28 September 2011 | By: nsikome

Tentang WILDAN

Cerpen ini, meski hanya sebuah fiksi, terinspirasi dari sebuah kisah nyata sebuah keluarga, yang sangat menginspirasi aku. Ketabahan kedua orang tua Wildan, dan yg terutama, ketulusan seorang adik, Ghulam. Yang menyayangi kakaknya dengan sepenuh hati, meskipun dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh sang kakak. Salut buat Mama Frida dan keluarga..

Foto :gendenk.org

TENTANG WILDAN

Dia begitu menarik. Itulah kesan pertama yang didapat Ghulam, ketika bertemu Annisa. Pagi itu, Ghulam baru saja mengantarkan saudara lelaki satu-satunya Wildan ke sekolah, dan bertemu dengan gadis dengan rambut berkuncir ekor kuda.

“Pak Amran, siapa tuh?” tanya Ghulam pada penjaga sekolah Wildan, tak lagi mampu membendung rasa penasarannya. Mata si penjaga sekolah mengikuti arah yang ditunjuk tangan Ghulam, dan lelaki tua itu tersenyum simpul.

“Ohhh..itu namanya Mbak Annisa, dia mahasiswa yang lagi magang disini Nak Ghulam..”

“Kenapa? Dia cantik ya?” lanjut Pak Amran menggoda Ghulam, yang entah kenapa langsung memerah wajahnya di goda si penjaga sekolah.

“Ah, Bapak bisa aja..nggak kok, saya kan baru pertama kali melihatnya disini, normal kan kalau saya bertanya” elak Ghulam. Dia kemudian langsung berjalan menuju ke mobil, dan melambaikan tangan pada Pak Amran, yang terkekeh geli melihat sikap pemuda itu.

“Wildan, kamu senang disekolah hari ini?” tanya Ghulam, mereka sekeluarga tengah menikmati makan malam dirumah. Mama menatap Ghulam dengan pandangan penuh tanda tanya.

“Memangnya ada apa di sekolah Wildan, Lam?” tanya Mama. Ghulam mencoba untuk menyembunyikan reaksi kagetnya ditanya Mama seperti itu, tapi sudah terlambat.

“Nggak apa-apa kok Ma. Cuman mau nanya keadaan Wildan disekolahnya”

“Lho, bukannya kamu suka nanya langsung ke guru Wildan, Lam?” tanya Mama lagi. Ghulam mengaduk-aduk isi piringnya dengan resah. Kalau Mama sudah bertanya ini-itu, dia tak akan pernah berhenti sebelum mendapatkan jawaban yang menurutnya sudah cukup memuaskan.

“Tadi Ghulam waktu nganterin Wildan, nggak sempet masuk ke dalam, soalnya sudah buru-buru mau ke Kampus, Ma.”

“Ada Nisa,” tiba-tiba terdengar suara Wildan yang sangat jarang berkumandang memotong percakapan Ghulam dan Mama.

“Siapa Nisa, Nak?” Mama terlihat antusias, maklum saja, Wildan adalah seorang anak yang sangat pendiam, terlalu pendiam untuk ukuran anak seumurnya. Namun Wildan tak memperdulikan pertanyaan Mama. Anak itukembali menekuni piringnya dan makan dengan lahap.

“Wil, ditanyain Mama tuh, kok nggak jawab sih?” Ghulam sedikit merasa nggak enak sama Mama. Wildan memang seperti itu, kadang kalau suasana hatinya lagi enak, dia menjawab, kalau tidak, langsung diam saja. Namun Wildan tak menggubris pertanyaan Ghulam, dia malah nampak asyik dengan potongan cumi gorengnya.

“Hai....kamu sodaranya Wildan ya?” ternyata, si cantik berambut ekor kuda yang menyapa. Ghulam tengah mengambil tas dan semua perlengkapan Wildan dari dalam mobil, dan tak menyadari, kalau ternyata mahkluk ciptaan Tuhan yang sangat cantik itu berada dibelakangnya.

“Ehm..eh..iya, maaf...saya tidak tahu ada anda dibelakang saya..” gugup Ghulam menyahut. Gadis itu tersenyum, dan demi Tuhan...Ghulam merasa senyumnya itu manis sekali. Mahkluk manis itu hanya tersenyum lagi, dan..dia mengulurkan tangannya ke arah Ghulam.

