28 September 2011 | By: nsikome

Tentang WILDAN

Cerpen ini, meski hanya sebuah fiksi, terinspirasi dari sebuah kisah nyata sebuah keluarga, yang sangat menginspirasi aku. Ketabahan kedua orang tua Wildan, dan yg terutama, ketulusan seorang adik, Ghulam. Yang menyayangi kakaknya dengan sepenuh hati, meskipun dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh sang kakak. Salut buat Mama Frida dan keluarga..

Foto :gendenk.org

TENTANG WILDAN

Dia begitu menarik. Itulah kesan pertama yang didapat Ghulam, ketika bertemu Annisa. Pagi itu, Ghulam baru saja mengantarkan saudara lelaki satu-satunya Wildan ke sekolah, dan bertemu dengan gadis dengan rambut berkuncir ekor kuda.

“Pak Amran, siapa tuh?” tanya Ghulam pada penjaga sekolah Wildan, tak lagi mampu membendung rasa penasarannya. Mata si penjaga sekolah mengikuti arah yang ditunjuk tangan Ghulam, dan lelaki tua itu tersenyum simpul.

“Ohhh..itu namanya Mbak Annisa, dia mahasiswa yang lagi magang disini Nak Ghulam..”

“Kenapa? Dia cantik ya?” lanjut Pak Amran menggoda Ghulam, yang entah kenapa langsung memerah wajahnya di goda si penjaga sekolah.

“Ah, Bapak bisa aja..nggak kok, saya kan baru pertama kali melihatnya disini, normal kan kalau saya bertanya” elak Ghulam. Dia kemudian langsung berjalan menuju ke mobil, dan melambaikan tangan pada Pak Amran, yang terkekeh geli melihat sikap pemuda itu.

“Wildan, kamu senang disekolah hari ini?” tanya Ghulam, mereka sekeluarga tengah menikmati makan malam dirumah. Mama menatap Ghulam dengan pandangan penuh tanda tanya.

“Memangnya ada apa di sekolah Wildan, Lam?” tanya Mama. Ghulam mencoba untuk menyembunyikan reaksi kagetnya ditanya Mama seperti itu, tapi sudah terlambat.

“Nggak apa-apa kok Ma. Cuman mau nanya keadaan Wildan disekolahnya”

“Lho, bukannya kamu suka nanya langsung ke guru Wildan, Lam?” tanya Mama lagi. Ghulam mengaduk-aduk isi piringnya dengan resah. Kalau Mama sudah bertanya ini-itu, dia tak akan pernah berhenti sebelum mendapatkan jawaban yang menurutnya sudah cukup memuaskan.

“Tadi Ghulam waktu nganterin Wildan, nggak sempet masuk ke dalam, soalnya sudah buru-buru mau ke Kampus, Ma.”

“Ada Nisa,” tiba-tiba terdengar suara Wildan yang sangat jarang berkumandang memotong percakapan Ghulam dan Mama.

“Siapa Nisa, Nak?” Mama terlihat antusias, maklum saja, Wildan adalah seorang anak yang sangat pendiam, terlalu pendiam untuk ukuran anak seumurnya. Namun Wildan tak memperdulikan pertanyaan Mama. Anak itukembali menekuni piringnya dan makan dengan lahap.

“Wil, ditanyain Mama tuh, kok nggak jawab sih?” Ghulam sedikit merasa nggak enak sama Mama. Wildan memang seperti itu, kadang kalau suasana hatinya lagi enak, dia menjawab, kalau tidak, langsung diam saja. Namun Wildan tak menggubris pertanyaan Ghulam, dia malah nampak asyik dengan potongan cumi gorengnya.

“Hai....kamu sodaranya Wildan ya?” ternyata, si cantik berambut ekor kuda yang menyapa. Ghulam tengah mengambil tas dan semua perlengkapan Wildan dari dalam mobil, dan tak menyadari, kalau ternyata mahkluk ciptaan Tuhan yang sangat cantik itu berada dibelakangnya.

“Ehm..eh..iya, maaf...saya tidak tahu ada anda dibelakang saya..” gugup Ghulam menyahut. Gadis itu tersenyum, dan demi Tuhan...Ghulam merasa senyumnya itu manis sekali. Mahkluk manis itu hanya tersenyum lagi, dan..dia mengulurkan tangannya ke arah Ghulam.

