28 Mei 2011 | By: nsikome

KASIH IBU..

This is a story about seorang Ibu yg harus terpisah dari anak-anaknya, karena berbeda kewarga negaraan, dimana di Indonesia, masih sangat sulit bagi anak-anak yang lahir dari orang tua beda nationality untuk mendapatkan hak mereka sebagai warga negara Indonesia juga. Jika bisa, harus melewati lika-liku birokrasi yg menjijikkan..Satu lagi, potret suram keadilan negara ini...





KASIH IBU


Oleh : N.SIKOME


‘Kasih yang tak bersyarat, hanyalah bisa didapat dari seorang Ibu, kepada anak-anaknya..’ . Ungkapan ini memicu kembali kenangan-kenangan masa laluku, yang bisa dibilang adalah merupakan kebalikan dari ungkapan tadi. Aku sedih, geram, dan merasa tak berdaya dengan segala yang terjadi pada diriku. Seandainya saja aku menghadapi segala masalahku dengan orang-orang yang menyayangiku, dan selalu mendukungku dalam setiap keadaan dan kondisi apapun itu, mungkin aku bisa lebih kuat dari hari ini. Namun, Ibuku dan juga keluargaku tak pernah mendukungku, yang mereka tahu hanyalah bagaimana cara untuk memojokkan aku, atau meminta uang dariku. Kasih Ibuku, selalu ada syaratnya.
Hari ini, aku harus menelpon pengacaraku. Proses perceraianku dengan Henry yang sudah berjalan hampir 6 bulan masih menemui jalan buntu. Mungkinkah ada orang yang bisa mengerti perasaan seorang wanita yang terluka seperti aku?. Semenjak kelahiran anak kedua kami, aku mendapati Henry berselingkuh. Mulanya, aku tak pernah curiga dengan semua itu. Pekerjaan Henry yang mengharuskan dia sering bepergian ke luar negeri selama seminggu dua minggu tak membuat aku kuatir. Hanya satu hal yang kupegang dan selalu kutanamkan dalam hatiku, bahwa Henry mencintaiku, anak-anak, dan takkan melakukan hal-hal yang bisa merusak kehidupan keluarga kami. Aku sangat mempercayainya. Sebenarnya, pernikahan kami adalah suatu hal yang sulit bagiku. Perbedaan budaya dimana Henry berasal dari Amerika sedangkan aku adalah orang Indonesia yang memiliki adat-istiadat yang sangat berbeda dengannnya. Namun seperti kata-kata para penyair dalam puisi-puisi mereka tentang cinta, bahwa saat dua insan yang berbeda jenis saling mencintai, segala hal lain menjadi tak berarti. Aku sendiri, tak terlalu tahu dengan cinta itu. Apakah sebenarnya cinta itu ?. Ketika aku harus memilih, aku tak punya pilihan lain, yaitu aku harus menikah dengan Henry, untuk pergi dari rumah neraka yaitu rumah orang tuaku. Saat menikah, aku masih sempat bertanya-tanya pada hati kecilku, tentang pilihan yang sudah kubuat, dan tentang kehidupan dimasa datang yang akan kujalani bersama dengan laki-laki yang terpilih, dan aku sempat ragu. Namun, tak ada jalan untuk kembali. Aku akhirnya memantapkan tekadku, untuk menjalani sebuah kehidupan berumah tangga, yang tidak akan pernah sama dengan kehidupan keluargaku, kehidupan rumah tangga kedua orang tuaku.
Mulanya, aku berpikir bahwa pendapatku pada awal-awal pernikahan kami adalah sangat keliru. Henry adalah seorang laki-laki yang penuh tanggung jawab serta penuh kasih sayang. Apalagi ketika anak pertama kami lahir, segalanya seperti diberkati. Aku sendiri, sering menangis bahagia, meskipun dalam hati aku masih belum yakin, bahwa Henry adalah cinta-ku. Bagiku, dia adalah sesosok laki-laki yang sangat kuhormati, dan dia memang pantas untuk mendapatkan semua kehormatan itu.
“ Bu...ada telpon, dari Amerika “ suara pembantuku membuayarkan lamunanku. Segera ku ambil gagang telpon wireless yang dia bawa ke teras.
“ Hallo... “ salamku tak bersemangat, sebab kutahu pasti itu telpon dari Henry
“ Hallo Mom....apa kabar ? sedang apa Mom sekarang...? “ oh my God, itu suara Brad, anak tertuaku. Tak terasa airmata langsung melelh dikedua pipiku. Betapa aku sangat merindukan mereka bertiga.
“ Hallo sayang... Mom baik-baik,..thank’s. Mom pikir, kamu sudah lupa berbicara dalam bahasa Indonesia, gimana kabar Ryan dan Noah, sweetheart ? “ entah mengapa aku jadi sulit untuk mengendalikan perasaanku. Airmata terus mengalir deras dari mataku. Untung saja mereka berada ribuan kilometer dari rumah, dan tak bisa melihatku menangis seperti ini. Anak-anak itu tak bisa melihatku menangis, mereka pasti akan langsung mencecarku dengann seribu pertanyaan.
