Foto : Koleksi Pribadi
BUKAN HANYA
SEMUSIM
- Excuse moi, mademoiselle. Etes vous mademoiselle Andara
?* – suara seseorang menyapa Shania dari belakang. Refleks gadis itu menoleh,
nampak seorang cowok berusia kira-kira 20 tahun sedang memegang sebuah karton
bertuliskan nama Shania. Gadis itu langsung bisa menebak, pasti dia adalah
utusan dari pihak sekolah atau orang tua asuh-nya tempat dia akan tinggal di
Paris.
- Oui, c’est moi** – Shania merasa agak gugup, sebab
walaupun pengetahuan-nya tentang bahasa Perancis boleh di bilang sudah cukup
bagus, namun ini adalah pertama kali bagi dia bicara langsung dengan orang
Perancis.
- Nama saya Jean-Pierre. Saya adalah tutor anda selama
masa pengenalan di sekolah dan juga lingkungan di sini. – Entah mengapa, Shania
merasakan suara cowok itu begitu dingin dan kaku.
- Mari ikut saya, anda akan saya antar ke rumah orang tua
asuh anda, - lanjut Jean-Pierre. Dan tanpa menunggu reaksi dari Shania, cowok
itu langsung meraih kereta dorong berisi semua bagasi gadis itu, dan
mendorongnya keluar dari ruang pengambilan bagasi.
Sepanjang perjalanan, tak ada sepatah katapun yang keluar
dari mulut Jean-Pierre. Sepertinya, cowok itu sengaja memasang jarak di antara
mereka berdua. Shania sendiri tak tahu harus berbuat apa. Bukan saja dia malu
untuk membuka percakapan di antara mereka, tapi dia juga takut salah ucap.
Lebih tepatnya, gadis itu merasa terlalu gugup untuk berbicara dalam bahasa
Perancis.
Mobil yang di kemudikan oleh Jean-Pierre melaju memasuki
jantung kota Paris. Shania ternganga melihat apa yang menyambutnya. Sudah sejak
lama gadis itu mendengar tentang kota yang di juluki kota paling romantis di
dunia ini. Begitu banyak film-film dokumenter yang dia tonton tentang Paris,
dan juga informasi-informasi tentang kota ini yang dia dapatkan lewat internet
sudah tak bisa terhitung banyak-nya. Namun saat melihat dengan mata kepala-nya
sendiri. Shania merasa takjub. Kota itu begitu indah. Bangunan-bangunan tua-nya
yang teratur rapi. Megah, tapi menyenangkan untuk di pandang mata. Tidak
seperti bangunan-bangunan tinggi modern yang kelihatan seperti kotak korek api
yang di tumpuk. Shania kagum dengan semuanya.
- Bagaimana pendapat anda tentang kota saya, Nona ? –
suara Jean-Pierre mengagetkan Shania dari acara menikmati kota Paris-nya.
- Luar biasa, saya kagum dengan bangsa anda. Benar-benar
kalian mempunyai rasa seni yang hebat, di tambah dengan pengetahuan pembangunan
yang tak ada bandingannya, Paris adalah kota yang sangat indah. Saya sendiri
sudah banyak melihat foto-foto kota Paris, namun itu menjadi tak berarti saat
saya melihat langsung keadaan kota ini dengan mata saya sendiri, - Shania tak
mampu menyembunyikan kekagumannya. Jean-Pierre tak bereaksi lebih, dia hanya
mengkerutkan keningnya, lalu berucap sinis,
- Tentu saja bangsa kami bisa membuat semua itu, sebab
kami selalu berpikir untuk maju, tak seperti bangsa kalian, yang paling banyak
hanya memikirkan diri dan kantong sendiri, tak peduli dengan sekitarnya !. Tak
heran bangsa anda tak bisa maju seperti kami !
-
Shania merasa sangat terkejut dengan ucapan Jean-Pierre.
Perlahan-lahan, kesan bahwa Jean-Pierre tak menyukai orang-orang dari negara
macam Indonesia mulai merasuki pikiran Shania. Gadis itu tiba-tiba merasa
sangat sedih, apalagi saat berpikir, bahwa selama tiga bulan pertama dia di
Paris, Jean-Pierre lah yang akan menemani dia. Namun Shania sadar, bahwa tak
ada gunanya berdebat lebih lanjut tentang hal tersebut dengan cowok itu. Gadis
itu sendiri sejak masih di Indonesia sudah di peringatkan tentang hal-hal
semacam itu yang mungkin bisa menimpa dirinya. Dia lalu mengingatkan dirinya
sendiri, tentang tujuannya berada di negara ini. Dia kesini untuk belajar, agar
bisa lebih maju. Dan tidak jadi orang seperti yang di katakan Jean-Pierre tadi.
