30 Mei 2011 | By: nsikome

THE LOST CITY-Golden Mountain (Cerita Bersambung) Part 1

Hello semua....
Cerita ini adalah sebuah fiksi hasil karya aku, yang belum pernah dimuat di media mana-pun juga, tidak seperti cerpen yang sebelum-sebelumnya..
Yang satu ini, bukan cerpen, tetapi merupakan sebuah Cerita Bersambung, yang bercerita tentang petualangan unik, seru dan asyik dari dua orang anak Indonesia. Cerita ini, berlatar belakang negara Peru secara ke seluruhannya. Sebenarnya, ini lebih mirip novel sih, terserah apa kata orang, tapi disini aku membuatnya dalam bentuk cerita bersambung, dan akan aku publikasikan setiap bagiannya (part) seminggu sekali, disetiap hari Senin. The Lost City sendiri, terbagi atas 3 Trilogi, yaitu pertama THE GOLDEN MOUNTAIN berlatar belakang Peru, GARIS DARAH (Masih sementara ditulis) yang berlatar belakang Indonesia,Eropa,Peru, dan yang terakhir belum ada judulnya, sementara kerangka-nya sih udah ada dan sedang dalam proses penulisan. Aku juga mau sarankan, bagi kamu-kamu semua yang suka menulis, jangan pernah takut, ragu atau malu tulisanmu akan dianggap tidak bagus oleh orang lain, keep writing, keep learning, dan kamu pasti bisa.....Selamat menikmati, dan jangan lupa komentar dan kritikannya ya...


THE LOST CITY-Part 1
(The Golden Mountain)


By : N. Sikome



“ Hoiiiiii……tunggu dong !! “ lantang terdengar suara teriakan Mama.
Papa, aku dan Arya adikku sejenak menghentikan langkah-langkah kami. Nampak dari balik rerumputan setinggi bahu, Mama muncul dengan wajah capek sekali. Tetapi yang paling mengkhawatirkan adalah, wajah capek Mama disertai dengan kedua alisnya yang bertaut satu sama lain, yang artinya bahwa Mama lagi marah.
“ Sumpah mati, ini terakhir kalinya aku ikut kalian, petualang-petualang sableng ! “ terdengar Mama mulai lagi dengan pidato-nya.
Aku sendiri jujur saja sudah mulai capek, apalagi di ketinggian 3000-an meter di atas laut seperti ini, udara dingin yang di campur dengan tekanan atmosfer memang benar-benar mengganggu. Kalau saja tak ingat dengan cita-citaku untuk menjadi seorang arkeolog terkenal, takkan pernah mau aku bersusah payah datang di Peru, salah satu negara tempat berkumpulnya para arkeolog ternama, untuk menggali misteri bangsa Inca, yang hingga saat ini masih menjadi tanda tanya terbesar. Rasa penasaran terbesarku juga.
“ Tenang, Ma...udah mau sampe, kok ! nggak lama lagi, tuh puncaknya udah keliatan. “ ujar Papa mencoba untuk menenangkan Mama yang sudah mulai kumat lagi cerewetnya.
Aku hanya senyum pegel ( gimana ya, model senyum pegel itu ? mungkin senyum campur pegel, barangkali ? ), sambil mulai melanjutkan langkahku, menaiki gunung.
“ Tenang...tenang...tenang...enak saja Papa bicara, kaki Mama nih...sudah bengkak kayak kaki gajah !!.. “ rutuk Mama sebal.
Papa kelihatan mengkerut, kalau hidung Mama sudah kembang kempis kayak kerbau yang baru mau diadu, lebih baik tutup mulut, daripada dilempar pake sandal seperti biasanya.
“ Dasar pelit !! katanya liburan...ini sih bukan liburan, kalau orang mau liburan, itu buat ngilangin stress, bukannya bikin tambah stress kayak gini. Dasar Papa pelit ! Nggak mau keluarin duit buat liburan, ke pegunungan Alpen kek, ke Paris kek, ke Amerika kek, DASAR PELIT !! “ rupanya Mama masih belum puas juga mengomeli Papa.
Kami semua hanya diam, sebab kalau ada yang buka suara, pasti omelan Mama bakalan tambah panjang 2 hari 2 malam lagi.