“ Mereka baik-baik juga,..kapan Mom akan datang untuk menjemput kita bertiga ? aku sudah rindu sama Mom, nih... “ keluh Brad. Aku tersenyum mendengar celoteh anak itu. Dia memang agak manja terhadapku, soalnya Brad sering sakit-sakitan. Proses saat kelahirannya yang sulit membuat anak itu sering mendapat gangguan kesehatan.
“ Mom juga rindu sekali sama kamu, juga adik-adikmu, gimana kabar sekolahmu ? “ Brad lalu mulai bercerita seperti biasanya saat dia menelponku, tentang sekolahnya, tentang sahabatnya yang bernama Alex, atau gadis kecil bernama Michelle yang selalu merecokinya di kelas. Semuanya membuat aku tertawa, gembira, dan pada akhirnya ketika dia menutup telpon, mataku sudah sembam dan bengkak karena terlalu banyak mengeluarkan airmata. Aku sedih, karena aku akan kehilangan mereka, kehilangan canda, tawa, kenakalan serta kegembiraan yang selalu kunikmati bersama mereka, sejak mereka kecil sampai hampir setahun yang lalu, saat ayah mereka membawa ketiganya pergi bersama dengan dia ke Amerika.
Cerita berlanjut, aku sempat terpukul dan kecewa sekali saat aku mengetahui perselingkuhan Henry. Saat itu, anak keduaku, Ryan, baru saja lahir. Kira-kira tiga minggu sesudah kelahirannya, aku menerima sebuah telpon.
“ Hello...?! “ kuucap salam seperti biasanya orang yang menerima telpon. Sesaat hanya ada kesunyian, lalu suara seorang perempuan yang berucap terburu-buru,
“ Maaf ya... saya salah sambung... “ nada suaranya begitu tidak meyakinkan, membuatku merasa aneh.
“ Kalau anda ingin bicara dengan Mr.Smith, ini memang benar rumahnya,.. “ tukasku lagi, hanya secara spontan, tanpa ada maksud apa-apa.
“ Oh ya...kalau Mr.Smith ada, please.. “ jawabnya lagi. Aku seketika tersadar. Bahwa ada sesuatu yang salah pada suamiku. Ketika aku memanggil Henry dan memberitahu dia bahwa ada seorang perempuan yang menelponnya, cepat-cepat dia mengambil gagang telpon, menempelkan ketelinganya, dan buru-buru menghilang kedalam ruangan kerjanya, dan baru kembali setengah jam kemudian.
“ Itu klien yang sedang bernegoisiasi harga denganku, “ jelasnya ketika keluar dari ruang kerjanya. Aku tak pernah bertanya, ataupuin meminta penjelasan apa-apa. Namun, insting ku sebagai seorang perempuan mengatakan bahwa ada yang tak beres pada suamiku, aku hanya malu untuk jujur, bahwa saat itu aku sudah tahu seketika, kalau Henry memiliki kekasih.
Hari demi hari berlalu, dan aku semakin tersiksa. Aku tahu bahwa Henry memiliki kekasih, namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Ditambah lagi penderitaan mentalku akibat dari kelakuan Ibu mertuaku, aku sering berpikir untuk bunuh diri. Namun, aku masih kuat. Nantinya aku baru menyadari, bahwa ternyata kekuatanku yang paling besar datang dari anak-anakku. Merekalah yang membuat aku kuat dan bisa bertahan dari semua kesengsaraan itu. Ibu Henry sendiri adalah seorang wanita berkulit putih yang sangat bangga akan warna kulitnya itu. Semua yang dia ucapkan, dan kelakuannya menunjukkan bahwa dia memandang rendah terhadap orang-orang berkulit kuning seperti aku, seakan-akan orang seperti aku hanyalah seekor lalat menjijikkan yang hinggap diujung sepatunya. Meskipun sulit, aku juga berhasil menamatkan kuliahku dengan hasil yang memuaskan. Kuliahku di Indonesia memang terputus karena aku harus segera berangkat ke Amerika. Namun kulanjutkan studiku disana, karena aku tak ingin menyia-nyiakan apa yang sudah kumulai terutama dengan pendidikanku. Aku sendiri adalah seorang perempuan yang selalu mementingkan pendidikan. Bagiku, laki-laki adalah tulang punggung keluarga, dan adalah orang yang harus menafkahi keluarganya, namun perempuan tidak hanya harus berpangku tangan, sebab jika terjadi sesuatu dan lain hal pada si tulang punggung keluarga, otomatis si perempuanlah yang harus mengambil alih. Dan bila si perempuan tidak memiliki bekal seperti pendidikan formal yang memadai, apalah jadinya ?. Aku bersyukur bisa menyelesaikan kuliahku, karena aku baru menyadari manfaatnya sekarang.