“Nama saya Anissa, kamu pasti Ghulam” katanya mengenalkan diri. Ghulam sejenak terpana, lalu menyeka tangan kanannya di celana panjang.

“Senang berkenalan dengan kamu, Nisa. Kok tahu nama saya Ghulam?”

“Wildan tuh yang ngasih tahu ke aku,” Ghulam mengangkat kening sebelah kanannya, hal yang selalu dia lakukan bila dia merasa heran.

“Wildan ngomong sama kamu?”

“Nggak banyak sih yang dia omongin, cuman kasih tahu ke aku nama kamu, saat aku bertanya padanya, siapa yang sering nganterin dia ke sekolah..” terang Annisa. Ghulam hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan gadis itu. Dia tentu saja merasa heran, karena Wildan tak pernah secepat itu langsung akrab dengan seseorang yang baru dia kenal. Apalagi langsung bicara dan memberikan informasi tentang anggota keluarganya. Ghulam tahu benar akan hal itu. Namun dalam hati dia merasa sangat senang, mungkin saat ini saudara laki-laki yang sangat dikasihinya itu, sudah mau membuka dirinya pada orang lain. Terima kasih, Tuhan, bisik Ghulam dalam hatinya.

“Aiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!” terdengar sebuah teriakan kesakitan dari teras samping rumah, tempat biasanya keluarga Ghulam berkumpul.

“Wildan lagi sama Papa ya, Ma?” tanya Ghulam sambil mencomot sepotong ubi goreng dari atas meja.

“Iya, lagi asyik tuh mereka berdua, Lam..tangan kamu dicuci dulu, kenapa sih? Main nyomot aja, banyak bakterinya, lho!” Mama yang selalu maniak pada apa yang disebut “kebersihan” langsung menyingkirkan piring itu dari atas meja dan menaruhnya kedalam tudung saji. Ghulam yang gagal mengambil potongan ubi goreng keduanya, langsung menuju ke arah teras samping.

Seperti biasanya, disana dia menjumpai Papa tengah dicabutin ubannya oleh Wildan, salah satu kegiatan yang paling disukai oleh Papa, dan juga Wildan. Kalau saudara lelakinya itu tengah mencabuti uban, tak ada yang boleh mengganggunya. Sedangkan Papa, dia selalu merasa senang, karena katanya, uban yang bikin gatal nggak pernah bisa tumbuh lama-lama dikepalanya kalau ada Wildan.

Tidak seperti biasanya, kali ini Wildan malah sedang asyik mencabuti uban Papa, sambil tersenyum-senyum gembira. Suatu hal yang sangat jarang terjadi pada saudaranya itu.

“Hai Wil, kok senyam-senyum mulu dari tadi, ada apa sih?” Ghulam duduk di samping Wildan. Sejenak senyum itu terhenti, namun kembali dia tersenyum lagi.

“Ada rahasia apa sih?” Ghulam makin penasaran melihat tingkah saudaranya itu. Namun segera dia tahu, bahwa dia tak akan pernah mendapatkan jawaban apa-apa dari Wildan. Ghulam lalu berdiri dan masuk kedalam rumah, diikuti oleh pandangan sedih Papa.

Waktu kembali berlalu, dan 3 bulan sudah Ghulam mengenal Annisa, dan tak pernah sedikitpun ada rasa berani yang muncul dihatinya untuk mengajak gadis itu, bahkan hanya sekedar jalan-jalan. Padahal, selama waktu berselang itu, mereka cukup dekat. Seringkali, mereka berdiskusi berdua tentang perkembangan Wildan.

Wildan memang entah mengapa menjadi dekat dengan Annisa, dan ini adalah yang pertama kalinya dia dekat dengan seseorang. Jika Annisa ada, Wildan tak malu-malu lagi memamerkan senyum indahnya, dan bahkan sesekali tertawa tergelak jika ada Annisa disampingnya. Ghulam makin menyukai gadis manis itu, terutama karena Annisa juga kelihatan menyukai Wildan, itu yang paling penting bagi pemuda itu. Jika ada seorang gadis yang juga menyukai Wildan saudara-nya, dan merasa nyaman dengan ke-eksentrik-an Wildan, maka dia bukanlah seorang gadis biasa.

“Hai,..Nisa, ini aku, Ghulam” sapa dia begitu Annisa menjawab ponselnya.

“Ada apa, Lam? Ada masalah dengan Wildan?” tanya Annisa, terdengar cemas.

