Note ; Kiawa Waterfall, berada di Sulawesi Utara, tepatnya di daerah Minahasa. Tempatnya berada di sebuah lembah, dan keunikannya adalah, di Lembah tersebut terdapat 9 air terjun, dan sebuah kolam pemandian air dingin dan air panas. Sebuah obyek wisata yg hingga sekarang masih belum begitu ter-ekspose, dan hanya menjadi tempat camping anak-anak Pencinta Alam.
Photo : www.seamslikereality.com
A VALENTINE'S DAY CARD
‘’ Phie….brenti
dikit dong….capek, nih…. “ terdengar rengekan Dhita dari belakang. Ophie
mengangkat tangannya sambil ngomong cuek,
“ Bentar lagi kita udah sampe kok, Dhit…sabar aja…
”
“ Tapi aku kan capek banget, nih… kaki ku udah
pada melepuh kiri-kanan !! ” rungut Dhita lagi.
“ Siapa yang nyuruh kamu pake sepatu gaul yang
nggak cocok banget buat ke gunung kayak gitu, Dhit ? nggak heran kaki kamu pada
melepuh…. ” komentar Tia sambil menggeleng-gelengkan kepalanya heran.
Yang
bikin dia lebih heran lagi, Dhita kan bukan type cewek yang suka naik gunung.
Walaupun mereka pada temenan dekat, tapi setiap kali di ajak camping ke
gunung, Dhita selalu menolak. Takut kukunya patah-lah, takut ketemu ular-lah, pokoknya ada-ada saja
alasannya. Dan sekarang, melihat Dhita yang semangat banget pengen ikut camping
ke air terjun Kiawa, jelas aja Tia pada nggak ngerti.
“ Abisss…. Kata Ophie, di Kiawa banyak cowok keren
yang suka berkemah di sana, aku kan harus tampil modis….” Sahut Dhita yang
langsung di soraki oleh ke enam sahabatnya.
Tia langsung mengerti kenapa Dhita
mau ikut. Seminggu yang lalu, mulai dari hari senin sampe sabtu, telinga Tia
dan kawan-kawannya pada penuh di isi keluhan Dhita yang merengek karena nggak
berhasil dapetin pacar buat Valentine’s day nanti. Pasti dia nggak mau
sendirian saat hari itu tiba, sebab teman-temannya yang lain sudah berencana
untuk ke Kiawa tanggal 13 sampe 15 Februari nanti.
“ Udah ngomelnya....tuh Base Camp udah kelihatan, Dhit...“ tukas Riri menengahi.
Ke tujuh cewek itu lalu bergegas menuju ke tempat yang biasa di dirikan tenda-tenda oleh para pencinta alam yang
datang ke situ. Nampak di bawah, sudah tersebar puluhan tenda-tenda yang
beragam warna dan modelnya. Ophie nampak agak sebal.
“ Yaaahh…tempat favorit kita udah kepake friends,
gimana nih….” Keluh gadis tomboy berambut panjang itu.
“ Di deket air panas aja, Phie. Kan tempatnya
cukup enak, teduh lagi ! ” usul Jeihan si pendiam.
‘’ Itu sih udah pasti kepake, Jei…kita cari aja
mana yang kosong, dan cukup enak buat diriin tenda-tenda kita !! ‘’ putus
Ophie akhirnya. Mereka lalu memasuki kompleks Base Camp dan mulai
melihat-lihat tempat untuk tenda-tenda mereka.
Malam mulai jatuh saat Kimmy yang bertugas jadi
koki malam itu menyelesaikan nasi goreng ekspress-nya. Tanpa di komando, mereka
bertujuh langsung menyantap hidangan makan malam yang bila di tempat seperti
itu terasa mewah dan jauh lebih enak dari pada di rumah, kecuali Dhita yang
berpendapat lain tentu saja.
‘’ Aduh….ini makanan apa siksaan sih…. “ gerutu
Dhita sambil mengibas-ngibas asap yang mengepul di atas piring plastiknya.
“ Mana makannya pake tangan lagi...kuku-ku jadi
kotor, nih... “ lanjut cewek itu tanpa menghentikan aksi kipas-mengipasnya. Ke
enam sahabatnya hanya tersenyum mendengar rengekan Dhita, lalu meneruskan makan
malam mereka masing-masing. Melihat hanya di cuekin begitu, Dhita langsung
menekuk mukanya, dan mencoba untuk memakan nasi goreng tanpa daging atau ikan
secuil-pun itu.