“ Papa yang mau kerja, kita yang ikut-ikutan repot. Pakai acara bilang mau liburan, lagi !! “ kali ini wajah Mama sudah lebih mirip dengan kepiting rebus, itu artinya bahaya sudah sampai pada level terakhir.
“ Ini kita juga kan ke Amerika, Ma..Amerika bagian Selatan, maksudnya..” Arya menyahuti omelan Mama yang lalu diikuti oleh suara mengaduh,
“ Aduh !! sakit nih Ma...Arya kan Cuma bercanda... “ benar kan ? sandal gunung Mama tiba-tiba sudah melayang ke kepala Arya dengan kecepatan yang lumayan.
Entah bagaimana Mama bisa melakukan hal itu, membuka sandal gunung yang banyak talinya dengan cepat, dan melemparnya keatas kepala Arya.
“ Kamu sama saja dengan Papa kamu !! HUH ! “ tergesa Mama memakai kembali sandal gunungnya, lalu melangkah maju menaiki gunung. Mungkin karena rasa marah, tanpa sadar Mama sudah berjalan jauh melewati kami, hingga dua menit kemudian baru tersusul oleh kami bertiga. Mama tengah duduk diatas batu ditepi jalan setapak sambil menangis karena kehausan. Air minum bekal milik Mama sudah habis.
“ Papa benar-benar nggak punya perasaan sayang sama Mama, katanya mau ngajak Mama liburan, tapi malah bikin Mama susah kayak gini.... “ ratap Mama, yang sekilas mirip-mirip ibu-ibu di filem-filem India, pake acara goyang-goyang kepala segala.
“ Mama sih...pake acara jalan duluan, air minum Papa tinggal sedikit nih... “ keluh Papa tapi tak berani meninggikan suaranya, karena sudah keburu dipelototin Mama.
Enam jam kemudian, setelah berjalan hampir selama 10 jam, sampai juga kami akhirnya di tujuan. Sebuah bekas salah satu perkampungan bangsa Inca, yang terletak pada ketinggian kira-kira 3000 meter di atas laut. Benar-benar mengagumkan, apalagi saat melihat bekas rumah-rumah mereka yang di atur sedemikian rupa hingga terbentuk seperti sawah-sawah yang ada di Bali, berpetak-petak dan juga berbentuk seperti tangga besar yang setiap anak tangganya mempunyai sederetan rumah yang saling sambung-menyambung.
Bekas-bekas kampung tersebut banyak yang kini tinggal reruntuhan. Memang sangat menyedihkan bagi para arkeolog, karena sangat sulit bagi mereka untuk menyelesaikan sebuah penelitian bila yang tertinggal hanya reruntuhan saja, karena segalanya harus disambung-sambung satu persatu, dan itu memakan tak hanya waktu yang banyak, tetapi juga dana penelitian yang tak sedikit.
Apalagi, orang-orang di bagian Amerika Selatan seperti di Peru ini, masih seperti Indonesia, banyak yang tidak pernah mengecap pendidikan di bangku sekolah, sehingga mereka tidak tahu tentang pentingnya pelestarian peninggalan-peninggalan bersejarah semacam itu. Ditambah dengan kurangnnya informasi karena tempat tinggal mereka yang terisolasi, sehingga sering terjadi pengrusakan masal tempat-tempat bersejarah peninggalan jaman purba dengan alasan untuk mencari harta karun.
Di negara seperti Peru, dimana ada banyak situs-situs peninggalan masa lampau seperti reruntuhan kuil, makam, bekas-bekas kampung seperti yang kami sedang lewati dan tidak sedikit orang-orang yang menemukan harta peninggalan seperti emas didalam kuil-kuil dan makam-makam, membuat para penjarah tidak segan-segan merusak bangunan kuil atau makam, untuk mencari harta-harta yang mungkin masih tersembunyi didalamnya. Ada yang berhasil menemukan harta semacam itu, tetapi tidak sedikit pula yang sudah merusak kuil atau makam, tetapi tak berhasil mendapatkan apa-apa.
Saat tiba di sana, Papa langsung menemui teman-teman arkeolognya yang sudah sampai duluan, sedangkan aku, Mama dan Arya mulai memasang tenda-tenda kami. Teman-teman arkeolog Papa berasal dari berbagai negara, yang kesemuanya dibiayai oleh sponsor yang sama dengan yang membiayai Papa.
