YOU ARE, HERS..
By : N. Sikome
Pertemuan kembali setelah hampir sepuluh tahun kehilangan kontak terasa sangat aneh tapi menyenangkan. Setelah begitu lama aku dan kau memendam rasa marah dan dendam di dalam hati masing-masing, kita akhirnya bicara, dan bicara.
Pembicaraan yang di awali dengan serangkaian kalimat pembuka sebagai basa-basi menjadi awal dari pertemuan kita kali itu. Kau, yang selanjutnya membuka percakapan langsung menghujaniku dengan serentetan kalimat pedas yang menyalahkan diriku atas perpisahan waktu itu.
“ Kenapa kau tak mau memberiku kesempatan kedua ? padahal kau sangat tahu kalau aku begitu mencintai dirimu !! “ tukasmu pedas. Aku hanya terdiam. Aku yang selalu pandai merangkai kata-kata bahkan sering menjadikannya sebagai suatu rangkaian syair yang indah hanya terdiam.
“ Aku tahu saat itu aku salah dan selalu membuatmu terluka, tapi itu kan karena aku masih terlalu muda dan belum bisa berpikir lebih dewasa... “ demikian kau melanjutkan, membela dirimu. Aku masih terus terdiam.
“ Aku juga sering membuatmu terluka, karena kau pernah membuatku terluka.. “ kata-katamu tergantung, tak terselesaikan. Namun nada bicaramu sudah mulai melemah, tak segarang awalnya. Akupun mulai berani untuk membuka suara.
“ Aku tahu aku salah, tapi semua yang kau katakan itu takkan pernah bisa membenarkan dirimu ataupun diriku atas kejadian yang terjadi pada kita dulu itu, “ demikian aku mulai berucap.
“ Meskipun aku telah pernah berbuat kesalahan sekali padamu, tapi bukankah sudah kubuktikan padamu bahwa aku tulus dan takkan pernah lagi mengulangi kesalahan yang sama, namun kau terus saja menyiksaku, seakan ingin membuatku membayar semua yang pernah kulakukan padamu !! “
“ Tapi aku tak bisa lagi percaya !! “ selamu cepat, mulai mengandung amarah
“ Seperti katamu, kau dulu masih muda dan tak bisa berpikir dewasa, demikian juga aku. Aku saat itu masih sangat kekanak-kanakkan... “ kucoba untuk memutar kembali alasan yang kau kemukakan diawal percakapan kita.
Kau terdiam, aku juga. Tak ada lagi percakapan, kita berdua hanya terduduk diam dan saling menatap. Aku terkejut saat kutatap matamu, kulihat ada seberkas kerinduan dan keputus-asaan disana. Aku tak pernah menyadari sudah sebegitu jauh kau terluka. Kita sama-sama terluka.
Waktu seperti turut berdiam diantara kita. Bahkan malam yang kelam ikut menghiasi suasana aneh itu. Aku tak tahu apa yang tengah bergejolak dalam hatimu, namun yang aku tahu pasti adalah bahwa kemarahan dan kekecewaanku yang dulu itu masih kupendam dan terbawa hingga detik itu. Kau yang berada dihadapanku membuat semua amarah dan kesedihanku mengambang ke permukaan, dan ku tahu bahwa aku harus mengemukakan segalanya, agar kau tak pergi dengan persepsi yang keliru tentang diriku, tentang perpisahan itu.
Akhirnya semua mengalir keluar bagaikan sebuah bendungan yang bobol airnya. Kaupun tahu, mengapa kita harus berpisah, dan mengapa aku harus pergi. Bukan karena aku membenci, namun keadaaan yang memaksaku untuk berlalu dari hidupmu.
Satu hal yang tak kuungkapkan adalah bahwa sesungguhnya aku tak pernah menyalahkan dirimu atas semua itu, walaupun kau pernah membuatku terluka dan terhina. Karena kumengerti sepenuhnya bahwa saat itu kau memang hanyalah seorang anak remaja yang masih belum bisa berbuat apa-apa untuk semua masalah yang kualami saat itu.
“ Hidup ini sangat aneh, ya .. “ ungkapmu, yang lebih mirip dengan sebuah pengeluhan. Aku hanya tertawa miris. Hidup ini memang aneh.
“ Lalu bagaimana denganmu saat ini ? “ tanyaku, hendak mencari kepastian darimu.
“ Entahlah... kupikir aku bisa melupakan segalanya, tapi aku tak bisa.... “ ucapmu pelan. Angin pantai yang bertiup membuat aku mulai menggigil, betapa kuingin kau memelukku saat itu dan menghangatkan hatiku, namun seperti ada sebuah pembatas kasatmata diantara kita.
“ Apakah aku harus pergi ? “ tanyaku lagi, dengan airmata yang mulai mengalir. Sungguh, kuingin semua rasa sakit itu pergi saat itu juga. Kau hanya menggeleng.
“ Dan bagaimana dengan kita ? “ kali ini kau yang balik bertanya. Aku mulai bingung. Tak tahu harus berucap apa, harus mulai menjelaskan dari mana. Kau yang bicara tentang dia, kutahu kini bahwa meski aku selalu kau bawa dihatimu, tapi dia terlalu memujamu.
“ Kau pikir, situasi bisa berubah ? “ kau menatapku penuh harapan, namun kutahu ada keraguan disana. Angin bertiup lebih kencang. Kurapatkan jaketku, aku tak ingin bicara apa-apa. Aku hanya ingin berpikir dan mencerna segalanya lebih baik lagi.
Dan ketika akhirnya kita berpisah, entah kau sadari apa tidak, aku telah tahu apa yang terbaik untuk dirimu.
(Welcome to a brand new start days..)
R E A L L Y T H E E N D
0 komentar:
Posting Komentar