“Nggak, Nis. Begini, Sabtu nanti aku ada acara Kampus, pesta ulang tahun Fakultas. Kamu mau nggak nemenin aku?” keringat dingin mengalir seperti air diwajah Ghulam. Untung aja percakapan itu hanya lewat telepon, Ghulam bisa membayangkan reaksi Annisa bila melihatnya basah kuyup keringatan seperti ini.

“Tentu saja mau, Lam. Eh, ngomong-ngomong, ini ajakan kencan, ya?” todong Annisa, yang makin membuat Ghulam keringetan. Sekali lagi dia bersyukur percakapan itu hanya lewat telepon.

“Ehmm...mmm....kalau kamu setuju, aku juga, sampai ketemu Sabtu ya!!” makin gugup, Ghulam langsung menutup sambungan telepon itu. Sedetik kemudian, dia baru menyadari, bahwa mereka belum punya meeting point alias akan ketemu dimana. Soalnya, Ghulam lupa memberi tahu dimana acara itu akan dilaksanakan. Waduh gawat, pikir Ghulam. Tiba-tiba, handphone-nya berdering keras, ternyata Annisa.

“Hai Nisa, ehmm..maaf ya, aku baru saja mau menelpon kamu” ujar Ghulam berbohong, sambil minta maaf sama Tuhan dalam hati. Jika Mama tahu dia bohong, pasti akan kena marah, soalnya, semenjak kecil dia dan Wildan selalu diajarin bahwa bohong itu dosa.

“Iya, habis..kamu nya langsung main nutup telpon sih,” rajuk gadis itu. Ghulam tertawa mendengar ucapan Annisa.

“Aku jemput kamu ke rumahmu ya? Alamatnya dimana?” Annisa terdengar mengucapkan suatu tempat, yang langsung dicatat oleh Ghulam dalam notes kecilnya, yang selalu memang dia bawa kemana-mana.

“Sampai ketemu Sabtu, Lam!” kali ini, Annisa yang menutup sambungan telpon.

Sabtu, pukul 6 sore

Ghulam tengah bersiap-siap untuk pergi ke acara ulang tahun Fakultas di Kampusnya, saat Wildan tiba-tiba muncul di depan pintu kamarnya. Wajahnya penuh tanda tanya.

“Aku mau ke acara ulang tahun Fakultas, Wil” Ghulam menjelaskan, selalu seperti itu. Wildan masih juga tak beranjak dari sana, dan wajahnya masih penuh tanda tanya.

“Aku pergi sama Annisa, Wil. Nanti pulangnya agak telat..” lanjut Ghulam. Sedetik dia melihat ada perubahan di wajah Wildan. Namun sedetik berikutnya, Wildan sudah berlalu dari hadapannya. Ghulam tiba-tiba merasa tidak enak, dan dia benar.

Terdengar suara teriakan dan diikuti dengan bantingan barang-barang dari kamar Wildan. Seketika hati Ghulam dirundungi perasaan sangat sedih. Dia lalu menghambur keluar kamarnya, dan menuju kamar saudara yang sangat dikasihinya.

“Wil..apa yang terjadi? Kenapa kamu marah seperti itu?” tanya Ghulam cemas, dia melihat Mama dan Papa sudah berada disana. Wildan masih mengamuk. Sia-sia usaha Papa untuk menenangkan dia. Ghulam juga melihat sudah ada memar di pipi Papa, sepertinya dia sudah kena pukul tinju Wildan yang besar.

Tiba-tiba, mata Ghulam terantuk pada sebuah foto kecil, yang dibingkai dengan kertas, disamping tempat tidur Wildan, dan seketika dia mengerti apa yang terjadi. Lukisan Wildan juga cukup jelas menggambarkan isi hatinya. Foto itu adalah foto Annisa, dan semua lukisan itu, wajah Annisa. Wildan memang sangat jago melukis, dan Ghulam sangat bangga akan keahlian saudara-nya itu. Wildan menyukai Annisa. Terlepas dengan keterbatasannya, dia tetaplah seorang pemuda berusia 20 Tahun.

“Wil, tenang.....kamu jangan marah ya,...adik tidak akan pergi ke pesta dengan Annisa. Adik hanya bercanda sama kamu. Nggak percaya? Adik mau kesana sebenarnya dengan kamu...ayo kita pergi, tapi ganti baju dulu, ya?” mendengar kata-kata Ghulam, seketika amukan Wildan terhenti, dan dia langsung menuju kamar mandi, setelah sebelumnya mengambil handuk. Di sudut, Papa terlihat meringis sambil memegangi pipinya yang memar, dan Mama, dia tengah menatap Ghulam dengan rasa kasihan.