Sebulan sudah Shania berada di Paris. Musim dingin masih
terus berlangsung, udara terasa sangat dingin. Adakali gadis itu merasa sangat
tertekan, apalagi saat mengingat keluarga dan sahabat-sahabatnya di Indonesia.
Seminggu sekali Shania menelpon ke rumah, sesekali Indira sahabatnya menelpon
ke Paris. Namun rasa kangen Shania tak cukup terobati. Minggu pertama masuk
sekolah, Shania langsung bersahabat dengan seorang gadis Rusia bernama Katjana.
Seperti Shania, Katjana juga tinggal di rumah orang tua asuhnya, dan tentu saja
dia tak bisa bebas melakukan apa saja seperti di rumahnya sendiri. Setiap akhir
pekan, dia di perbolehkan jalan-jalan keluar rumah. Namun Shania lebih suka
memakai waktu tersebut untuk belajar di kamarnya. Orang tua asuh Shania yaitu
Monsieur & Madame Delacroix mempunyai 2 orang anak perempuan dan laki-laki
yang masih kecil-kecil. Shania yang adalah anak tunggal dalam keluarga sangat
senang bermain dengan kedua anak tersebut.
Sedangkan dengan Jean-Pierre. Sejujurnya dia tak banyak
menolong Shania. Sudah sebulan ini, dia masih saja bersikap tertutup dan hanya
menjawab apabila di tanya oleh Shania. Itupun bila dia harus menjawab dengan
‘ya’ atau ‘tidak’.
Shania hampir saja mengadukan kepada pihak sekolah
tentang sikap Jean-Pierre itu, namun tiba-tiba muncul di hatinya
pertanyaan-pertanyaan tentang sebab dari sikap cowok itu yang kelihatan
membenci dirinya tanpa alasan.
Dari sahabat Rusia-nya, Shania mendapat info, bahwa
Jean-Pierre tidak rasis atau membenci orang yang berbeda warna kulitnya. Dia
hanya benci cewek ‘Indonesia’. Yang berasal dari Indonesia. Itu yang membuat
Shania heran serta ingin tahu mengapa sampai begitu.
Pelajaran terakhir kelas Shania baru saja berakhir. Gadis
itu berkemas-kemas untuk pulang. Tiba-tiba dari depan nampak Katjana berjalan agak
tergesa ke arah Shania.
- Shani, kamu mau langsung pulang ke rumah ? – tanya
gadis berambut emas itu.
- Iya, dong. Memangnya kamu mau kemana, Kattie ? – Shania
merasa heran, soalnya Katjana itu kan orangnya paling takut jalan-jalan
berkeliling Paris. Takut hilang, katanya.
- Annuuu...kamu tau Jaqcues, kan ? – Katjana bertanya
agak malu-malu
- Yang sering jalan sama Jean-Pierre itu ?
- He’eh... – raut muka Katjana mulai merona. Selanjutnya
Shania sudah dapat menebak, pasti si gadis Rusia lagi pedekate sama cowok itu.
- Dia ulang tahun hari ini, dan mau mengajak aku ke
rumahnya. Aku merasa nggak nyaman kalau harus pergi sendiri, makanya aku
memintanya untuk mengajakmu ikut, dan dia bilang iya. Kamu mau kan, Shani ??
please.......s’il te plait.....*** lanjut Katjana memohon. Shania merasa
kasihan melihat pandangan sahabatnya itu.
- Okelah kalau begitu. Tapi aku harus menelpon madame
Delacroix dulu untuk memberitahukan bahwa aku akan pulang terlambat hari ini,
d’accord ?! ****– Katjana mengedipkan matanya gembira mendengar jawaban Shania.
Kedua gadis itu lalu melangkah keluar kelas.
Rumah keluarga Jacques sangat bagus dan besar. Terletak
di pinggiran kota Paris, yang jauh dari kebisingan dan kesibukan. Tak di
sangka, pesta kecil yang di katakan oleh Katjana adalah sebuah pesta kebun
dengan undangan berjumlah kira-kira 60 orang.
- Katamu hanya pesta kecil, Kattie – bisik Shania pada
Katjana
- Aku juga pikir hanya pesta kecil, abisnya...Jacques
bilang begitu padaku – balas Katjana berbisik sambil melayangkan pandangannya
ke sekeliling.