Karena sudah biasa ikut dengan Papa dalam berbagai ekspedisi arkeologi-nya, bagi kami sekeluarga, berkemah seperti ini bukan hal yang asing lagi. Mama bahkan yang paling cepat diantara kami dalam hal memasang tenda. Jadi, kami sudah terbiasa untuk melakukan segalanya secara sistematis, tanpa perlu berharap pada Papa.
Sebagian besar dari teman-teman Papa sudah aku kenal. Yang paling aku suka adalah Om Hans dari Jerman, soalnya dia pintar main sulap dan selalu main sulap setiap kali aku memintanya. Ada juga Om Jacques dari Perancis yang bisa menggerakkan telinganya seperti kelinci, sayang sekali setiap dia bicara dalam bahasa Inggris, aku sedikit susah untuk mengerti apa yang dia ucapkan karena ‘French-English’ aksennya yang sangat kental.
Kali ini, ada beberapa orang yang belum aku kenal, termasuk seorang Indonesia yang bernama Om Erold. Mukanya mengingatkan aku pada burung hantu. Bermata besar, dengan wajah yang selalu cemberut. Aku langsung tak suka padanya, juga teman-temannya.
Mereka semua adalah kelompok baru yang kata Papa juga dibiayai oleh perusahaan yang menjadi sponsor Papa dan kelompoknya, mereka bergabung dengan kelompok Papa karena ekspedisi kali ini adalah sebuah ekspedisi spesial, yang tak mau dirinci oleh Papa apa yang membuatnya spesial.
Bukannya aku tak pernah mencoba untuk bertanya pada apa tentang ekspedisi kali ini, tapi Papa hanya menggelengkan kepalanya, membuatku makin sebal. Padahal, aku sangat tertarik dengan apa yang Papa lakukan sebagai seorang arkeolog.
Satu hal yang aku ketahui saat membongkar kantor kerja Papa dirumah, bahwa kali ini penggalian arkeologi mereka berhubungan dengan bangsa Inca yang sangat terkenal itu. Dunia arkeologi memang seperti itu kata Papa, ketika mereka menemukan sesuatu dari hasil peninggalan orang-orang di masa lampau, itu bisa menjadi langkah atau petunjuk pertama dari barang-barang peninggalan lain.
Semuanya seperti sebuah cerita bersambung yang tak akan pernah habis-habisnya, sebab saat mereka sudah menemukan sebuah keseluruhan cerita tentang kehidupan sebuah suku dimasa lampau lewat benda-benda yang mereka temukan dalam sebuah situs arkelogi, selalu saja ada barang yang menghubungkan suku atau bangsa itu dengan sebuah suku lain ditempat yang lain pula, yang seringkali suku itu belum dikenal oleh dunia, dan kembali memerlukan sebuah penelitian arkeologi yang baru.
Itulah sebabnya mengapa aku sangat tertarik dengan pekerjaan Papa, dan menjadikannya sebagai nomor 1 dalam daftar cita-citaku.
Suasana mulai menjadi semakin dingin dan lembab. Ku lihat Adikku Arya sudah mengenakan mantel tebalnya, yang di beli Papa hari pertama kami tiba di Lima*.
Liburan kali ini memang tak sama dengan liburan yang kemarin-kemarin. Mulanya Mama ingin ke Amerika, sebab ada tante Ira, adik Mama yang tinggal di New York. Katanya sih, dia mau melihat bekas bangunan WTC yang di bom itu, lalu dia menawarkan Paris, juga ke pegunungan Alpen, akhirnya karena Papa berkeras mau melakukan ekspedisi penting, Mama lalu bilang gimana kalau ke Mesir, sekalian Papa melakukan penelitian disana, dan juga agar Mama bisa melihat kuil Abu Simbel yang tak sempat dia lihat sewaktu berbulan madu dengan Papa dulu.
Soalnya, mereka harus pulang mendadak gara-gara Mama terserang malaria. Tapi, kata Papa kami semua harus ke Peru, karena dia sudah mendapat sponsor yang akan membiayai pencarian grup arkeolog yang di pimpin Papa, untuk memulai kerja mereka di Peru, meneliti jejak suku Inca yang sangat terkenal itu.