“Ma, Pa, Ghulam pergi dulu sama kakak ya..” pamit Ghulam sambil menggenggam tangan kakak-nya Wildan.

“Pulangnya jangan lama ya Dik...kasihan kakakmu,..” Mama mencium Ghulam lalu Wildan, yang tersenyum berseri-seri, senang karena adiknya bukan mau mengajak Annisa, tapi dia untuk pergi ke pesta.

Ketika mobil yang dikendarai Ghulam berlalu dari hadapan kedua orang tua itu, ada airmata yang jatuh di pipi Papa dan Mama.

Perempuan itu teringat ucapan Ghulam beberapa tahun yang lalu, saat Ghulam kelas satu SMP....eyang Ti menyampaikan keresahannya pada Ghulam....mama di kamar dengar pembicaraan mereka,

Dek, kakak besuk bagaimana ya kalau sudah besar? Kakak kerja apa?.”. Tanya eyang Ti.

Ghulam menjawab serius, “Kakak itu besuk ikut aku, Yang....kakak menjadi tanggunganku.”.

Bukan salah siapa-siapa Wildan menjadi seorang anak autis, namun Mama kagum dengan kebesaran hati Ghulam, yang selalu mau menjadi tameng bagi kakaknya, selalu membela kakaknya, meski sering menjadi tempat sasaran pukulan Wildan ketika dia mengamuk. Bahkan kini, dia rela untuk mengesampingkan perasaan hati nya pada seorang gadis, demi Wildan, kakak autisnya.

Airmata kembali jatuh di pipinya. Terima Kasih ya Tuhan, telah memberikan Wildan seorang adik yang mau mengerti keadaan kakaknya, sertai mereka berdua terus selamanya, bisiknya dalam doa di hati.

(Untuk Mama Frida, Papa, Wildan & Ghulam, cerita ini terinspirasi dari keluarga kalian, maaf ya Ma, ada paragraf yang kuambil dari blog, kalian keluarga yang hebat, dan menjadi inspirasiku)

24 September 2011 | By: nsikome

MIMPI

Photo :josephinewall.co.uk


MIMPI


Terbang seorang diri,

Menjemput CINTA dari kekasihnya

Merangkul masuk ke dalam pelukan

Menyatu di batas kenangan……

Menggali sisa-sisa rindu

Membentuk indah suatu dosa

Sebab, tak seharusnya terbang seorang diri….

Biarkan angan mengembara

Menicum lembut bibir kekasih

Melumat habis nafsu birahi !!

Lepaskan segala emosi di hati !!

Terbang ke utara

Terbang ke selatan,

Terbanglah ke segala arah…

Meraih segala yang di damba…

Merobek tirai-tirai pemisah

Lepaskan rasa yang menggila

Biarkan semua ikuti takdir jiwa

Sebelum nanti terjaga,

Dari tidurnya !!!


( Meudon-France, 12-03-’99 )

23 September 2011 | By: nsikome

BOOK YOUR BLOG





Hi guys!!..

Kenapa saya memberi judul seperti diatas? Tentu kalian semua yg setia bolak-balik mengintip blog-ku pada penasaran. Soalnya, ini kali pertama saya memposting sesuatu yang bukan "Fiksi" seperti yg selalu saya lakukan selama ini.

Book your blog, adalah sebuah iven yang diselenggarakan oleh Penerbit Leutikaprio. Sebuah Penerbit buku independent, yang mengkhususkan diri untuk menerbitkan buku-buku ataupun tulisan-tulisan bagi para penulis, tanpa kecuali! Apalagi penulis-penulis yg sering mengalami diskriminasi dari penerbit-penerbit gede,hehe.

Lewat iven ini, Leutikaprio mengajak kita semua, yang punya blog dan suka menulis, untuk mendaftarkan diri ikut iven ini. Ada hadiahnya pula, tulisan kita akan diterbitkan oleh mereka, dan juga di publikasikan oleh mereka pula, bagi 3 blog yang dianggap sebagai blog terbaik, dengan tulisan-tulisan yang bagus pula.

