08 November 2011 | By: nsikome

SELENDANG BIRU

Dalam dunia ini, ada banyak hal yang tak bisa dijelaskan dengan akal sehat dan logika manusia, namun itu bukan berarti hal tersebut tak ada atau tak nyata...
Mobil yang ku tumpangi perlahan mulai keluar dari pekarangan rumah, tak terasa ada dua titik airmata yang jatuh di pipiku. Dengan cepat, ku hapus kedua butir bening yang mengalir itu tetapi terlambat, Deddy abangku sudah keduluan memergoki aku yang kedapatan menangis seperti bayi. Dan seperti yang sudah-sudah, dia mulai meledek aku.
“ Ehh…baby jangan nangis dong ! nanti abang beliin permen rasa cabe hehehe !! ‚’’ si Deddy mulai menyerangku. Tapi tak seperti biasa, kali ini aku tak ingin meladeni-nya. Ku akui, mutasi Papa ke luar daerah memang agak mengganggu-ku. Sebab bukan saja aku harus meninggalkan rumah yang ku kenal sejak aku lahir di bumi ini, tetapi aku juga harus meninggalkan Anggie, teman bermain sejak aku masih kanak-kanak hingga saat ini. Yang paling menjengkelkan adalah, aku harus pergi di saat ada sesuatu yang spesial, ku rasakan sedang bersemi di hatiku untuk Anggie. Ah ya ! untuk anak laki-laki berumur 16 tahun, aku memang termasuk seseorang yang agak terlalu sentimental. Sampai-sampai, seisi rumahku menjuluki aku ‘ Shakespeare kesasar ‘ gara-gara hobby-ku mengarang puisi-puisi romantis.
Sementara mobil kami meluncur menuju airport, di benakku timbul bermacam-macam pertanyaan tentang tempat tinggal kami yang baru, tentang lingkungan baru yang akan kami tinggali, dan aku tak bisa tidak bertanya dalam hatiku, kalau di tempat tinggal yang baru nanti, ada nggak tetangga cewek semanis Anggie-ku ?
Jujur saja, mutasi papa tak akan terlalu menggangguku, kalau saja dia hanya di mutasi di luar Jakarta, tapi ini, tak tanggung-tanggung Papa di mutasi ke Manado, yang notabene jaraknya jauh banget dengan Jakarta. Hatiku sedikit terhibur kalau mengingat kota Manado terkenal dengan cewek-cewek cantiknya. Tanpa sadar aku mulai terkekeh geli.
‘’ Mam, si Donni mulai jadi gila, nih ! tadi nangis, sekarang tertawa sendiri. ‘’ lagi-lagi si Deddy. Mama dan Papa hanya tersenyum simpul mendengar ocehan abangku yang dua tahun lebih tua dariku.

Saat pesawat mulai mendekati langit di atas kota Manado, aku sedikit terpana melihat warna hijau yang mendominasi kota Manado. Aku, anak metropolitan yang biasa hidup di tengah kota Jakarta yang sibuk, ribut dan penuh dengan pohon² besi dan kaca yang menjulang di semua tempat, tak biasa dengan pemandangan seperti ini. Apalagi warna hijau itu paling banyak adalah daun-daun pohon kelapa yang berjumlah sangat banyak.
Tak heran pulau ini di beri nama Nyiur melambai, pikirku.

Kami tak memerlukan waktu banyak untuk mengurus barang-barang, sebab perusahan Papa sudah menugaskan orang² mereka untuk mengambil semua bagasi kami. Setelah keluar dari pesawat, kami sekeluarga langsung menuju pintu keluar. Di luar airport, sudah menunggu seseorang dengan karton bertuliskan nama keluarga kami di tangannya. Papa langsung mendekati laki-laki berkumis lebat itu, sedangkan aku sibuk mengamati sekeliling airport yang masih dalam pembenahan sana-sini. Tak lama kemudian, kami di giring menuju sebuah mobil besar bertuliskan nama perusahan tempat Papa bekerja, dan menuju ke rumah kami yang baru, tempat tinggal baru untuk memulai hidup yang masih asing bagiku.