Setelah rapat keluarga yang cukup seru karena disertai dengan bentakan-bentakan dan ancaman-ancaman Mama seperti akan merajuk dan tak mau ngomong sama aku dan Arya, dan saat pengambilan suara, Mama kalah. Makanya, liburan kali ini di alihkan ke Peru.
Meskipun Mama sempat mengancam aku, kalau aku tak berpihak padanya, jatah jajanku akan dia potong, aku tetap memilih Peru. Soalnya, aku kan belum pernah pergi kesana. Lagipula, negara itu seperti yang kutahu lewat buku-buku dan juga internet, itu adalah salah satu tempat penelitian arkeologi yang masih menyimpan begitu banyak rahasia tentang peradaban masa lampau mereka yang sangat maju dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain pada masa itu. Mereka di Peru, seperti halnya bangsa Mesir, mampu membuat bangunan-bangunan spektakuler seperti Piramida dan sejenisnya.
Setelah makan malam di sekeliling api unggun, terdorong oleh rasa lelah yang amat sangat, yang memaksaku untuk segera masuk ke dalam sleeping bag* di dalam tenda tempat aku dan Arya tidur. Baru saja aku mulai tertidur, tiba-tiba terdengar suara teriakan kegirangan dari luar. Dengan cepat ku sambar mantelku, dan langsung berlari menuju ke tempat penelitian.
“ Ada apa, Pa ? “ tanyaku heran.
“ Ada yang menemukan sebuah pot air minum yang di gunakan oleh bangsa Inca dulu.” jawab Papa menjelaskan.
“ ‘Nemu pot aja kok sampe histeris kayak gitu, sih ?! bangunin orang yang lagi tidur aja !! “ rutukku kesal.
Kalau cuma pot air minum sih, yang dulu sewaktu Papa pergi meneliti di Mesir, grup mereka dapat ratusan pot minum, dengan berbagai ukuran pula, apalagi waktu mereka mencari di sekitar ‘Valley of the queens’*.
“ Tapi yang ini bukan pot air minum biasa, Ning. Pot yang satu ini kelihatannya terbuat dari emas. “ terang Papa membuatku langsung jadi maklum, mengapa tadi yang menemukan pot itu teriak kayak orang lagi kesurupan.
“ Oooo…terus pot-nya pada di kemana’in ? “
“ Lagi di test di tenda stock, untuk melihat kalau itu emas beneran apa bukan. “
Baru saja Papa selesai bicara, muncul seorang teman arkeolognya.
“ Gimana hasilnya ? “ Papa bertanya penasaran, aku juga ikut penasaran ingin tahu.
“ Emas, Don. “ jawab teman Papa yang bernama Erold dengan nada puas. Aku tak suka dengan ekspresi wajahnya, seperti Paman Gober di seri Donald Bebek, kalau lagi dapat proyek yang menghasilkan uang banyak, agak-agak rakus gitu..
“ Kalau begitu, berarti perkiraan kita mulai menampakkan kebenarannya, ya ? “ tukas Papa perlahan. Dengan cermat, aku mengikuti terus percakapan mereka.
“ Saya sendiri hampir yakin, mudah-mudahan kita bisa menemukan lagi bukti-bukti yang lebih kuat pada penggalian besok hari. Aku tidur dulu, ya ? “ Om Erold meninggalkan aku dan Papa di tepi lobang penggalian.
“ Pa, tentang apa sih yang Om Erold dan Papa bicarakan ? “ aku membuka suara saat om Erold sudah menghilang ke dalam tenda-nya.
“ Grup kami berpikir, bahwa dulu bangsa Inca yang besar itu pernah di pimpin oleh seorang wanita. “ tukas Papa datar.
“ Tapi, bukankah wanita tak mempunyai hak untuk memimpin suku mereka menurut adat-istiadat suku Inca ? “
“ Ya. Tapi ada beberapa pengecualian, seperti wanita yang lahir pada saat gerhana matahari terjadi, di yakini mempunyai kekuatan supernatural, karena berasal dari perkawinan antara dewa Matahari dan dewi Bulan, dan dia bisa menjadi seorang pemimpin. “
“ Dan apa hubungannya dengan pot air minum yang terbuat dari emas itu, Pa ? “
“ Pot air minum yang terbuat dari emas itu, hanya di gunakan pada saat ritual peneguhan pemimpin baru suku Inca, yang mengharuskan setiap pemimpin meminum darah jantung anak perawan yang di taruh di dalam pot itu. Dan, melihat dari relief-relief yang ada di pot emas tadi, hampir pasti itulah yang mereka gunakan.”