Inilah saatnya, untuk kita-kita para bloggers, unjuk pena/keyboard komputer (bukan gigi ya?), yang suka menulis, tapi masih malu-malu, curahkan hasil tulisan ke blogmu, yang punya tulisan bagus tapi cuma sekedar di blog saja, inilah kesempatan kita untuk membuktikan, bahwa kita memang punya "sesuatu" (ngekorin Syahrini)

Untuk lebih lengkapnya, nih, klik tautan berikut, supaya kamu, kita, para bloggers sejati (semangat amat), bisa langsung ke info selengkapnya :



Salam,

NSikome

18 September 2011 | By: nsikome

SENJA MERAH




Senja merah,

Tergores luka bernanah

Kesunyian kian menyiksa......


Parau, suara merintih

Memohon, untuk mengerti

Tiada jawaban di nanti......


Terseok langkah,

Memikul duka dan luka

Yang semakin berdarah.....


Ingin berlari pergi,

Tak berdaya diri

Terpaku oleh takdir


Pasrah...........

Mimpi yang terbunuh,

Hanyut bersama angan

Terbang, di hempas keadaan,


Senja makin memerah.........

Tangisan terselimuti dendam,

Airmata geram menitik deras

Geraham mengatup, menahan amarah di jiwa


Hanya CINTA mampu meredam semua,

Mungkinkah ???

Entahlah !!!

Senja masih saja merah......


(Manado, 15 Mei ’03) / a dark Periode of my life..


09 September 2011 | By: nsikome

SELAMAT TINGGAL KENANGAN

Cerpen ini, kudedikasikan untuk seluruh perempuan, seluruh Ibu, seluruh istri yang seringkali menghadapi masalah yang serupa. Mungkin kelihatan biasa, namun seorang ibu adalah seorang pejuang sejati, yang tak kenal pamrih, melahirkan dan mendidik anak sehingga dewasa. Walaupun, ada juga "ibu-ibu" yang menelantarkan anaknya. Namun demikian, keberanian dan ketangguhan seorang Ibu, tak akan bisa tergantikan oleh apapun juga. Selamat Hari Ibu (meskipun belum tiba)

SELAMAT TINGGAL KENANGAN

Oleh : N.Sikome

Suasana hiruk pikuk antara suara orang yang sedang bercakap-cakap dan bunyi musik mengisi ruangan aula sebesar setengah ukuran lapangan bolakaki yang di hiasi dengan bermacam ragam kertas hias berwarna-warni. Arini tersenyum bahagia melihat semua itu, semuanya adalah hasil kerja Alan anak sulungnya, dan juga Robert sang suami tercinta. Arini tak tahu kalau mereka tengah menyiapkan pesta surprise ini, mulanya dia hanya di titipi pesan untuk menyusul Alan ke aula Ignatius karena ada acara kampus mereka di sana, taunya baru dia sampai, semua sahabat-sahabatnya, sahabat-sahabat Robert, dan juga teman-teman anak²nya tengah menunggu dia di dalam aula, untuk merayakan pesta ulang tahunnya sekaligus syukuran karena Arini berhasil meraih titel Sarjana Hukumnya meskipun agak sedikit terlambat. Dalam hati Arini mensyukuri semua berkat yang telah Tuhan berikan kepadanya. Entah mengapa, tiba-tiba hati Arini merasa tak enak, sepertinya ada seseorang yang tengah memperhatikannya. Sejenak dia melemparkan pandangannya ke sekeliling ruangan aula, dan feeling nya ternyata benar. Di sudut dekat pintu, ada sepasang mata milik seorang laki-laki yang memandanginya cermat. Arini tertegun, pandangan laki-laki itu langsung membawanya ke masa dua puluh tahun yang silam….\

Arini terjerembab ke lantai dapur, tubuhnya bengkak dan mukanya penuh dengan bekas-bekas pukulan. Dia menangis, sudah seribu kali dia meminta maaf pada Patrick, tetapi laki-laki itu masih saja terus memukulinya tanpa ampun. Tendangan bertubi-tubi mendarat di sekujur badan perempuan itu. Arini hanya merintih menahan sakit, dia tak ingin mengeluarkan suara lebih, bukan karena takut kedengaran tetangganya, tapi dia tak ingin Alan anak mereka terbangun dan melihat semua adegan itu. Semuanya berawal saat Patrick pulang dari kantor, laki-laki itu meminta Arini untuk membuatkan secangkir kopi. Tanpa sengaja, kopi yang hendak di berikan Arini kepada suaminya tertumpah dan mengenai ujung celana panjang Patrick. Laki-laki itu kemudian menjadi histeris dan mulai memukuli istrinya.