Rumah baru kami terletak tak jauh dari pusat kota Manado, di sebuah kompleks perumahan yang dulunya bekas tempat tinggal para pejabat Belanda dengan keluarga mereka, saat Belanda masih menjajah negeri ini. Rumah-rumah di kompleks itu sendiri teratur rapi, dan sangat bagus. Ber-arsitektur agak aneh, seperti rumah² di kartu pos yang di kirim tante Vonny, adik Mama yang menikah dengan bule dari Belanda. Rumah yang di sediakan perusahan tempat Papa bekerja untuk kami adalah salah satu dari rumah² yang paling aku sukai di kompleks itu. Mempunyai halaman besar dengan sebuah pohon ( yang entah apa namanya ) tua di taman belakang.

Hal pertama yang aku lakukan saat memasuki rumah itu adalah naik ke lantai atas, untuk mencari kamar terbaik yang akan ku pakai sebagai tempat bersarangku, dan aku tak terlalu beruntung, sebab kamar yang ku incar itu sudah jadi milik Deddy yang entah bagaimana caranya dia sudah sampai terlebih dahulu di situ. Terpaksa aku mengalah, sebab berebut sesuatu dengannya adalah hal yang mustahil, aku tak pernah menang dari dulu, sebab dia tak hanya lebih tua, tapi abangku itu juga berbadan jauh lebih besar dari badanku yang hampir bisa di bilang kerempeng.

Kamar yang akan ku tempati walaupun tak sebagus punya Deddy, cukup membuatku puas. Kamar itu mempunyai jendela pada kedua sisi depan dan belakang. Yang di depan mengarah ke jalan di depan rumah, sedangkan yang di belakang mengarah ke taman, atau lebih tepatnya ke arah pohon besar di taman belakang, yang juga memberi aku pemandangan tambahan yaitu taman tetangga sebelah yang tertata rapi dan bagus.
‘’ Bagaimana dengan kamar ini, Don. Kamu suka, nggak ? ‘’ suara Mama mengagetkan aku dari lamunanku.
‘’ Iya Ma, ‘’ jawabku pendek.
‘’ Kok kamu kelihatan nggak bersemangat, masih sedih dengan kepindahan kita ini ? ‘’ Mama membelai rambutku lembut.
Terus terang, aku sangat suka saat Mama menyentuh kepalaku, karena setiap kali seperti ada rasa sejuk yang mengalir di dalam hatiku. Ah ya !! aku memang seorang sentimentalist atau apapun namanya, aku tak peduli.
Sebenarnya, aku agak sedih bukan karena mutasi Papa, tapi lebih karena Angie. Aku sedih kalau ingat bahwa aku nggak akan bisa lihat dia lagi dan mendengar suaranya yang mirip² kicauan burung kenari itu.
‘’ Ah, enggak kok, Ma. Donni hanya merasa belum biasa aja dengan lingkungan baru ini ! ‘’ aku mencoba untuk mengelak. Tapi ku tahu, bahwa Mama mengerti apa yang ada di dalam hatiku yang sebenarnya.
‘’ Ya sudah ! sekarang kamu harus mulai membiasakan dirimu, pertama² dengan mengatur kamarmu ini, ok ?! ‘’ Mama lalu meninggalkan aku sendiri di dalam kamar.
Ku lemparkan pandanganku ke sekeliling kamar, dan mulai merancang di dalam otakku di mana akan ku letakkan tempat tidurku, lemari, meja belajarku, dan semua barang² pribadi lain.
 Aku masih terus mengatur, memutar dan memindah semuanya di dalam kepalaku, saat mataku tertumbuk pada sesosok tubuh kurus berbaju putih di taman tetangga sebelah. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku melangkah mendekati jendela, dan mulai mengintip ke arah taman sebelah.
Aku terpaku saat melihat wajah pemilik tubuh kurus itu, seorang gadis kira² berumur sama dengan umurku, kelihatan cantik, namun pucat. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena jarak jendelaku dan taman itu terlalu jauh. Entah di dorong oleh setan darimana, ku raih teropong hadiah ulang tahun yang di berikan paman Benny padaku, dan mulai mencari² wajah gadis itu lagi.
Dia cantik sekali, bahkan lebih cantik dari Anggie. Tapi entah mengapa aku merasa seperti gadis itu sedang sedih. Ku lihat dia melangkah menuju kursi ayunan di taman itu, dan duduk di sana. Gadis itu mengenakan sebuah selendang biru langit transparan, yang di selempangkan di kedua bahunya.
“ Mamaaaa.......si Donni lagi ngintip tetangga pake teropongnyaaaaa !!!! “ acara ngintipku di rusak oleh Denny yang ternyata secara diam-diam sudah masuk di kamarku. Sialnya, teriakan abangku itu cukup keras untuk bisa di dengar gadis itu, yang langsung menoleh ke arah jendela kamarku.
“ Lagi ngintip siapa, Don ? cewek cantik tetangga sebelah, ya ? “
“ Lagi ngintip bunga tetangga, monyong !! “ sungutku kesal, tapi...kok abangku tahu ada cewek cantik di sebelah?
“ Dasar emang kamu tuh shakespeare maniak !! “ uffff....kelihatan nama julukanku akan bertambah lagi. Aku agak sedikit malu kepergok lagi ngintip pake teropong, apalagi kalo yang memergoki aku si Denny, malu-ku jadi double, deh !