- Hey les filles*****..ngapain kamu berdua bengong
begitu, ayo gabung dengan kita-kita.... – Jaqcues tiba-tiba muncul dari arah
kerumunan tamu-tamunya, dan langsung menarik tangan Shania dan Katjana untuk
bergabung dengan mereka.
- Kamu Shania, ya ? – tanya Jacques saat mereka bertiga
tengah melintasi halaman rumah menuju ke arah pondok kecil tempat makanan di
letakkan.
- Iya, - Shania menjawab kaku. Biarpun dia mengenal
Jaqcues, tapi dia tidak akrab dengannya. Dia hanya tahu Jacques, sebab cowok
itu selalu bersama dengan Jean-Pierre, tutor gadis itu.
Pesta berlangsung dengan meriah, semua orang kelihatan
bergembira, kecuali Shania. Dia merasa asing di situ. Jean-Pierre juga hadir,
tapi seperti biasanya, dia hanya menyapa Shania dingin, lalu berlalu dari
hadapannya. Entah mengapa, Shania merasa hatinya seperti tertoreh oleh sesuatu,
sakit sekali.
- Kattie, aku mau ke toilet sebentar dulu, ya ? –
sebenarnya itu hanya alasan Shania, dia hanya ingin menghindar dari pesta itu,
dan juga dari tatapan dingin menusuk Jean-Pierre yang sesekali dia layangkan ke
arah Shania.
- Jangan lama-lama, ya ? – Katjana mengangguk.
Sampai di toilet yang kelihatannya sengaja di bangun
untuk orang-orang yang mengadakan pesta kebun, Shania melihat ada dua toilet
terpisah, untuk laki-laki dan untuk perempuan.
Gadis itu sedang merapikan dirinya di depan cermin, saat
dia mendengar suara seseorang di seberang dinding toilet perempuan. Suara
Jaqcues.
- Kamu nggak boleh terus-terusan membencinya seperti itu
Jean-Pierre. Shania nggak tahu apa-apa, mengapa harus dia yang kamu benci ? –
tukas Jacques. Sebenarnya Shania tak ingin menguping, namun begitu mendengar
namanya di sebut-sebut, dia langsung menempelkan telinga dan perhatian pada
percakapan itu.
- Alaaaa....mereka semua sama saja. Gadis-gadis Indonesia
yang kelihatan manis dan lembut itu, mereka munafik !! – suara Jean-Pierre
terdengar marah. Shania juga menjadi marah, marah mendengar pendapat
Jean-Pierre tentang gadis Indonesia.
- Kamu salah, manusia manapun di dunia ini nggak ada yang
sama. Dia Shania, dia bukan Ibu-mu...... -
- Jangan sebut-sebut Ibuku, aku tak pernah punya Ibu,
Jacques !! – terdengar bunyi benda yang di pukul, namun Shania yakin itu pasti
bukan Jacques yang di pukul Jean-Pierre.
- Mengapa kamu mencoba terus untuk lari dari kenyataan,
Jean ? kamu salah jika karena Ibumu orang Indonesia, kamu harus membenci semua
gadis Indonesia, apalagi harus membenci Shania – Jacques masih mencoba untuk
menasehati sahabatnya. Shania jadi lebih tertarik dengan semua itu. Tak di
sangka, Jean-Pierre ternyata mempunyai Ibu warganegara Indonesia.
- Ibu-ku orang Indonesia, dan dia pergi kembali ke
negaranya meninggalkan aku dan Ayahku. Shania juga orang Indonesia, dia pasti
akan meninggalkan aku..... – kata-kata Jean-Pierre menggantung di udara.
- Kamu...kamu jatuh cinta padanya Jean, akuilah itu... –
nada suara Jacques terdengar tak percaya.
- Aku....aku memang telah jatuh cinta pada gadis itu,
Jacques. Semenjak hari pertama kami bertemu... – Jean-Pierre terdengar tak berdaya.
Sementara itu, di dinding sebelah Shania perlahan-lahan
melorot jatuh ke lantai. Dia tak percaya ternyata sikap kasar Jean-Pierre itu
akibat trauma masa kecilnya. Itulah sebabnya dia kelihatan sangat membenci
Shania, saat tahu bahwa gadis itu berasal dari Indonesia. Tapi kata-kata
terakhir Jean-Pierre lebih mengagetkan Shania. Cowok itu mencintai-nya. Dan
Shania tak bisa berbohong, bahwa dia juga memiliki perasaan yang sama.
