PUISI TAK BERTUAN
Janganlah menantang angin
Kau takkan pernah jadi pemenang
Usahlah bertikai dengan badai
Kau hanya kan terberai
Percayalah kepada takdir
Karna kau tak bisa menolaknya
Tapi kejarlah cinta yang kau rasa
Hingga di garis batasnya……….
Jade menghela napasnya panjang-panjang. Ini adalah yang kedua kalinya dia menemukan lembaran kertas berwarna hitam yang bertuliskan puisi dengan tinta perak.
- Ri, kamu yakin nggak kenal dengan tulisan tangan ini ? – tanya Jade pada sahabat sebangkunya. Riri untuk yag kesekian kalinya meraih lembaran kertas hitam itu, dan mengamatinya secara seksama.
- Menurut aku, Jade, yang punya tulisan ini bukan berasal dari kelas kita. Soalnya aku kenal, kok, hampir semua tulisan anak-anak di kelas, - Riri memberikan pendapatnya. Jade mengeluh kesal dalam hatinya. Sudah dua minggu ini pikirannya hanya terisi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang siapa si penulis puisi-puisi itu.
Jade bahkan pernah menghabiskan satu malam dengan duduk di dekat jendela kamarnya, memandang bintang-bintang di langit sambil menebak-nebak siapa si penulis iseng itu.
Si Danny emang suka sama Jade, bahkan seisi sekolah mereka tau tentang hal itu. Gimana semua nggak tau ? abisnya si Danny norak banget, sih ! pake teriak-teriak ‘I Love You, Jade’ dari atas atap sekolah, terang aja semua pada heboh.
Namun, itu pasti bukan Danny. Wong si Danny setiap kali ulangan atau di kasih PR sastra bikin puisi, nilainya selalu di bawah nol.
Dalam hati gadis itu mengakui, bahwa puisi-puisi itu bagus juga, walau dia tak terlalu mengerti kemana arah dan maksud dari rangkaian kata-kata itu, dan mengapa di tujukan buat dia.
Yang paling mengganggu adalah, sepertinya si pemilik puisi tanpa nama itu sengaja tak ingin memperkenalkan identitasnya. Tak pernah ada inisial yang bisa membuat Jade menebak-nebak siapa si pengirim, hanya goresan puisi yang selalu di tulis di atas kertas hitam dengan tinta perak.
Sebulan sesudah itu, Jade telah menerima lebih dari dua belas buah puisi. Masih tertulis di atas lembaran-lembaran kertas hitam, dengan tinta berwarna perak. Pernah satu kali gadis itu mencoba memasang perangkap, dengan di bantu Riri sobatnya. Maksud mereka adalah ingin memergoki si pemilik puisi yang secara rutin menyelipkan lembaran hitam-nya ke dalam buku-buku milik Jade. Namun, sampai mereka berdua kesemutan menunggu, si pemilik puisi tak datang-datang juga. Sepertinya dia tau bahwa mereka sedang menunggu dirinya.
- Aku yakin Jade, si penulis adalah teman kamu ! – tutur Riri sok yakin saat Jade mengungkapkan rasa penasarannya. Gadis itu memang adalah satu-satunya tempat curhat Jade semenjak hari pertama dia masuk di sekolah ini.
- Kamu tau dari mana, Ri ? – Jade tertawa kecil melihat tingkah sahabatnya yang berlagak seperti seorang peramal itu.
- Yah gampang Nona manis....kalo bukan orang yang kenal kamu dan kamu kenal, gimana dia bisa tau kapan saat yang tepat untuk menaruh puisinya, agar nggak ketahuan ? – terang Riri ber-logika ria, membuat Jade manggut-manggut membenarkan.
- Kamu udah punya daftar tersangkanya, Ri ? – tanya Jade kayak polisi.
- He..he..he..kamu nanyanya kayak polisi aja, Jade – mereka berdua lalu saling pandang dan tertawa berderai.