“ Selamat malam nona-nona...maaf mengganggu... “
sebuah suara terdengar dari balik tenda kubah milik Chichi. Serentak ketujuh
gadis itu mengangkat kepala mereka. Dari balik tenda, nampak menyembul sesosok
tubuh cowok, yang saat wajahnya di sinari api unggun, dia agak mirip sama si
keren Wallace Huo yang main di At The Dolphin Bay. Dia juga menenteng
sebuah gitar yang penuh tampalan sticker di mana-mana, ciri khas gitar
anak gunung.
Dan, sesuai dengan tebakan Ophie, Kimmy, Chichi,
Tia, Riri, dan Jeihan, Dhita yang lebih dulu menyambut cowok itu dengan
semangat Valentine (duh...semangat
Valentine itu yah...ciri-cirinya,
suara jadi mesra banget, condong ke merayu bisa juga, silahkan mikir sendiri
deh, pembaca !!)
“ Hai.....kamu nggak mengganggu, kok...mari
silahkan... “ Dhita menjawab centil, sambil menggeserkan pantat-nya memberi
tempat duduk di atas rumput pada cowok itu.
“ Mau ngapain kesini kamu ? mau ngamen ?!
tempatnya di pusat kota sana !! “ cetus Chichi judes. Dia emang paling sebel
kalo ada cowok yang coba-coba bikin pendekatan di tempat kayak gini. Biasanya
kan, cowok-cowok seperti itu, hanya mau pacaran di situ, buat semalam dua
malam. Bener-bener nyebelin !!
“ Ihh....jangan di ambil hati ucapan nenek sihir
itu, ya....dia emang jutek banget ! “ Dhita buru-buru meminta
pengertian, takut cowok itu pergi. Soalnya, semenjak sore tadi, sejak mereka
tiba di situ, dia tak pernah di beri sedikitpun kesempatan untuk kenalan dengan
cowok-cowok yang sedari tadi pada berkeliaran di sekitar tenda.
“ Aduh...jadi nggak enak nih, aku cuman mau ngasih
ini sama kamu ! ” cowok itu mengangsurkan sesuatu ke arah Ophie. Gadis itu
mengernyitkan dahinya heran. Siapa yang mengenalnya di sini. Sebab sedari tadi,
tak ada satupun yang dia kenal di situ. Teman-temannya sesama pendaki yang dia
kenal baik pada naik gunung Soputan untuk ngerayain Valentine. Ophie
mencoba untuk melihat secara seksama barang yang di sodorkan cowok itu, namun
cahaya api unggun yang mulai meremang tak begitu membantu penglihatan gadis
itu. Ophie lalu mengulurkan tangannya, meraih barang itu, di ikuti oleh enam
pasang mata sahabat-sahabatnya yang penuh tanda-tanya. Ternyata itu adalah
sebuah kartu, kartu Valentine.
“ Tapi...siapa yang__” pertanyaan Ophie terhenti,
sebab baru saja dia mengangkat kepalanya untuk menanyakan identitas si pengirim
kartu pada cowok itu, dia sudah pergi, Ophie dan ke enam cewek lainnya hanya
bisa menatapi punggung cowok itu, yang sudah menjauh ke arah kolam air panas.
“ Cepet banget dia pergi, sayang...aku belum nanya siapa namanya... ” suara Dhita lebih
mirip keluhan. Namun wajah gadis itu langsung menjadi ceria kembali, saat dia
melihat ada 3 orang cowok yang mendekat ke arah tenda mereka.
Sementara itu, Ophie yang kebingungan mendapat
kartu Valentine itu tak henti-hentinya menatapi kartu dengan bunga
Edelweis yang di rekat satu persatu hingga membentuk buah hati.
“ Mau di buka nggak....?? ” tanya Riri dengan
suara menggoda. Namun Ophie mengacuhkan godaan Riri. Pikirannya hanya di
sibukkan oleh tanda tanya besar tentang si pengirim kartu. Perlahan dia membuka
kartu itu, lalu membacanya.
Dari lubuk terdalam hati nuraniku...
Dari sejuta mimpi-mimpi tidurku...
Atas nama bintang-bintang di langit,
Dari malam yang paling kelam....
Di antara seribu keinginan...
Dan di dalam lautan kerinduan...
Di sela-sela angin yang meniupkan Cinta,
Atau benci, atau murka....
Ku ingin bicara,
Ku ingin meminta
Atau berharap,
Mungkin memohon....
Berlabuhlah diri-mu, di pantai hatiku,
Selamanya.........
(apapun jawaban-nya, aku menunggumu di kolam air
dingin besok malam jam 9 tepat)
Ophie menghembuskan napas panjang dari mulutnya.