Saat menikah, Arini sama sekali tak tahu tabiat buruk calon suaminya. Bahkan saat mereka pacaran, tak pernah terlihat sedikitpun tanda-tanda bahwa Patrick itu adalah type seorang laki-laki yang ringan tangan dan suka memukul. Semuanya mulai jelas terlihat saat mereka baru menikah. Sedikit saja salah yang di buat Arini, itu sudah cukup untuk menjadi alasan bagi Patrick untuk memukuli istrinya. Arini tak mengeluh, dia bahkan tak pernah mengatakan hal itu kepada keluarganya. Dia tak ingin membuat mereka cemas. Dia berpikir, mungkin kalau dia hanya diam dan tak membalas semua kata-kata kasar dan perlakuan suaminya, satu saat laki-laki itu akan menyadari tingkah lakunya yang tak baik itu.

Tapi semakin hari berlalu, Arini semakin tak yakin dengan apa yang dia pikirkan, karena hingga tahun kelima pernikahan mereka, Patrick masih saja sama. Pernah satu kali Arini mencoba untuk bicara baik-baik dan menganjurkan suaminya agar pergi berkonsultasi dengan seorang psikolog, yang dia terima adalah luka-luka memar yang memanjang di sepanjang lengan dan pahanya. Arini sudah mulai putus asa. Dia sempat bertanya-tanya pada Tuhan, dosa apa yang dia perbuat hingga dia harus menerima hukuman semacam ini. Yang paling menyiksa dia, adalah bahwa ada kali dia harus berbohong kepada anaknya seperti pagi tadi.

Alan baru saja bangun, seperti biasanya anak itu mencari Arini untuk mengucapkan selamat pagi. Sambil berlari kecil, anak yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke empat berlari ke dapur untuk menemui ibunya. Di pintu dapur, Alan tertegun mendapati ibunya tengah berdiri di depan kompor dengan mata sembab berwarna kebiruan.

‘’ Selamat pagi, Mama. Mata Mama kenapa ? ‘’ tanya anak itu polos. Arini bingung harus menjawab apa, anak itu masih terlalu kecil untuk mengerti banyak hal. Dia lalu memilih untuk berbohong saja.

‘’ Mama tadi jatuh dari tangga, Alan. Tapi Mama nggak apa-apa, kok. ‘’ jawabnya berusaha untuk membuat Alan jadi tak kuatir. Tapi jawaban yang dia berikan dengan maksud untuk tidak menyakiti dan membuat anaknya cemas di balas dengan jawaban lain yang menyakitkan hati perempuan itu.

‘’ Kok Mama bohong, sih ? Alan tahu kalau tadi malam Mama di pukulin sama Papa !! Alan sendiri lihat.. ‘’ balas anak itu dengan nada meninggi. Arini terkejut, dia menyalahkan dirinya sendiri yang tak hati-hati. Alan belum seharusnya melihat hal-hal semacam itu.

“ Kok Papa jahat begitu dengan Mama ? Alan benci Papa !! sudah lama Alan tahu kalau Papa selalu tak baik dengan Mama. “ lanjut anak itu. Arini menjadi lebih terkejut, Alan tak boleh membenci ayahnya sendiri. Dia lalu mencoba untuk memberikan penjelasan yang bisa di terima oleh anak seumur Alan.

‘’ Alan, sebenarnya Papa-mu tak ingin bersikap jahat terhadap Mama, Papa-mu itu lagi sakit, makanya dia adakala jadi seperti itu ! ‘’

“ Biasanya orang kalo sakit diam di tempat tidur, di beri obat sama dokter. Kok Papa kalau sakit jadi suka mukulin Mama ? itu sih namanya jahat !! “ Arini terdiam mendengar ucapan anaknya itu, dia tak tahu harus berkata apa lagi. Terlalu sulit untuk menjelaskan sesuatu terhadap anak sekecil Alan.