Tak terasa, enam bulan sudah berlalu. Shania sudah harus
kembali ke Indonesia. Masa studi pertukaran sudah selesai.
Gadis itu tengah menyiapkan bagasi-bagasinya saat
seseorang mengetuk pintu kamar.
- Shania, ada seseorang yang mencarimu di bawah, -
ternyata Ibu asuhnya, Madame Delacroix.
- Siapa, Bu ? – Shania merasa heran. Sebab dia memang
akan mengadakan pesta perpisahan kecil-kecilan dengan keluarga asuhnya dan juga
Katjana, tapi itu nanti malam. Sedangkan sekarang belum lagi jam sepuluh pagi.
- Jean-Pierre, dia menunggumu di bawah, -
- Saya akan menemuinya, terima kasih Bu – ucap Shania.
Wanita berwajah lembut itu mengangguk ramah, lalu turun ke lantai dasar.
Semenjak percakapan antara Jacques dengan Jean-Pierre
yang di dengarnya di toilet itu, Shania tak mau lagi dekat-dekat dengan
Jean-Pierre. Dia bahkan langsung meminta kepada pihak sekolah untuk
menghentikan Jean-Pierre jadi tutornya, dengan alasan bahwa dia sudah tak perlu
tutor lagi. Gadis itu merasa terluka, entah mengapa.
Saat Shania turun, Jean-Pierre tengah duduk di ruang
tamu. Menunggu.
- Hello... – sapa Shania. Kaku.
- Hai Shani. Besok kamu akan pulang ke Indonesia... – ada
nada kecewa yang tersirat di ucapannya. Juga nada hampa.
- Iya...oh ya, aku mau bilang terima kasih padamu untuk
semuanya, kamu sudah banyak membantuku selama hari-hari pertamaku di kota ini,
- Shania mengupayakan agar suaranya terdengar riang
- Ah...kamu bohong, aku samasekali tak membantumu,
benar-benar tutor yang gagal aku ini ! – Jean-Pierre menyesali dirinya. Shania
langsung mengiyakan hal itu, dalam hatinya.
- Shani..... – suara cowok itu seperti tersekat di
tenggorokan. Dan tak tahu kenapa, kedua mata gadis itu tiba-tiba meneteskan
airmata. Tanpa bisa di cegah lagi.
- Shani...aku mau minta maaf atas kelakuanku selama ini,
aku jahat terhadapmu, - Jean-Pierre merengkuh Shania ke dalam pelukannya. Gadis
itu terisak-isak.
- Aku...aku..sudah tau semuanya, tentang
Ibumu...semuanya...aku bisa mengerti Jean, tapi sikapmu terhadapku benar-benar
melukai hatiku. Aku kan sayang kamu.. – Pertahanan gadis itu bobol juga
akhirnya, dia mengakui isi hatinya. Jean-Pierre mengangkat wajah Shania,
memandangi matanya dengan tatapan tidak percaya.
- Kamu juga sayang a..aku, Shani ? – tanya Jean-Pierre,
matanya mulai berkaca.
- Aku sayang kamu, dan itu bukan hanya semusim seperti
katamu tentang cinta Ibumu kepada Ayahmu. Aku bukan dia.... – Shania semakin
terisak-isak. Cowok itu membenamkan kepala Shania di dada bidangnya. Dan ada
damai di sana, Shania bisa merasakannya. Jean-Pierre sudah berdamai dengan
dirinya sendiri, dengan perasaannya
- Aku akan menjemputmu di Indonesia, lima tahun nanti.
Kamu mau menungguku, kan ? – pintanya penuh harap. Shania menatap wajah cowok
itu. Dia merasa telah menemukan sesuatu, cintanya.
- Aku akan menunggumu, dan setelah itu akan bersamamu.
Dalam setiap musim yang ada..... – janji Shania. Dia tahu itu berat, tapi dia
akan menjalaninya, setidaknya...dia akan mencoba untuk menjalaninya.......
Jean-Pierre tersenyum manis, penuh kedamaian.........
Keterangan :
* Apakah anda Nona Andara ?
** Ya, saya sendiri
*** Ku mohon..
**** Okey ??
***** Gadis-gadis
THE END
1 komentar:
Hallo sobat, blog kamu sangat bagus. Saya menyukainya tetapi saya tidak menemukan adsense di blog kamu sehingga saya tidak bisa berbagi untukmu. Saya harap sobat melengkapi dengan adsense dan lain waktu saya berkunjung lagi.....sukses untukmu.
Posting Komentar