“ Tapi Pa, bagaimana Papa dan yang lain bisa tahu, kalau pernah ada pemimpin wanita di bangsa Inca dulu ? kan nggak mungkin hanya lewat pot emas itu ?! “ tanpa sengaja, aku sudah mulai melupakan rasa kantukku tadi.
“ Kampung bekas tempat tinggal suku Inca ini bukan kampung biasa, tetapi adalah sebuah Acllahuasi*, sudah ah ngomongnya, Papa sudah ngantuk nih. Selamat bobok Aning, “ Papa mencium keningku, dan langsung pergi memasuki tenda dia dan Mama, yang sudah mendengkur semenjak tenda-nya baru selesai di pasang.
Sejak Papa pergi tidur, aku tak kunjung bisa mengembalikan rasa kantukku lagi. Ku pandang sekeliling untuk melihat-lihat, kalau² ada daun Coca* kering di situ, yang bisa membantuku untuk tidur dengan asap bakarannya, tapi niatku langsung jadi urung saat membayangkan wajah Papa saat dia tahu aku mengisap asap bakaran daun Coca, sudah pasti jatah uang jajanku akan disunat seumur hidup, dan sudah pasti ujung-ujungnya aku sendiri yang akan sengsara, makanya segera kubuang cepat-cepat niat jahat itu dari kepalaku.
Rasa kantukku telah hilang tak berbekas gara-gara penemuan pot emas itu. Kembali untuk tidur sudah pasti sia-sia. Padahal, sebenarnya setelah perjalanan panjang dari Indonesia ke Peru, seharusnya aku sudah tidur dengan nyaman, dan sudah bertemu dengan pangeran bangsa Inca yang tampan dan kaya dalam mimpiku.
Aku lalu memutuskan untuk pergi ke tenda stock yang juga merupakan tempat berkumpul semua orang saat santai sehabis kerja. Seperti biasanya, para arkeolog setelah bekerja mereka suka berkumpul di tenda induk. Sepertinya mereka itu tak pernah mengenal lelah, padahal, mereka kan seharian bekerja melakukan penggalian yang tempatnya kadang harus masuk jauh kedalam hutan, atau harus menggali bebatuan keras, dan juga melakukan penggalian-penggalian yang sudah pasti menguras banyak tenaga.
Yang paling aku tak mengerti, hanya dengan istirahat seadanya, mereka bisa tahan selama berjam-jam melakukan pekerjaan mereka, dan aku sama sekali tak pernah melihat salah satupun dari mereka kelihatan lelah atau mengantuk saat melaksanakan pekerjaan mereka, meskipun di bawah terik matahari yang menyengat. Kadang, aku jadi berpikir untuk segera melupakan niatku untuk menjadi arkeolog kayak Papa, tapi langsung jadi bersemangat lagi bila mengingat bonus jalan-jalan keseluruh dunia seperti yang sering Papa lakukan.
Ketika aku memasuki tenda, ada Om Hans disana. Aku langsung menjadi bersemangat. Aku memang sangat suka dengan Om Hans, soalnya dia itu pintar main sulap, dan sering mengajariku main sulap. Kadang, Om Hans juga suka cerita pengalamannya saat berekspedisi ke berbagai tempat diseluruh dunia.
Aku sendiri paling senang kalau dia bercerita padaku tentang pengalamannya di Mesir. Menurutku, semua itu sangat menarik, dan yang paling menyenangkan adalah, kalau dia sudah mulai cerita tentang pengalaman penggaliannya di Mesir, ada kesan-kesan horror nya, jadi aku lebih suka.
Contohnya, waktu Om Hans cerita padaku tentang penggalian mereka untuk mencari makam Raja yang diduga hilang, dan menyimpan banyak harta karun, mereka malah menemukan sebuah kuburan yang digali 150 meter dibawah tanah yang kondisinya sudah sangat rapuh dan hampir bisa dibilang tinggal puing-puing belaka. Saat Om Hans katanya mau mengambil sampel tanah untuk diteliti, tiba-tiba debu berjatuhan diatas kepalanya, dan tak hanya itu, dia kejatuhan sekelompok Mummi yang kondisinya sudah sangat rusak dan tentu saja pasti mengerikan dan tak enak untuk dipandang.