Dua bulan begitu cepat berlalu. Jade masih tetap menerima secara rutin puisi-puisi itu. Namun dia sudah mulai belajar untuk tidak memperdulikan semuanya. Apalagi, dua minggu pertama kemunculan puisi-puisi itu, nilai-nilai ulangan Jade sempat jeblok gara-gara sibuk menebak dan mencari sang pengirim, hingga lupa belajar. Jade lalu memutuskan untuk tidak memperdulikan lagi puisi-puisi itu serta siapa pengirimnya.
Apalagi sekarang Jade baru jadian sama si Joshua. Ahh....berpikir tentang cowok itu langsung membuat hati gadis itu jadi hangat ( emangnya nasi ? ). Sangat menyenangkan. Memang sudah dari lama Jade suka sama Joshua, namun sebagai seorang cewek, meskipun kata orang kaum wanita tuh udah emansipasi, tetep malu dong ngomong rasa suka-nya ke cowok, ntar di bilangin rumput cari kuda, maloooo lah yaaaa.....
Dari kelas satu Jade udah suka Joshua. Namun jadinya baru seminggu yang lalu. Biarpun kata Riri, Joshua adalah cowok playboy, Jade nggak perduli. Si Riri emang selalu begitu. Dulu sama cowok-cowok lain juga reaksinya sama. Kalo nggak di bilang cowok nggak bener, yah playboy. Tapi satelit si Riri oke punya, lho. Karena dia, Jade nggak jadi pacaran sama si Roy, playboy kampungan itu. Nggak tahu gimana si Riri bisa ngedapetin semua informasi itu, namun Jade merasa sangat bersyukur sekali mempunyai teman seperti Riri.
Tetapi untuk si Joshua, semuanya jadi berbeda. Nggak tahu kenapa Jade kok jadi suka banget sama dia. Kata-kata Riri yang dulunya selalu dia dengar, saat ini hanya di anggap angin lalu. Apalagi bila Riri udah mulai dengan khotbah hariannya tentang kejelekan Joshua, Jade lebih suka nutup telinganya. Riri malah sempet sebel bengkak waktu Jade dengan manisnya bilang sama Riri, bahwa dia punya feeling kalo si Joshua tuh sebenernya cowok yang baik.
Jade tersenyum riang, hatinya tengah berbunga-bunga plastik ( kok plastik ? biar tahan lama, ‘kali yee ? ), soalnya tadi pagi di sekolah Joshua ngajak dia nonton sore ini. Sambil bersiul-siul, Jade memulai aktifitas mempercantik dirinya. Dengan telaten gadis itu melumuri sekujur tubuhnya dengan lulur tauge ( hehehe...biar beda, dan nggak di tuduh menjiplak nama lulur... ). Biar kulit jadi bersih dan halus.
- Jade !!!.....ada telpon tuh, dari si Riri !! – suara Ibunya yang agak mirip-mirip dengan mbak Peggy di sinetron ‘Gerhana Bintang’ itu mengagetkan jade dari acara berlulur campur ngelamunnya.
- Thank’s Mom...lain kali teriaknya jangan di telinga Jade, ya ? – sambil mengurut-ngurut kupingnya yang bunyi tuing-tuing gara-gara suara Ibunya.
- Hallo – sapa gadis itu
- Jade, mau nggak ikut dengan aku ke mall ? – suara Riri terdengar sangat bersemangat.
- Yaaaa...sorry banget, Ri, aku ada janji dengan Joshua sore ini, - nada suaranya di bikin se-menyesal mungkin, takut si Riri kecewa.
- Yah udah, kalo gitu. – walaupun dia mencoba untuk menahannya, tetap nada suara Riri terdengar kecewa. Jade merasa sedikit bersalah, dia tahu kalo akhir-akhir ini waktunya paling banyak dia habiskan dengan si Joshua.
- Gini aja, Ri, aku dan Joshua akan mampir ke rumah kamu sehabis nonton, ya ? kebetulan ada sesuatu yang ingin ku tunjukkan kepadamu.
- Terserah kamu, Jade... – suara Riri terdengar tak bersemangat, namun Jade terlalu bahagia untuk bisa memperhatikan semua itu. Yang ada di kepalanya hanyalah Joshua, Joshua, dan......Joshua.
