Image: www.planetradiocity.com
Akhirnya, duka itu usai sudah. Perjalanan panjang yang kami lalui, melewati sejuta tangis dan beribu tawa bersama, berakhir dalam suatu ikatan janji setia, PERNIKAHAN yang suci. Aku masih serasa bermimpi, ketika akhirnya mereka menyebutku sebagai nyonya-dirinya.
Aku bahkan masih suka terbangun ditengah malam, dan menatap dia di sampingku yang tengah tertidur lelap, sembari bertanya-tanya, jika ini adalah sebuah realita, atau hanya imajinasiku semata. Tapi dia masih tetap disana, tertidur lelap dalam mimpi letihnya seusai bekerja. Itu memang nyata.
Dia, hanya seorang lelaki biasa, yang tidak bergelimang dengan harta atau barang mewah. Sesosok pria sederhana, yang selalu tampil apa adanya, dengan segala kekurangan maupun kelebihannya. Pelit bicara, namun sangat suka berpikir dan menyimak segala hal. Ketika itu, dia hanya seorang pemuda biasa, yang mempesona.
Namun, kesedihan dan kepedihan di masa lalu, membuatku selalu awas dan berjaga-jaga. Karena kepercayaan pada dunia pernikahan yang terlanjur porak-poranda dihantam badai dan akhirnya mengandaskan pernikahanku sebelumnya. Ketika aku terlanjur dikhianati, dan akhirnya terhempas begitu saja dalam lubang keputus-asaan, juga dendam.
Ketika semua mata memandangku curiga, berbisik-bisik dibelakangku dengan sejuta cerita imajinasi mereka, dan bahkan keluarga-ku sendiri mencerca diriku, tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya pada hidupku, dia datang, dan entah mengapa, aku merasa begitu nyaman menceritakan semua luka-ku, segala duka-ku, dan seluruh dilema-ku. Dia hanya mendengar, menyimak, tanpa banyak bicara. Dan memang hanya itu yang kuperlukan, seseorang untuk mendengarkan isi hatiku.
Bukannya aku lantas percaya dan kemudian luruh, beribu curiga bercampur aduk, berbaur dalam hatiku, bukan hanya untuknya, namun juga untuk semua manusia yang berjenis kelamin sama dengannya. Namun waktu akhirnya yang membuktikan, tentang dirinya. Berbagai macam permasalahan, kesedihan, kegembiraan, kami lalui bersama, dan dia masih terus setia, menemani setiap tapak-tapak kaki hidupku yang penuh dengan keperihan.
Tak jarang, dia menjadi tempatku melampiaskan kemarahan yang berkobar dihati, bahkan caci maki dan hinaan dariku, tetap diterimanya dengan tenang dan lapang hati. Ada saat, ketika kupikir dia akan pergi, beranjak dari sisiku karena bosan dengan keangkuhan dan juga segala kemarahan-kemarahanku, namun dia masih tetap saja ada disisiku, menemani setiap derai airmata sunyi-ku, dan merangkuhku ketika aku merasa begitu lemah dan rapuh.
Bukannya dia tak punya kelemahan, dia juga sepertiku hanya manusia biasa, namun, kelemahan-kelemahannya itulah, yang menunjukkan pada diriku, bahwa dternyata aku dan dia selama ini selalu melengkapi antara satu dengan yang lainnya.
Pernah suatu ketika, saat aku memintanya untuk pergi dari hidupku, karena kupikir dia pantas untuk mendapatkan seseorang yang lebih dariku. Kuingin dia bahagia dan tak hanya terjebak dalam lingkaran ketidak pastian bersama denganku, dia hanya menatapku, hening, lalu bertanya ; "maukah kamu menjadi teman hidupku?", ada airmata disana, jatuh dikedua pipinya.
Tahun kembali berlalu, dan dia masih tetap setia menemani hari-hariku, meski hinaan dan cercaan dari orang-orang disekitar kami dan terutama dari keluarga-ku terus menerus dia terima. Ketika kutanya apa pendapatnya tentang itu, dia hanya menjawab; "mungkin karena aku orang miskin, dan mereka merasa aku tak pantas untukmu".
Tak jarang, konfrontasi-konfrontasi langsung dari keluargaku pada dirinya, dengan berbagai macam tuduhan, kata-kata hinaan dan celaan dia alami. Namun tak satu patah katapun pernah dia ceritakan padaku, meski selalu kudesak dengan ancaman-ancaman, dia tetap diam dan bungkam seribu bahasa. Dia terus menggenggam tanganku, menjalani hari-hari denganku, membuatku tersenyum, dan melupakan sejenak rasa sedihku.
Dengannya, aku yang sebenarnya adalah seseorang yang sangat tertutup tentang hal-hal pribadi dan juga isi hatiku, menjadi begitu terbuka dan bisa langsung mengutarakan apa yang kupikir dan kurasa, tentang apa saja pada dirinya. Termasuk tentang kesedihanku pada keluargaku, yang tak pernah mencoba untuk mengerti keadaan dan penderitaanku, yang hanya mau tahu ketika aku sedang berbahagia, bersukacita, dan bergelimang harta, dan selalu menjadi kambing hitam saat ada suatu bencana yang terjadi.
Betapa mereka hanya menutup mata atas penderitaan yang kualami pada pernikahanku sebelumnya, karena gengsi semata. Karena dengan pernikahan itu, aku bisa mendapatkan banyak materi dan juga hidup mewah. Tak sedikitpun mereka ingin tahu, bahwa dibalik semua itu, ada kehancuran yang harus kutanggung sendiri, dalam hatiku. Mereka tak pernah mau tahu, tahun-tahun berkubang penderitaan yang kualami dan harus kutanggung sendiri, mereka hanya tahu, ada berapa banyak uang atau oleh-oleh yang kubawa, setiap kali berkunjung ke luar negeri, atau berlibur kesana-kemari.
Dia, saat ku mengeluh tentang penderitaanku, tentang kesedihanku, tentang segala hal yang menyakitkan hatiku, tak pernah mencoba untuk sok bijak atau bermain dengan kata-kata mutiara penyejuk jiwa seperti kebanyakan orang. Dia hanya selalu berucap; "aku ada disini untukmu sekarang dan juga nanti", itu saja.
Dia, dalam segala kesederhanaan dan segenap kekurangan yang dia miliki, tetap saja selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik dari dirinya, untukku. Dia, yang pada tanggal 11-11-2011 kemarin, menjadi kekasih jiwaku, dalam sebuah pernikahan suci. Semoga sampai maut memisahkan....
(Kepada kekasih jiwaku ; Sandi S.Tamansa)
3 komentar:
congratulations live happily
selamt.
semoga hidup bahagia sampai anak cucu
wassalam
online-hukum
nice idea :)
Posting Komentar