Aku juga paling suka saat Om Hans cerita tentang penggalian di kutub utara. Katanya, di Kutub Utara sana sebenarnya ada banyak hal-hal yang menarik dan merupakan suatu objek arkeologi yang hingga sekarang masih menyimpan banyak misteri. Semua itu disebabkan oleh medan penggaliannya yang sangat susah dan tak bisa dijangkau dengan mudah. Apalagi ditambah dengan es yang menutupi permukaan dikutub utara, membuat penggalian berjalan dan lambat, dan juga alat-alat yang harus dipakai biayanya sangat mahal, makanya sangat jarang ada sponsor yang mau membiayai para arkeolog untuk melakukan penelitian disana. Padahal, kata Om Hans, disana kabarnya ada sebuah kota kuno yang memiliki peradaban tinggi, jauh lebih tinggi dari manusia masa kini, sebab menurut dokumen-dokumen yang ditemukan, mereka katanya sudah memiliki hubungan dengan alien.
Entah benar atau tidak semua yang dikatakan oleh Om Hans setiap kali dia bercerita padaku, aku selalu senang-senang saja mendengar ceritanya setiap kali bertemu dengan dia. Aku juga senang, karena dia sering berbaik hati menceritakan setiap penemuan terbaru mereka dalam setiap penelitian yang dilakukan, suatu hal yang tak bisa kudapat dari Papa, sebab dia sangat pelit.
Setiap kali aku bertanya tentang penelitian mereka, dia hanya menjawab bahwa aku masih terlalu kecil untuk mendengarkan penjelasan arkeologi yang rumit dan susah untuk dimengerti. Padahal, sumpah mati aku sangat tertarik dengan semua itu, dan aku kan mau jadi arkelog juga kayak Papa, jadi apa salahnya kalau aku mulai belajar dari sekarang, biarpun kata Papa aku masih kecil. Katanya, lebih cepat kita belajar sesuatu sejak dini usia, kita akan makin pintar, kok aku malah dilarang ? dasar orangtua, mereka suka lupa dengan apa yang mereka katakan.
Tapi dari semua cerita yang Om Hans pernah ceritakan, yang paling menjadi favoritku adalah cerita tentang sebuah kota tua bangsa Inca yang katanya merupakan kota terkaya, tetapi hilang tanpa ada bekasnya, tanpa meninggalkan petunjuk mengapa mereka musnah begitu saja. Biasanya, bila suatu kumpulan populasi manusia yang musnah secara masal, kalau bukan karena wabah penyakit, pasti karena bencana alam, atau perang.
Tiga hal itu yang selalu menyebabkan punahnya suatu bangsa pada jaman dahulu, tetapi kata Om Hans, bangsa Inca yang satu ini seperti lenyap begitu saja dari permukaan bumi, jauh sebelum perubahan ekstrem suhu permukaan bumi yang katanya kemungkinan menjadi penyebab lenyapnya bangsa Inca, dan bahkan telah lenyap jauh sebelum masa pemerintahan terakhir bangsa Inca.
Om Hans juga pernah bercerita, bahwa mereka memiliki peradaban yang jauh lebih tinggi dari orang-orang pada jaman itu, dimana mereka sudah bisa dibilang modern, hampir mirip-mirip dengan yang ada dikutub utara itu. Sebenarnya, mereka dulunya merupakan salah satu suku bangsa Inca, yang entah mengapa memutuskan untuk mendirikan pemerintahan sendiri, yang bertolak belakang dengan pemerintahan bangsa Inca yang sebelumnya.
Tetapi, suku tersebut hingga kini masih menjadi pertanyaan besar di kalangan para arkeolog, karena selain sebuah catatan bertuliskan Inca kuno yang tertulis diatas lembaran yang terbuat dari alumunium yang berhasil di terjemahkan oleh para ahli bahasa purba, tak ada satupun petunjuk atau catatan lain yang menyebutkan tentang suku Inca dan Kota yang Hilang itu. Makanya, ketika voting keluarga untuk memutuskan tempat liburan tahun ini dimulai, tanpa ragu-ragu aku langsung memutuskan ikut Papa ke Peru, meskipun di bawah ancaman penghentian jatah jajan oleh Mama. Saat aku bertanya pada Om Hans tentang apa yang tertulis di lembaran itu, katanya isi lembaran itu adalah sebuah resep makanan, jamannya suku Inca itu. Aneh.