Di dalam kartu itu, tak tercantum nama pengirimnya. Namun satu hal yang pasti,
Ophie yakin bahwa kartu itu sudah di buat jauh-jauh hari sebelumnya. Siapa
yang tahu aku di sini ? pertanyaan itu kembali merasuki pikiran Ophie,
membuat gadis itu kehilangan selera makannya.
Besoknya, Ophie mencoba untuk mencari cowok yang
memberikan kartu itu semalam padanya, dengan berpura-pura berkeliling mencari
kayu bakar. Namun, hingga malam mulai tiba, wajah cowok tak bernama itu tak
kelihatan secuil-pun. Padahal Ophie sudah mencari-nya kemana-mana.
Kemarin malam, saat teman-temannya bertanya
tentang isi kartu itu, Ophie hanya menjawab bahwa itu adalah sebuah kartu yang
di berikan oleh Enda, anak KPA Tunas Hijau yang udah lama naksir dia, kebetulan
cowok itu temennya si Enda. Sahabat-sahabat gadis itu pun hanya mengangguk
tanda percaya, sebab mereka semua tahu gimana perasaan Enda sama Ophie. Bahkan,
Valentine tahun kemarin Ophie di bikinin ayunan buat tidur dari tumbuhan merambat yang di kenal dengan
sebutan Tali Hutan. Itu lho....yang suka di pake Tarzan buat berayun, tapi di jalin dari tali-tali
kecil, nggak segede milik Raja Rimba itu.
Ayunan itu sempat menjadi pusat perhatian di
rumahnya Ophie selama sebulan, apalagi jalinan yang di buat Enda sangat rapi
dan indah di pandang.
Segera setelah makan malam, Ophie mengucapkan
selamat hari Kasih Sayang kepada sahabat-sahabatnya, kecuali Dhita, soalnya
tadi pagi pas baru bangun Dhita udah ngucapin selamat Hari Kasih Sayang kepada
semua. Alasannya sih, dia udah dapet kencan buat ngerayain malam Valentine.
Jadi, kemungkinan dia nggak ada mulai malam jatuh besar sekali. Dan ternyata
Dhita nggak bohong, jam enam lewat dikit ada cowok bertampang bayi yang datang
menjemput dia di tenda. Ophie melirik jam sport di pergelangan tangan kanannya
dengan gelisah. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 lewat 45 menit. Tinggal 15
menit lagi, udah mau jam 9. Jam yang tertulis di kartu itu, si pengirim kartu
akan menunggu Ophie di jam itu, dekat kolam air dingin. Namun, gadis itu sama
sekali belum memutuskan apakah dia akan pergi atau tidak.
Saat Ophie tengah gelisah, Jeihan melihat ke
arahnya.
“ Phie, kamu baik-baik aja, kan ? ” tanya Jeihan
kuatir. Soalnya nggak biasanya si Ophie jadi kayak gitu. Pada saat makan malam
aja, dia jadi males ngomong. Ophie menatap Jeihan bimbang. Akhirnya dia
memutuskan untuk menceritakan tentang isi kartu itu pada Jeihan. Setelah Ophie
selesai bercerita, Jeihan mengangguk-angggukan kepalanya serius. Gadis itu lalu
menatap Ophie, sambil menepuk bahu sahabatnya itu pelan,
“ Phie, kupikir lebih baik kamu pergi, tapi aku
harus temenin kamu. Soalnya, kalau kamu nggak pergi, pasti kamu akan penasaran
terus sepanjang sisa hidup kamu. Tapi kalau kamu pergi dan ternyata dia itu
cowok gatel, kan ada aku buat bantuin kamu....” tutur Jeihan panjang lebar.
Tapi sebenarnya dia nggak perlu takut
membiarkan Ophie pergi sendiri. Lima cowok jahil aja pernah di hantam
gadis ber sabuk hitam Taekwondo itu di halaman parkir mall saat mereka mulai
mengeluarkan kata-kata jorok, apalagi cuman satu cowok ?!. Namun entah mengapa,
Jeihan kali ini tak ingin meninggalkan Ophie sendiri.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 lewat 55 menit saat
kedua gadis itu menuruni jalan setapak menuju kolam air dingin. Cahaya bulan
purnama penuh membuat keduanya tak perlu memakai senter untuk kesana. Nampak di
ujung kolam, sesosok bayangan tengah duduk di atas sebuah batu. Wajahnya
menengadah hingga di terpa cahaya bulan, Ophie dan Jeihan langsung bisa
mengenalinya, dia adalah cowok yang memberikan kartu itu.