Sepanjang akhir petang itu di lewati Jade dengan hati yang bertaburan dengan bintang-bintang. Ingin rasanya dia menghentikan sang waktu agar tak berjalan supaya dia masih bisa terus menikmati kebersamaan-nya dengan Joshua, namun janjinya pada Riri untuk mampir membuat Jade kembali menginjakkan kakinya di bumi.
- Kamu sama si Riri temenan udah lama, ya Jade ? – tanya Joshua saat gadis itu mengatak bahwa mereka akan mampir sebentar ke rumah sahabatnya itu.
- Iya, sejak kelas satu. – Jade menjawab pendek
Saat Jade dan Joshua tiba di rumah Riri, keadaan di sana nampak sunyi senyap.
- Ririiii.........!!! – panggil Jade dengan suara nyaring. Namun tak ada sahutan dari dalam, padahal pintu depan rumah Riri tak terkunci.
- Mungkin dia ada di belakang, - Jade mengira-ngira.
- Jade, aku nggak bisa lama, nih. Soalnya aku tadi janji akan nganter Mama ke salon sehabis nonton. – tutur Joshua.
- Yaaa....tunggu ntar, ya ?! aku akan ke kamar Riri untuk nitip pesan, - ujar Jade cepat. Dia nggak ingin kehilangan sedikitpun waktu kebersamaan mereka. Dasar lagi jatuh cinta !!
Karena Jade memang sudah biasa di rumah Riri, dia langsung mau masuk ke kamar Riri untuk menulis pesan, tiba-tiba muncul tante Sri, Mamanya Riri, dari arah dapur.
- Eh, tante ! kirain nggak ada orang. Dari tadi Jade panggil-panggil nggak ada yang nyahut, sih. Riri-nya kemana tante ? -
- Tante lagi di taman belakang, biasa..ngurusin bunga. Si Riri lagi tante suruh ke warung beli korek api tuh, Jade. Tunggu aja di kamarnya, sebentar juga dia pasti pulang. – tante Sri memamerkan senyum khas ke-Ibuannya yang sangat di sukai Jade.
- Yaaa tante, Jade nulis pesan aja ke Riri, soalnya ada yang nunggu di depan, tuh ! -
- Ya udah, terserah kamu. – jawab tante Sri. Jade lalu melangkah ke kamar Riri. Pemandangan yang menyambutnya sudah di hafal Jade. Riri orangnya kan berantakan banget, buku-buku pelajarannya ada di semua tempat. Tergesa mata Jade menyapu sekeliling ruangan untuk mencari sebuah pulpen. Tiba-tiba matanya terhenti pada sebuah pulpen berwarna transparan. Cepat-cepat Jade menarik ujung pulpen itu dari atas meja, namun gerakannya yang agak kasar membuat sebuah map yang ada di atas meja belajar Riri jatuh ke lantai.
Jade baru hendak memberesi semua itu, saat matanya menangkap sesuatu. Hati Jade berdebar kencang. Ada lembaran-lembaran berwarna hitam pekat yang ikut jatuh bersama dengan map itu. Dan, salah satu dari lembaran itu sudah berisi. Sebuah puisi.
Mencintaimu adalah hal terindah dalam hidupku
Memimpikanmu adalah sesuatu yg sangat membahagiakan
Merindukanmu tak pernah membosankan
Namun
Aku sadar, sangat menyadari..
Bahwa ‘tuk memiliki dirimu
Adalah hal yang paling tak mungkin
Ada sebuah dinding pemisah
Terbentang luas membuat batas
Kita serupa, namun akulah yang berbeda
Maafkan aku,
Telah lancang mencintaimu......
Tertulis dengan tinta berwarna perak. Jade gemetar, sang penulis puisi itu adalah Riri. Gadis itu berlari keluar rumah sahabatnya seperti kesetanan. Dia tak sanggup memikirkan kenyataan itu. Belum sanggup. Tidak sekarang, mungkin nanti, entahlah...........
(Setiap manusia di lahirkan berbeda, namun jangan-lah perbedaan itu di pakai sebagai alasan utk membeda-bedakan manusianya)
0 komentar:
Posting Komentar