Aku jadi curiga, jangan-jangan ekspedisi spesial yang dikatakan Papa kali ini, adalah untuk mencari Kota yang Hilang itu, ya ?.
Tapi yang pasti, aku paling suka mendengar cerita petualangan para arkelog itu, sayangnya Papaku pelit sekali untuk berbagi cerita petualangannya.
Saat aku masuk kedalam tenda, Om Hans sedang bergurau dengan teman-teman segrupnya, sedangkan Om Erold dengan kelompoknya duduk agak menyendiri di sebelah timur tenda, nampak tengah serius mendiskusikan sesuatu. Sepertinya mereka takut percakapan mereka didengar orang, sebab mereka berbicara dengan berbisik antara satu dengan yang lainnya. Suatu hal yang menurutku agak diluar kebiasaan, sebab sudah berkali-kali aku mengikuti ekspedisi arkeologi Papa ke berbagai negara, suasananya selalu sama pada saat istirahat. Semua pada berkumpul, entah untuk minum kopi, atau cuma bercakap-cakap antar sesama arkeolog. Tapi yang pasti, tak pernah kelihatan semuram hari ini, dimana orang-orang masing-masing seperti memiliki rahasia sendiri yang tak ingin dibagi dengan orang lain, dan aku sendiri, tak suka dengan situasi seperti ini.
“ Halo Om Hans..Om Jacques...” kusapa Om Hans yang sedang bercakap-cakap dengan Om Jacques dalam bahasa Inggris, kami semua memang memakai bahasa Inggris untuk berkomunikasi.
“ Hai Aning..belum tidur ya ? ayo gabung kesini, kita berdua juga belum mengantuk, nih “ ajak Om Hans sambil mengangsurkan sebuah tempat duduk kemping kearahku.
Aku lalu berbaur dengan mereka, sambil menikmati kopi panas yang disediakan oleh Om Franz, koki ekspedisi kami yang berkebangsaan Jerman, sama seperti Om Hans.
Sebenarnya, Om Franz bukan koki, dia itu arkeolog juga, tapi dia hobi masak. Jadi sama semua anggota ekspedisi dia di daulat jadi koki, selain itu masakannya juga sangat enak. Cocok dengan semua lidah orang-orang ekspedisi yang berlainan negara dan makanannya.
“ Gimana sekolahmu di semester ini ? kata Papamu dapat juara umum lagi, ya ? “ Om Jacques menggodaku dengan bahasa Inggris beraksen Perancisnya yang sangat khas.
Aku jadi malu, tak kusangka Papa suka cerita-cerita pada teman-teman sesama arkeolog nya tentang aku.
“ Yaa...lumayanlah ... “ jawabku agak malu.
Soalnya, aku kan biasanya bercanda sama Om Hans. Memang sih, om Jacques juga lucu dan baik, tapi karena aku sering susah mengerti apa yang dia katakan, gara-gara aksen French-Englishnya yang agak aneh kedengaran di telinga, aku jarang bercanda-bercanda sama dia.
“ Masak cuma ‘lumayan’ sih ? lalu bagaimana dengan juara Kimia se-Indonesia, itu kan bukan lumayan, juga kata Papamu kamu dapat medali perak olimpiade Internasional Biologi tahun ini, hebat kamu, Ning ! “ Om Hans yang lagi-lagi angkat bicara, membuat aku semakin merasa jengah dipuji-puji kayak gitu.
“ Wah...kayaknya calon arkeolog kita yang satu ini pintar banget ya, Hans?! Nanti dia nggak akan perlu ahli Kimia lagi kalau harus meneliti tanah atau batu-batuan ditempatnya menggali, juga tak akan memerlukan ahli Biologi, karena dia sudah memiliki semua keahlian itu, hebat anakmu ini Don ! “ Om Jacques mengacungkan dua jempolnya kearah Papa yang hanya tersenyum. Tapi aku bisa melihat, bahwa Papa juga bangga dengan semua prestasiku itu.