“Nama saya Anissa, kamu pasti Ghulam” katanya mengenalkan diri. Ghulam sejenak terpana, lalu menyeka tangan kanannya di celana panjang.

“Senang berkenalan dengan kamu, Nisa. Kok tahu nama saya Ghulam?”

“Wildan tuh yang ngasih tahu ke aku,” Ghulam mengangkat kening sebelah kanannya, hal yang selalu dia lakukan bila dia merasa heran.

“Wildan ngomong sama kamu?”

“Nggak banyak sih yang dia omongin, cuman kasih tahu ke aku nama kamu, saat aku bertanya padanya, siapa yang sering nganterin dia ke sekolah..” terang Annisa. Ghulam hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan gadis itu. Dia tentu saja merasa heran, karena Wildan tak pernah secepat itu langsung akrab dengan seseorang yang baru dia kenal. Apalagi langsung bicara dan memberikan informasi tentang anggota keluarganya. Ghulam tahu benar akan hal itu. Namun dalam hati dia merasa sangat senang, mungkin saat ini saudara laki-laki yang sangat dikasihinya itu, sudah mau membuka dirinya pada orang lain. Terima kasih, Tuhan, bisik Ghulam dalam hatinya.

“Aiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!” terdengar sebuah teriakan kesakitan dari teras samping rumah, tempat biasanya keluarga Ghulam berkumpul.

“Wildan lagi sama Papa ya, Ma?” tanya Ghulam sambil mencomot sepotong ubi goreng dari atas meja.

“Iya, lagi asyik tuh mereka berdua, Lam..tangan kamu dicuci dulu, kenapa sih? Main nyomot aja, banyak bakterinya, lho!” Mama yang selalu maniak pada apa yang disebut “kebersihan” langsung menyingkirkan piring itu dari atas meja dan menaruhnya kedalam tudung saji. Ghulam yang gagal mengambil potongan ubi goreng keduanya, langsung menuju ke arah teras samping.

Seperti biasanya, disana dia menjumpai Papa tengah dicabutin ubannya oleh Wildan, salah satu kegiatan yang paling disukai oleh Papa, dan juga Wildan. Kalau saudara lelakinya itu tengah mencabuti uban, tak ada yang boleh mengganggunya. Sedangkan Papa, dia selalu merasa senang, karena katanya, uban yang bikin gatal nggak pernah bisa tumbuh lama-lama dikepalanya kalau ada Wildan.

Tidak seperti biasanya, kali ini Wildan malah sedang asyik mencabuti uban Papa, sambil tersenyum-senyum gembira. Suatu hal yang sangat jarang terjadi pada saudaranya itu.

“Hai Wil, kok senyam-senyum mulu dari tadi, ada apa sih?” Ghulam duduk di samping Wildan. Sejenak senyum itu terhenti, namun kembali dia tersenyum lagi.

“Ada rahasia apa sih?” Ghulam makin penasaran melihat tingkah saudaranya itu. Namun segera dia tahu, bahwa dia tak akan pernah mendapatkan jawaban apa-apa dari Wildan. Ghulam lalu berdiri dan masuk kedalam rumah, diikuti oleh pandangan sedih Papa.

Waktu kembali berlalu, dan 3 bulan sudah Ghulam mengenal Annisa, dan tak pernah sedikitpun ada rasa berani yang muncul dihatinya untuk mengajak gadis itu, bahkan hanya sekedar jalan-jalan. Padahal, selama waktu berselang itu, mereka cukup dekat. Seringkali, mereka berdiskusi berdua tentang perkembangan Wildan.

Wildan memang entah mengapa menjadi dekat dengan Annisa, dan ini adalah yang pertama kalinya dia dekat dengan seseorang. Jika Annisa ada, Wildan tak malu-malu lagi memamerkan senyum indahnya, dan bahkan sesekali tertawa tergelak jika ada Annisa disampingnya. Ghulam makin menyukai gadis manis itu, terutama karena Annisa juga kelihatan menyukai Wildan, itu yang paling penting bagi pemuda itu. Jika ada seorang gadis yang juga menyukai Wildan saudara-nya, dan merasa nyaman dengan ke-eksentrik-an Wildan, maka dia bukanlah seorang gadis biasa.

“Hai,..Nisa, ini aku, Ghulam” sapa dia begitu Annisa menjawab ponselnya.

“Ada apa, Lam? Ada masalah dengan Wildan?” tanya Annisa, terdengar cemas.