Seminggu setelah kepindahan kami, aku tak pernah lagi melihat gadis berselendang biru itu. Dalam hati aku sedikit penasaran, tapi jelas aja aku nggak bisa berbuat apa-apa. Sementara itu, aku sudah mulai membaur dengan teman-teman di sekolahku yang baru. Tanpa terasa, 6 bulan berlalu dengan cepat, dan aku sudah mulai lupa dengan gadis di taman sebelah, hingga suatu malam, saat bulan tengah melotot sebesar-besarnya di langit.
Malam itu aku harus menyelesaikan PR yang tertimbun seperti biasa saat liburan sudah mau di mulai. Meja belajarku memang sengaja di letakkan di samping jendela yang mengarah ke taman sebelah, membuatku dengan leluasa bisa melihat taman itu secara diam-diam. Aku sudah mulai merasa mengantuk, saat ku lihat bayangan sesosok tubuh berjalan-jalan di taman itu.
Dengan mata setengah terbuka, ku amati sosok tubuh itu, tenyata gadis yang ku lihat hari pertama saat pindah ke rumah ini !
Yang lebih mengagetkan, gadis itu kini sedang melihat² ke arah jendela kamarku. Akhirnya, aku memberanikan diri juga untuk membuka jendela, dan membalas pandangannya. Di bawah sinar bulan, gadis itu nampak agak angker dengan gaun tidurnya yang entah berwarna putih atau krem, dan lagi-lagi masih dengan selendang birunya yang tersampir di bahu.
Dia melambai ke arahku, dan seperti berkata sesuatu, tapi aku tak bisa mendengar apa-apa, sebab selain dia bersuara tak cukup keras untuk bisa ku dengar, malam sudah terlalu larut untuk bisa teriak-teriak kayak tarzan.
Aku lalu memberi isyarat dengan tanganku kepadanya, bahwa aku tak bisa mendengar apa-apa. Ku lihat gadis itu membalas dengan tangannya, mengisyaratkan padaku untuk turun dan menemui dia di sana, yang ku iyakan.
Pelan-pelan, aku mulai melangkah di ujung jari² kakiku menuruni tangga, dan keluar ke taman belakang lewat dapur. Ku ambil tangga bambu di garasi, dan cepat-cepat ku sandarkan pada dinding pemisah taman kami dengan taman tetangga sebelah, lalu menaikinya. Tak sampai 2 menit, aku sudah berada di hadapan gadis itu, yang ternyata jauh lebih cantik dari yang ku lihat lewat teropongku dulu.
“ Sorry aku mengganggu kamu malam-malam begini, Donni ! “ terdengar suara halus gadis itu meminta maaf. Aku merasa ada yang aneh, ah ya !! kok dia tahu namaku, ya ?!
“ Kok kamu tahu namaku ? “ aku tak menunggu lebih lama untuk mengungkapkan keherananku.
“ Aku tahu dari pembantu-ku yang sering ngomong dengan pembantu keluarga kalian. Oh ya, namaku Sarah ! “ dia mengulurkan tangannya.
Ternyata gadis itu (selanjutkan akan ku sebut Sarah) cool juga. Kita ngomong ngalur-ngidul, tapi dia kelihatan agak kuno-kuno juga. Masak internet aja dia pikir itu masakan khas jawa ?! tapi aku senang bisa kenalan dengannya.
Sarah lalu cerita, bahwa dia tak bisa kemana-mana, dan saat ku tanya kenapa dan apa alasannya, dia nggak mau bilang.
“ Don, kamu bisa bantu aku, nggak ? ‘’ Sarah bertanya serius di tengah-tengah
tawaku karena Sarah berpikir bahwa Jakarta masih bernama Batavia.
“ Tentu saja kalau aku bisa, aku pasti bantu kamu, Sar ! “ balasku sambil mengusap airmata yang jatuh karena tertawa terlalu banyak.
“ Kalau begitu, aku akan menunjukkan sesuatu padamu, ayo ! “ dia lalu menarik tanganku setengah memaksa, membuatku hampir jatuh dari kursi ayunan.
“ Ihhh...kok tergesa² amat sih, Sar ! aku hampir jatuh, nih !! “ sungutku setengah protes.
“ Sorry deh, Don !! “ Sarah memandangku dengan mata sendu nya yang indah, membuatku lupa dengan rasa dongkolku tadi.
Bagai kerbau yang di cocok hidungnya, aku mengikuti Sarah dari belakang, memutari rumah besar milik keluarganya. Sarah berhenti di depan garasi, dia lalu membuka pintu garasi itu. Dengan hati penuh pertanyaan, aku mengikuti gadis itu masuk ke dalam garasi.
‘’ Untuk apa kita ke sini, Sar ? ‘’ aku tak bisa membendung rasa ingin tahuku.
“ Aku mau kamu menggali lantai garasi di sudut sana untukku ! ‘’ ujar Sarah pendek, tapi cukup untuk membuatku terbelalak.
‘’ kamu gila apa ? nanti aku di marahi keluargamu gara-gara merusak lantai garasinya. Memangnya kamu nyimpan apa sih di situ ? ‘’ jelas saja aku tak setuju di suruh main bongkar² garasi orang, biarpun yang nyuruh adalah pemiliknya.
‘’ Tolong dong, Don… ada sesuatu yang sangat penting tertanam di situ, milikku. ‘’ Sarah memandangku dengan mata penuh genangan air.
Entah mengapa akhirnya ku kabulkan juga keinginannya itu, aku lalu meraih sekop yang dia sodorkan, dan memulai menggali perlahan. Ternyata tanah di bawah garasi itu tak keras dan membuatku dengan mudah bisa menggali lebih cepat. Apalagi garasi itu bukan di tutupi oleh lantai permanen seperti di rumahku, tetapi oleh lantai merah berbentuk seperti batu bata yang hanya di letakkan begitu saja berdekatan satu dengan yang lainnya, tanpa di semen.
Keringatku mulai jatuh bercucuran saat tengah menggali, karena aku juga harus menghindari untuk tak menimbulkan bunyi keras yang bisa membangunkan seisi rumah tetangga, dan karena itu aku harus menggunakan tenagaku dua kali lebih banyak untuk menggali tapi tak menimbulkan bunyi terlalu keras.
Setelah hampir setengah jam menggali, ujung sekopku akhirnya menyentuh sesuatu.
‘’ Mungkin yang itu yang kamu cari Sar ! sekopku menyentuh sebuah benda keras. ‘’ ujarku berbisik memberi tahu Sarah. Ku lihat ada senyum di bibirnya, dia lalu mengisyaratkan aku untuk mengangkat benda itu.
Benda yang di cari Sarah ternyata adalah sebuah kotak kayu yang berbentuk seperti kotak-kotak berisi harta karun yang ku lihat di film-film. Saat ku coba untuk mengangkatnya ke atas, kotak itu ternyata berat juga.
Sarah memintaku untuk membuka kotak itu, dan aku sangat terkejut saat melihat ternyata isi kotak itu adalah tumpukan pakaian dengan potongan tengkorak manusia di atasnya. Aku pingsan.