Sekitar empat tahun yang lalu, kami masih tinggal di Amerika. Tiba-tiba, oleh perusahaannya Henry ditugaskan ke Mexico, kesuatu daerah pegunungan disana, yang sedang membangun bendungan air untuk pembangkit tenaga listrik mereka yang sangat besar. Sebelumnya Henry memang sudah beberapa kali kesana saat sedang melakukan tender dengan pemerintah negara tersebut. Sayang sekali, karena kebijakan perusahan yang menilai bahwa situasi daerah tempat Henry bertugas tidak aman, maka keluarga tidak bisa mengikuti para pekerja disana. Akhirnya, kami berembuk dan memutuskan bahwa aku dan anak-anak pulang ke Indonesia, dan Henry setiap bulan menyusul kami ke Indonesia dan cuti selama 2 minggu, sebab pekerjaan di sana baru akan selesai dalam jangka waktu 2 tahun. Aku sendiri, sudah hampir tak kuat menanggung beban itu sendirian, Ryan sudah berusia 5 tahun, dan selama itu aku menderita dengan kebohongan demi kebohongan yang Henry sampaikan padaku.
Kira-kira 5 bulan yang lalu, tanpa sengaja aku membuka laptop milik Henry. Saat itu aku hendak meng-copy daftar pendapatan kami tahun ini untuk pajak. Namun aku jatuh pada sebuah file yang dinamakan seperti nama perempuan. Betapa aku yang sudah hancur menjadi lebih remuk saat melihat isi file tersebut. File itu berisi foto-foto mesra Henry dengan perempuan yang ternyata bernama Hannah, dan yang lebih memilukan hatiku, ada banyak foto-foto intim antara mereka berdua, yang hanya bisa didapat di situs-situs pornografi di Internet.
Bagai dihantam palu, aku merasa sangat sakit. Namun seluruh akal sehatku tidak mati. Cepat ku-copy foto-foto jorok dan juga beberapa email cinta mereka berdua kedalam flash disk ku, lalu segera mematikan laptop Henry, tepat saat dia sudah selesai mandi.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaanku saat melihat laki-laki itu berjalan masuk kedalam kamar. Anehnya, tak ada perasaan marah, yang ada hanya rasa muak dan ingin muntah ketika melihat Henry masuk. Sejam berikutnya, aku langsung menghubungi pengacara, dan seminggu kemudian berkas-berkas untuk perceraian kami masuk ke pengadilan. Karena kami menikah di Amerika, maka proses perceraian kami dipindahkan kesana. Saat itu aku masih syok, dan tak bisa berpikir dengan cermat. Bahkan, saat dia mengajak anak-anak untuk pergi bersamanya ke Amerika, aku langsung mengijinkan. Ternyata dia mempunyai rencana lain, dia ingin mengambil anak-anak dariku.
Aku sempat mengumpat-umpat dan memaki hukum dinegeri ini. Mengapa anak-anakku yang harus jadi korban ? aku bisa memenangkan hak perwalian anak-anakku, dan aku ingin agar anak-anakku dibesarkan olehku, meski aku harus mengais dari tempat sampah sekalipun. Namun hukum di negeri ini tak mengijinkan. Anak-anakku ikut warga negara ayah mereka, dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Hanya untuk mengurus visa setiap bulan saja mahalnya minta ampun, belum lagi tikus-tikus di kantor Imigrasi yang selalu meminta jatah mereka, seakan-akan mereka adalah preman-preman pasar. Namun aku tahu, pasti aku akan mandapatkan jalan keluar.
“ Ma, kapan kita ketemu ? “ suara Ryan ditelpon begitu menggemaskan. Aku rindu sekali pada mata coklat mudanya, serta kenakalan yang melebihi kenakalan kakak dan adiknya. Dia memang tak pernah memanggilku ‘Mom’
“ Mama belum tahu sayang, tapi mama yakin kalau kita bakal ketemu lagi.. “ hiburku, entah pada siapa. Pada Ryan, atau aku ?
“ Ryan sudah rindu sama Mama, mau jalan-jalan kepantai, disini tak ada pantainya...” keluhnya. “ Ryan juga bosan disini, habisnya...Noah suka mengganggu Ryan... “ lanjutnya lagi, mengadu. Airmataku mengalir semakin deras, aku hampir tak bisa menahan isakku. Ah, Ryan...anak itu memang paling tak bisa akur dengan Noah adiknya. Hampir setiap saat mereka selalu bertengkar, namun bila satu tak kelihatan, mereka selalu saling mencari.
“ Nanti kalau kita ketemu, pasti Mama ajak Ryan jalan-jalan ke pantai seperti dulu, tapi Ryan harus janji, bahwa Ryan akan baikan sama Noah, dan tidak akan pukul Noah lagi. Noah kan adikmu...janji ya Nak ? “
“ Tapi Mama harus janji juga sama Ryan, kalau kita akan segera bertemu, Ryan rindu sama Mama... “ ada tangis diseberang sana. Ryan menangis. Hatiku seperti tertusuk belati, sakit sekali. Dalam hati aku bersumpah, apapun yang akan terjadi, aku akan berjuang untuk anak-anakku. Rasanya tak adil bila kasih seorang Ibu terhadap anak-anaknya, harus terpisahkan hanya karena selembar kertas dan cap bernama “VISA”.


THE END

0 komentar:

Posting Komentar