“Nggak, Nis. Begini, Sabtu nanti aku ada acara Kampus, pesta ulang tahun Fakultas. Kamu mau nggak nemenin aku?” keringat dingin mengalir seperti air diwajah Ghulam. Untung aja percakapan itu hanya lewat telepon, Ghulam bisa membayangkan reaksi Annisa bila melihatnya basah kuyup keringatan seperti ini.

“Tentu saja mau, Lam. Eh, ngomong-ngomong, ini ajakan kencan, ya?” todong Annisa, yang makin membuat Ghulam keringetan. Sekali lagi dia bersyukur percakapan itu hanya lewat telepon.

“Ehmm...mmm....kalau kamu setuju, aku juga, sampai ketemu Sabtu ya!!” makin gugup, Ghulam langsung menutup sambungan telepon itu. Sedetik kemudian, dia baru menyadari, bahwa mereka belum punya meeting point alias akan ketemu dimana. Soalnya, Ghulam lupa memberi tahu dimana acara itu akan dilaksanakan. Waduh gawat, pikir Ghulam. Tiba-tiba, handphone-nya berdering keras, ternyata Annisa.

“Hai Nisa, ehmm..maaf ya, aku baru saja mau menelpon kamu” ujar Ghulam berbohong, sambil minta maaf sama Tuhan dalam hati. Jika Mama tahu dia bohong, pasti akan kena marah, soalnya, semenjak kecil dia dan Wildan selalu diajarin bahwa bohong itu dosa.

“Iya, habis..kamu nya langsung main nutup telpon sih,” rajuk gadis itu. Ghulam tertawa mendengar ucapan Annisa.

“Aku jemput kamu ke rumahmu ya? Alamatnya dimana?” Annisa terdengar mengucapkan suatu tempat, yang langsung dicatat oleh Ghulam dalam notes kecilnya, yang selalu memang dia bawa kemana-mana.

“Sampai ketemu Sabtu, Lam!” kali ini, Annisa yang menutup sambungan telpon.

Sabtu, pukul 6 sore

Ghulam tengah bersiap-siap untuk pergi ke acara ulang tahun Fakultas di Kampusnya, saat Wildan tiba-tiba muncul di depan pintu kamarnya. Wajahnya penuh tanda tanya.

“Aku mau ke acara ulang tahun Fakultas, Wil” Ghulam menjelaskan, selalu seperti itu. Wildan masih juga tak beranjak dari sana, dan wajahnya masih penuh tanda tanya.

“Aku pergi sama Annisa, Wil. Nanti pulangnya agak telat..” lanjut Ghulam. Sedetik dia melihat ada perubahan di wajah Wildan. Namun sedetik berikutnya, Wildan sudah berlalu dari hadapannya. Ghulam tiba-tiba merasa tidak enak, dan dia benar.

Terdengar suara teriakan dan diikuti dengan bantingan barang-barang dari kamar Wildan. Seketika hati Ghulam dirundungi perasaan sangat sedih. Dia lalu menghambur keluar kamarnya, dan menuju kamar saudara yang sangat dikasihinya.

“Wil..apa yang terjadi? Kenapa kamu marah seperti itu?” tanya Ghulam cemas, dia melihat Mama dan Papa sudah berada disana. Wildan masih mengamuk. Sia-sia usaha Papa untuk menenangkan dia. Ghulam juga melihat sudah ada memar di pipi Papa, sepertinya dia sudah kena pukul tinju Wildan yang besar.

Tiba-tiba, mata Ghulam terantuk pada sebuah foto kecil, yang dibingkai dengan kertas, disamping tempat tidur Wildan, dan seketika dia mengerti apa yang terjadi. Lukisan Wildan juga cukup jelas menggambarkan isi hatinya. Foto itu adalah foto Annisa, dan semua lukisan itu, wajah Annisa. Wildan memang sangat jago melukis, dan Ghulam sangat bangga akan keahlian saudara-nya itu. Wildan menyukai Annisa. Terlepas dengan keterbatasannya, dia tetaplah seorang pemuda berusia 20 Tahun.