“ Hush !! kamu tak boleh bicara seperti itu tentang Papa, Alan. Itu sama sekali tidak benar. Sekarang kamu makan pagi dan nanti temenin Mama memetik bunga di taman, ya ?! “ dengan lembut perempuan itu berusaha untuk mengalihkan pembicaraan yang mulai berbahaya itu. Saat anaknya tengah menghadapi sarapan paginya, Arini mengamati putranya itu dengan seribu pertanyaan di benak. Akankah dia sanggup bertahan dengan hidup ini ? sampai kapan ? bagaimana nanti nasib anaknya jika dia bertahan tinggal terus dengan suaminya yang bertemperamen kasar itu ? dst..dst..dst-nya…

Akhirnya, kesabaran Arini mencapai batasnya pada tahun ke enam perkawinan mereka. Sikap suaminya yang kasar dan ringan tangan itu masih bisa di tolerir oleh Arini, jika saja sikap kasarnya itu hanya dia tujukan terhadap Arini. Tapi kali ini semuanya benar-benar sudah melampaui batas. Arini tak bisa melupakan hari itu. Suaminya baru saja pulang kantor. Arini sudah tahu bahwa ada yang tidak beres, mungkin saja ada masalah di kantor Patrick yang membuat laki-laki itu kelihatan uring-uringan. Setelah dia selesai memberi makan malam pada Alan, Arini segera membawa anak itu ke dalam kamarnya, lalu keluar untuk menyiapkan makan malam dia dan suaminya. Dia baru saja hendak mengeluarkan piring dari dalam lemari saat terdengar suara Patrick memanggilnya.

‘’ Kamu memanggil saya, Patrick ? ‘’ tanya Arini pelan. Terlihat betul suaminya mulai gusar. Dia mencoba untuk bersikap biasa.

“ Siapa yang merubah letak meja komputerku ? “ nada suara laki-laki itu mulai meninggi. Arini merasa jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya.

“ Itu si Ani yang mindah, tapi saya yang nyuruh biar ruangan jadi lebih luas. “ Arini memang menyuruh pembantu rumah tangga mereka yang hanya datang siang untuk memindah meja itu.

“ Saya tak pernah meminta kamu untuk melakukan hal itu kan, Arini ? kamu memang selalu membuatku marah !! “ kali ini suara Patrick sudah berupa teriakan. Selanjutnya sudah bisa di tebak, laki-laki itu mulai memukuli Arini. Seperti kesetanan, Patrick menginjak-injak tubuh istrinya itu. Tak puas hanya sampai di situ, dia lalu meraih lampu meja yang terletak dekatnya lalu di hantamkannya ke tubuh Arini. Tadinya perempuan itu mengerang-erang minta ampun seperti biasanya, tapi kali ini dia merasa terlalu sakit untuk bisa mengeluarkan suaranya. Hal terakhir yang di lihat oleh Arini adalah wajah polos Alan yang ketakutan di depan pintu kamar mereka.

Arini terbangun oleh bau tajam obat-obatan. Perlahan dia membuka matanya, di sekeliling perempuan itu hanya ada warna putih. Samar-samar sebuah wajah mendekati mukanya, ternyata itu Ibu Arini.

‘’ Ibu…kok ada di sini ? ’’ suara Arini terdengar pelan hampir tak terdengar .

‘’ Sssst… jangan bicara dulu, kamu masih lemah, Ning. ‘’ wanita tua itu menaruh telunjuknya di bibir.

‘’ Siapa yang kasih tahu sama Ibu ? ’’ Arini bersikeras untuk bicara juga walau sudah di larang oleh Ibunya.

“ Si Ani yang telpon, Ibu langsung terbang kemari. Kamu sudah empat hari terbaring di rumah sakit ini, Ning. Ibu jadi cemas sekali, takut kamu nggak akan bangun-bangun lagi. “ pelan Ibunya menjawab.

Arini tersentak, segawat itukah keadaannya ? apa yang di pakai suaminya untuk memukulinya kali ini hingga dia 4 hari tak sadarkan diri ? tiba-tiba Arini teringat pada Alan.

“ Alan ada di mana, Bu ? “ tanya-nya sedikit cemas. Terlihat wajah ibunya mengkerut, Arini jadi lebih cemas.

“ Bu ?!!……”

“ Ning, Alan ada di kamar sebelah, dia sedang dalam perawatan dokter. “ jawab ibunya perlahan, tapi cukup untuk membuat Arini tersentak kaget. Dia langsung ingin bangun, tapi dia tak punya tenaga cukup untuk itu.

“ Memangnya kenapa dengan Alan, Bu ? ada apa dengan dia ?!! “ Arini bertanya cemas, ada airmata yang mulai berlinang di kedua belah pipinya.