Sebuah sinar terang membangunkan aku. Ternyata sinar matahari yang mulai bangun dari peraduannya. Aku bergidik mengingat apa yang terjadi semalam. Saat ku buka mataku, ternyata aku tertidur di meja belajarku. Rupanya cerita seram itu hanya mimpiku belaka.
Ternyata aku tak pernah keluar dan turun dari kamarku untuk bertemu gadis yang bernama sarah. Dan, kalau mengingat apa yang ku lihat dalam mimpiku, aku lebih memilih itu hanya terjadi di dalam mimpi saja. Dengan malas aku menuju tempat tidurku, dan membenamkan diri di sana, aku benar-benar merasa tubuhku pegal-pegal.
Tidurku yang baru saja hendak di mulai tiba-tiba di kejutkan oleh raungan sirene mobil polisi dan ambulans yang terdengar dekat sekali di telingaku. Dengan kesal aku bangun dan menuju jendela depan, ada 3 mobil polisi dan 1 ambulans yang berhenti di depan rumahku.
Aku jadi cemas, jangan-jangan terjadi sesuatu pada keluargaku. Secepat kilat ku pakai sandalku dan berlari keluar kamar menuruni tangga untuk melihat apa yang terjadi di bawah.
Sampai di ruang tamu, terlihat seisi rumah tengah berdiri di teras. Hatiku mendadak jadi lega. Aku lalu keluar bergabung dengan mereka.
“ Selamat pagi semua, ada apa Ma ? kok banyak mobil polisi di sini ? ‘’ tanyaku ingin tahu.
‘’ Nggak tahu tuh ! katanya tetangga sebelah menemui potongan kerangka manusia di dalam sebuah kotak di garasi mereka ! ‘’ Abangku Deddy malah yang menjawab, dan jawabannya membuatku sangat terkejut. Tanpa sadar mukaku menjadi pucat seperti mayat. Jadi, yang ku alami semalam itu bukan mimpi, itu kenyataan.
‘’ Kok kamu jadi putih gitu, Don ?! takut ya….ih…kayak anak kecil saja ! ‘’ Deddy mulai meledekku. Tapi aku tak peduli, aku lalu masuk ke dalam rumah dan naik ke kamarku.
‘’ Papa, kok si Donni jadi aneh gitu ? ‘’ ku dengar suara Denny, tapi aku tak peduli dengan semuanya. Ternyata aku tak pernah bermimpi.
Saat ku buka pintu kamarku, ku rasa ada angin dingin yang berhembus menerpa wajahku lembut, dan di atas meja belajarku, terletak sebuah selendang biru transparan dan sehelai kertas bertulis : TERIMA KASIH DONNI……….
Untuk yang kedua kalinya, aku pingsan jatuh ke lantai.

