah kamu dengarkan !! “ terlontar keluar semua isi hati Octa juga akhirnya. Ade tertegun mendengar semuanya. Kembali kejadian-kejadian dimasa lalu mengalir dalam ingatannya, dan kali ini rasa marah yang ada dalam hatinya berubah menjadi penyesalan. Octa memang benar. Namun mengapa waktu itu Ade begitu buta dan bahkan tak bisa melihat kesalahannya sendiri tapi malah menyalahkan gadis itu ?
Diakuinya, bahwa dulu semasa SMU kelakuannya tidaklah membanggakan. Kerjanya hanya selalu mabuk-mabukkan bersama geng-nya di sekolah. Dan selalu ada Octa yang menemaninya, saat dia termuntah-muntah akibat terlalu banyak alkohol yang ditenggaknya, gadis itu tetap setia memapahnya dan bersamanya hingga pengaruh minuman keras itu menghilang dan akhirnya dia bisa pulang ke rumahnya lagi. Tiba-tiba ada rasa malu yang merambati hati cowok itu, bercampur dengan penyesalan.
“ Maafkan aku, Ta... tapi kini aku sudah berubah. Aku tak lagi seperti dulu__ “
“ Aku tahu, bahkan aku juga tahu bahwa kini kau punya gadis lagi... “ potong Octa.
“ Ta, kupikir dulu itu kamu sudah melupakan aku, hingga saat aku bertemu Vetsi kuputuskan untuk mencoba menata kembali hidupku. Tapi kini kau telah kembali, dan aku... aku ingin bersamamu lagi... “ tersendat-sendat Ade mengucapkan kalimat itu.
“ Bagaimana dengan dia ? “ tanya Octa
“ Beri aku waktu, Ta. Aku akan mencoba untuk bicara baik-baik dengannya, setelah itu, aku ingin bersamamu, selamanya... “ Ada senyum cerah tersungging di bibir Ade, dia bahagia.
 “ Si, baru pulang kerja, ya ? “ Ade menyodorkan sebotol air dingin pada Vetsi. Gadis itu kelihatan lelah.
“ Iya... ternyata kuliah sambil kerja itu susah, ya ... “ keluh Vetsi sembari menghenyakkan pantatnya di kursi teras rumah Ade.
“ Si... aku mau ngomong sama kamu...ehm...begini... aku pikir, mungkin sebaiknya kita berdua..begini... __ “
“ Kamu itu, mau ngomong kok susah amat, lagi sariawan ya ? “ canda Vetsi sambil tertawa gemas. Ade seperti tengah menelan segenggam kerikil tajam, dia tak mampu untuk bersuara. Tanpa mereka berdua sadari, dari balik rimbunan perdu di pagar rumah Ade, ada sepasang mata yang tengah memperhatikan keduanya.
            Ade resah. Sudah berkali-kali dia menelpon ke HP Octa, tapi tak di aktifkan, di telpon ke rumah, tak ada yang mengangkat. Akhirnya cowok itu memutuskan untuk mengunjungi gadis itu. Setibanya disana, betapa kagetnya cowok itu setelah tetangga sebelah rumah Octa memberitahukan kalau Octa sedang di rawat di rumah sakit. Tanpa pikir panjang, Ade langsung memacu motornya kesana.
Saat dia tiba disana, Octa tengah terbaring lemah di tempat tidur, dengan berbagai jenis selang tertusuk kedalam tubuhnya. Gadis itu sangat pucat.
“ Josh, Octa kenapa ? “ tanya Ade panik pada Joshte, sahabat karib Octa sejak dulu yang tengah duduk. Mata gadis itu sembab. Joshte  hanya menggeleng, lalu terisak lagi. Dari balik kaca, nampak Octa membuka matanya, Ade lalu melambaikan tangannya kearah gadis itu.
“ Siapa disini yang bernama Ade ? “ seorang suster keluar dan bertanya.
“ Memangnya ada apa, Sus ? “ tanya Mama Octa. Wanita itu sedari tadi hanya terisak sedih. Ade benar-benar terjepit ditengah-tengah suatu situasi yang sangat tak nyaman.
“ Octa ingin bicara dengannya... “ jawab suster itu. Bergegas Ade masuk kedalam ruangan ICU yang didominasi warna hijau mudah teduh.
“ Ta... kok kamu nggak bilang ke aku kalau kamu lagi sakit ? “ protes Ade pelan, dia meraih tangan gadis itu, dan mengecupnya pelan.
“ Kamu masih sayang aku, ya De.... “ tanpa menghiraukan protes Ade, Octa malah bertanya lain hal.
“ Tentu saja aku sayang kamu, bodoh.... aku hanya sayang kamu sejak dulu, dan sampai kapanpun.. “ ada air yang kini mulai mengaliri pipi Ade. Gadis yang biasanya selalu tegar itu kini terbaring tak berdaya dihadapannya.
“ Aku minta maaf karena membuatmu harus memilih salah satu dari aku dan Vetsi, sungguh bukan maksudku untuk membuatmu bingung, aku hanya ingin tahu seberapa besar cintamu padaku... “ kini Octa yang mulai menangis.
“ Ssssttt... kamu jangan nangis dong, Ta... jelek tau.... “ Ade mencoba untuk bercanda, tapi airmata malah mengalir lebih deras dari mata cowok itu. Octa meremas tangan Ade erat-erat.
“ Sini aku bisikkan sesuatu padamu... “ Ade lalu mendekatkan telinganya ke bibir Octa.
“ De... aku tak pernah berhenti mencintaimu sejak dulu dan sampai kapanpun juga. Kamu nggak usah bingung, karena sekarang kamu tak harus memilih... “ bisik Octa pelan, lalu genggaman tangannya melemah.
            Ade sendirian, terpekur di depan makam basah Octa. Gadis itu tak pernah membuatnya susah sejak dulu. Dia selalu ada dalam masa-masa sulit Ade semasa SMU. Namun Ade lupa, bahwa Octa hanyalah seorang manusia, yang mempunyai batasan-batasan dalam segala hal, termasuk kesabaran. 
Ketika gadis itu pergi ke Boston, Ade malah menuduh Octa sebagai pengkhianat yang hanya mau menang sendiri. Kini gadis itu telah pergi untuk selama-lamanya, ketika Ade harus memilih diantara Vetsi dan dirinya.
“ De... pulang, yuk... “ sebuah tangan menyentuh bahu Ade. Ternyata Vetsi.
“ Kamu udah lama disini, Si ? “ tanya Ade sembari menyeka sisa-sisa airmatanya. Dia lalu meraih tangan gadis itu, dan tak akan melepaskannya. Dia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti yang dia lakukan pada Octa. Membiarkan orang yang dicintai pergi, dan baru menyadari cinta itu ketika mereka tak lagi berada di sisi....
( To a very special person.... )