“ Kata si Ani, Alan mencoba untuk menghalangi ayahnya yang tengah memukuli kamu dengan lampu, dan laki² brengsek itu malah memukuli anaknya sendiri. Alan terluka di bagian kepala. Sampai sekarang dia masih berada dalam perawatan intensif. Kamu nggak usah kuatir, Alan pasti akan sembuh. “ Belum pernah Arini merasakan perasaan benci terhadap suaminya seperti yang dia rasakan saat ini. Kalau dia bisa, dia pasti sudah bangkit dan pergi mencari sepucuk revolver untuk membunuh Patrick. Kalau selama ini kelakuan kasarnya terhadap Arini masih bisa di tolerir, tapi apa yang dia lakukan terhadap anak mereka benar-benar tak termaafkan. Arini mulai menangis tersedu-sedu di pelukan ibunya.

Dua bulan Arini dan Alan harus menjalani perawatan di rumah sakit. Menurut Ibunya, setelah apa yang Patrick lakukan terhadap istri dan anaknya, laki-laki itu di tangkap oleh polisi, dan hingga saat ini dia masih berada di dalam tahanan, menunggu untuk di proses. Tiga bulan setelah itu, Arini sudah pulih, anaknya juga. Dia lalu mengajukan permohonan cerai yang tak lama kemudian langsung di kabulkan oleh hakim. Suaminya memohon maaf berulang-ulang sampai berlutut di kaki Arini saat mereka menjalani pengadilan kasus suaminya di mana Arini menjadi saksi. Tapi bagi perempuan itu semuanya sudah terlambat. Patrick memohon ampun dan berjanji akan melakukan semua yang Arini sarankan, asalkan perempuan itu membatalkan niatnya untuk bercerai dari Patrick. Namun Arini tak bergeming, hatinya sangat sakit atas apa yang Patrick lakukan terhadap anak mereka.

Perlakuan Patrick terhadapnya selama 6 tahun membuat Arini kehilangan

kepercayaan kepada kaum laki-laki. Rasanya susah untuk bisa percaya dan menaruh harapan setelah semua hal buruk yang dia alami. Hal itu berlangsung selama 3 tahun sampai Robert muncul dalam kehidupannya. Dia adalah dokter yang merawat Alan. Selama hampir 3 tahun laki² itu mencoba untuk menumbuhkan kembali rasa percaya Arini terhadap hidup berumah tangga, dan juga terhadap kaum pria, dia akhirnya berhasil. Mereka menikah 3 tahun setelah peristiwa itu, setelah 3 tahun saling mengenal dan menyelami pribadi masing-masing.

Sekarang, melihat Patrick kembali setelah dua puluh tahun, membuatnya bertanya-tanya, sudah berubahkah laki-laki itu ? ataukah dia masih berjiwa binatang seperti dulu ?! mengapa dia ada di sini ?! mungkinkah Alan yang mengundangnya datang ?! Arini tak tahu.

‘’ Arin, kuenya sudah siap untuk di nyalakan lilinnya, sayang…’’ terdengar suara lembut Robert membangunkan Arini dari lamunannya. Perempuan itu berbalik dan dia menemui tatapan penuh kasih milik suaminya, tatapan yang masih sama seperti hari pertama mereka menikah dulu. Sekali lagi dia mengucap syukur dalam hatinya. Arini melemparkan pandangannya ke sudut tempat Patrick berdiri tadi, laki-laki itu sudah tak ada lagi di situ, dia sudah pergi. Arini menghela napas panjang, dia tahu bahwa masa lalunya sudah lama pergi ke belakang, dia tak akan mengingatnya lagi. Perempuan itu lalu menegakkan kepalanya, berjalan anggun ke tengah² semua undangan untuk menyalakan lilin di atas kue ulang tahun. Semua mata yang ada di dalam ruangan itu memandangnya, dengan di bantu oleh Robert, dia lalu menyalakan lilin² itu, terlihat kilatan blitz kamera di tangan Indri, putrinya buah pernikahannya dengan Robert. Arini menghirup udara panjang, lalu meniup semua lilin itu hingga padam, meninggalkan asap putih yang menghilang dengan cepat terbawa angin, bersama dengan kenangan² di masa lalunya.

( A woman, she can be your Mother, your wife, your daughter, and your sister, so... respect them !! )