“ Akhirnya kamu datang juga, ku pikir kamu nggak
akan pernah datang menemui aku... ” cowok itu berucap lirih saat Jeihan dan
Ophie sudah berada dalam jarak cukup dekat. Ophie heran mendengar kata-katanya.
“ Maaf ya....mungkin kamu salah orang, aku sama
sekali nggak kenal kamu...” Ophie mencoba untuk menjelaskan, sementara Jeihan
hanya diam di samping gadis itu sambil menatap waspada.
“ Mengapa kamu ngomong seperti itu ? saya hanya
perlu jawaban dari kamu. Terserah itu Ya atau Tidak, yang penting aku tahu...kenapa kamu kejam
banget sama aku ? apa aku kamu nggak kenal aku lagi ? aku Heru....kita kenal
sejak usia kita baru 5 tahun, Nia.... “ tutur cowok itu. Ophie terkejut
mendengar semua itu, kelihatannya cowok itu gila. Buktinya dia manggil Ophie
dengan Nia.
“ Aku bukan orang yg kamu cari, maaf ya.... ”
Ophie langsung mau beranjak pergi, namun langkahnya terhenti saat mendengar
ucapan Heru berikutnya.
“ Apakah itu artinya Tidak Kania Isabella Purnomo ? ” Ophie tercengang,
matanya membulat besar.
“ Itu....itu..itu kan...nama lengkap Mama aku,
Jei....” gadis itu menatap Jeihan lalu meremas tangannya.
“ Bagaimana kamu kenal Mama aku ?! ” seru Ophie.
Cowok yang ternyata bernama Heru itu malah balik menatap Ophie dengan pandangan
tak percaya,
“ Tidak mungkin...aku...aku...menunggu sudah
begitu lama...” cetusnya lirih. Dan kejadian berikutnya sungguh tak bisa di
percaya, tubuh cowok itu perlahan mulai menghilang-muncul, seperti hologram.
Jeihan mulai gemetaran, begitu juga halnya dengan Ophie.
“ Sampaikan pada Ibu-mu kartu itu, katakan bahwa
aku masih menunggu jawabannya... aku ada di air terjun...di dalam... ” suara
Heru menghilang seiring dengan hilangnya tubuh cowok itu. Tanpa menunggu
aba-aba, kedua gadis itu langsung melesat secepat kilat berlari menuju ke
tenda, dengan lutut gemetaran.
Dua hari kemudian, Ophie dan Mama serta Papanya
datang ke air terjun. Ternyata Heru adalah sahabat semasa kecil Mama, mereka
selalu bersama-sama hingga dewasa. Mama yang juga adalah seorang pencinta alam
sering datang untuk berkemah di air terjun Kiawa. Satu hari sebelum hari Valentine,
Heru ingin menyusul Mama Ophie ke
air terjun, untuk memberikan kartu Valentine-nya, namun dia terpeleset,
lalu jatuh ke sungai dan akhirnya meninggal. Heru lalu di nyatakan hilang,
sebab jasadnya tak pernah di ketemukan.
Mereka lalu mengikuti petunjuk yang di berikan
Heru pada Ophie, dan setelah dua hari pencarian, sisa-sisa kerangka Heru
akhirnya di ketemukan di bawah sebuah liang batu di dekat air terjun. Terjepit
di antara bebatuan hingga tak bisa mengapung dan akhirnya tak bisa di temukan.
Apalagi setelah hilangnya Heru, anak-anak pencinta alam pada takut ke Kiawa.
Setelah pemakaman sisa-sisa kerangka Heru, Ophie
bertanya pada Mamanya,
“ Ma, kartu-nya Mama apa’in, sih ?! “
“ Ah...kamu ini, pengen tahu aja. Mama sudah
membakarnya, sambil memanjatkan doa, semoga dia tenang di sisi Tuhan... ”
“Yaaaa.....Mama payah....kok di bakar, Ma ?!....”
Mama Ophie menatap anaknya heran campur kesal.
“ Ophie....kamu ini apa-apaan, sih ? mau kamu
apakan kartu itu ?! ”
“ Puisi di kartu itu bagus Ma...Ophie mau
menyalinnya ke Buku Harian Ophie, ngomong-ngomong, om Heru kece banget ya, Ma ?
kok di tolak cinta-nya sih Ma ?!..”
“ Ophie.....kamu......!!!! ”
(Kiawa Waterfall,
Feb 04 )
T A M A T
0 komentar:
Posting Komentar