“Wil, tenang.....kamu jangan marah ya,...adik tidak akan pergi ke pesta dengan Annisa. Adik hanya bercanda sama kamu. Nggak percaya? Adik mau kesana sebenarnya dengan kamu...ayo kita pergi, tapi ganti baju dulu, ya?” mendengar kata-kata Ghulam, seketika amukan Wildan terhenti, dan dia langsung menuju kamar mandi, setelah sebelumnya mengambil handuk. Di sudut, Papa terlihat meringis sambil memegangi pipinya yang memar, dan Mama, dia tengah menatap Ghulam dengan rasa kasihan.

“Ma, Pa, Ghulam pergi dulu sama kakak ya..” pamit Ghulam sambil menggenggam tangan kakak-nya Wildan.

“Pulangnya jangan lama ya Dik...kasihan kakakmu,..” Mama mencium Ghulam lalu Wildan, yang tersenyum berseri-seri, senang karena adiknya bukan mau mengajak Annisa, tapi dia untuk pergi ke pesta.

Ketika mobil yang dikendarai Ghulam berlalu dari hadapan kedua orang tua itu, ada airmata yang jatuh di pipi Papa dan Mama.

Perempuan itu teringat ucapan Ghulam beberapa tahun yang lalu, saat Ghulam kelas satu SMP....eyang Ti menyampaikan keresahannya pada Ghulam....mama di kamar dengar pembicaraan mereka,

Dek, kakak besuk bagaimana ya kalau sudah besar? Kakak kerja apa?.”. Tanya eyang Ti.

Ghulam menjawab serius, “Kakak itu besuk ikut aku, Yang....kakak menjadi tanggunganku.”.

Bukan salah siapa-siapa Wildan menjadi seorang anak autis, namun Mama kagum dengan kebesaran hati Ghulam, yang selalu mau menjadi tameng bagi kakaknya, selalu membela kakaknya, meski sering menjadi tempat sasaran pukulan Wildan ketika dia mengamuk. Bahkan kini, dia rela untuk mengesampingkan perasaan hati nya pada seorang gadis, demi Wildan, kakak autisnya.

Airmata kembali jatuh di pipinya. Terima Kasih ya Tuhan, telah memberikan Wildan seorang adik yang mau mengerti keadaan kakaknya, sertai mereka berdua terus selamanya, bisiknya dalam doa di hati.

(Untuk Mama Frida, Papa, Wildan & Ghulam, cerita ini terinspirasi dari keluarga kalian, maaf ya Ma, ada paragraf yang kuambil dari blog, kalian keluarga yang hebat, dan menjadi inspirasiku)

9 komentar:

Unknown mengatakan...

terharu....


komentar pertama.. apresiasi ini banget!

nsikome mengatakan...

Afandy : Thank you...

Mama Widho mengatakan...

Aku tak bisa bayangkan bila itu sungguh terjadi....

nsikome mengatakan...

Ihh..jadi malu, ternyata ada Mama disini,...sorry ya Ma....don't worry..cuman fiksi kok,...soalnya kagum sama Ghulam sih.....salam manis buat dia juga..

BlogS of Hariyanto mengatakan...

anak autis juga manusia , jangan membatasi mereka dengan keterbatasannya, karena dalam keterbatasan mereka itulah kebebasan kehidupan sebenarnya yang mereka rasakan :)
terimaksih kawan sudah berbagi cerita pendek yang menarik ini

nsikome mengatakan...

Hariyanto : Setuju..tapi, tahu nggak, si Lionel Messi ternyata juga adalah seorang anak Autis, yg bisa keluar dari ke-autisan-nya. Saya kurang setuju dgn org2 yg menganggap Autis adalah sebuah penyakit, karena itu bukan sama sekali penyakit, melainkan trouble of behaviour, dan anak2 autis, selalu memiliki sebuah "kelebihan" yg diatas rata2 dari org lain...

Remix-7 mengatakan...

Artikelnya sangat bagus dan menyentuh, semoga menjadi pembelajaran buat kita semua :),

O iya sekalian follow #35,. kalau sempat followbalik ya, maaf nggak bisa psan di shoutmix karena akun limit.

FurChange Indonesia mengatakan...

Sungguh sangat berat menjadi adik, sebuah perjuangan yang luar biasa yang tentunya hanya bakal bisa di lewati orang2 yang luar biasa pula..

nsikome mengatakan...

Remix-7 : follow back done ya.. :)

FurChange Indonesia : Setuju...mereka2 yg mengalami pengalaman luar biasa, biasanya selalu menjadi orang yg luar biasa pula.. :)

Posting Komentar