Sebulan setelah kejadian itu, aku lalu mendengar cerita tentang semua yang terjadi. Ternyata kerangka dan pakaian² itu milik seorang gadis keturunan Belanda yang lahir dari hubungan gelap seorang serdadu Belanda dan seorang wanita pribumi di kampung itu. Untuk menutupi aib, serdadu Belanda itu mengambil anak itu dan mengadopsinya sebagai anaknya sendiri.
Tetapi, saat anak itu sudah mulai beranjak besar, wajahnya menjadi lebih dan lebih mirip dengan serdadu itu, dan hal itu sangat tidak di senangi oleh istri si serdadu. Sang istri yang sejak pertama kali sudah membenci anak yang mereka namai Sarah, lalu memutuskan untuk membunuh Sarah dan menguburnya di dalam garasi bersama dengan semua pakaian milik gadis itu. Kepada suaminya, wanita itu mengarang cerita, bahwa Sarah lari dari rumah dan kemungkinan besar dia lari dengan seorang laki-laki. Saat itu, Sarah berumur 16 tahun.
Sampai saat ini, aku masih tak mengerti, mengapa Sarah memilih aku untuk membuka tabir kenyataan tentang kematiannya setelah sekian lama tertutup rapat. Mungkin karena umur kami sama, atau mungkin karena tanggal lahir kami sama-sama 25 Januari, aku benar-benar tak tahu. Yang pasti, aku terus akan menyimpan selendang biru itu, untuk mengingat gadis (atau lebih tepatnya hantu) yang ku kenal dalam waktu semalam saja.


                                                            TAMAT



0 komentar:

Posting Komentar