“ Iya nih, Don. Sayang sekali anak saya tak sepintar dan serajin Aning di sekolah ! “ Mr. Oyama, si ahli Komputer dari Jepang yang sejak tadi hanya diam ikutan berkomentar, membuat mukaku seketika terasa panas karena malu bercampur rasa bangga.
Aku sendiri tak menyangkal bahwa memang disekolah aku memiliki prestasi yang membangggakan. Meskipun aku kadang-kadang masih belum puas dengan semua itu. Tapi itu normal, sebab mana ada manusia yang pernah puas dengan apa yang dia miliki ?.
Mungkin aku bisa dibilang tak seperti anak-anak seusiaku, dimana mereka pada usiaku ini lebih suka jalan-jalan ke Mall-Mall, atau pergi nonton bioskop sama pacar, sedangkan aku, malam mingguku lebih banyak aku habiskan berkutat dengan buku pelajaran, atau surfing di internet mencari informasi tentang hal yang sangat aku sukai, yaitu arkeologi.
Kata Iris, sobat karibku dikelas, aku adalah manusia aneh keturunan alien, karena kebiasaanku berbeda dengan anak-anak Bumi kebanyakan.
Iris itu memang memiliki obsesi yang agak-agak berlebih tentang kehidupan extra terresterial alias alien. Jadi cara bicaranya ya.. di seputar-seputar itu. Aku bahkan dia juluki salah satu spesis alien yang kemungkinan besar katanya berasal dari planet Mars, ada-ada saja memang.
Aku juga menjadi salah satu spesimen sempurna bagi orangtua teman-teman dikelasku, karena kata mereka aku adalah anak yang patut untuk dicontohi, karena rajin, pintar dan tidak suka keluyuran ke mall seperti teman-temanku yang lain.
Padahal, aku bukannya tidak suka ke mall, cuma kalau aku ke tempat itu, aku langsung ke Toko Buku, dan menghabiskan waktu berjam-jam disana. Giliran teman-temanku yang jadi sebal, karena kata mereka, disekolah kita sudah di jejali dengan banyak sekali buku-buku pelajaran, jadi untuk apa menghabiskan waktu santai di Toko Buku ? Hanya bikin stres, kata mereka. Aku hanya diam tak berkomentar kalau mereka sudah mulai berceloteh tentang aku yang katanya anak aneh-lah, kutu buku-lah, dan segala macam julukan lain yang mereka berikan padaku.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Satu persatu anggota ekspedisi mulai meninggalkan tenda stock, dan masuk ke tenda masing-masing. Begitu juga om Hans dan Om Jacques. Tinggal aku yang masih terbangun.
Rupanya cerita Papa tadi membuatku jadi terlalu bergairah untuk pergi tidur. Sebuah suku yang sangat di dominasi oleh laki-laki, diketahui pernah mempunyai pemimpin seorang perempuan. Pastilah perempuan itu bukanlah seseorang yang sembarangan. Mungkin dia memiliki kharisma seorang ratu seperti ratu di Inggris sana, sebab jika tidak memiliki semua itu, bagaimana mungkin dia bisa memimpin sebuah bangsa yang didominasi oleh laki-laki?.
Semua ini adalah hal-hal yang benar-benar baru, sebab semua yang kuketahui tentang kekaisaran Inca berakhir pada tahun 1533 dibawah pemimpin terakhir mereka yaitu Atahualpa*.
Sedangkan, bangsa Inca yang satu ini benar-benar tidak pernah kukenal sebelumnya, juga oleh Papa dan teman-teman arkeolognya. Padahal, sudah ratusan website yang mengupas tentang bangsa Inca dan keberadaannya kukunjungi, tetapi tak ada satupun yang menyebutkan tentang seorang Sapa Inca* perempuan.
Bukannya sombong, tapi berbicara tentang bangsa Inca, mungkin aku adalah anak SMA yang paling mengetahui sejarah tentang bangsa yang telah musnah itu. Setahuku, sejak kemunculan bangsa Inca, yaitu kira-kira pada tahun 1438, sehingga kekaisaran mereka pada akhir pemerintahan Sapa Inca yang terakhir yaitu Atahualpa pada tahun 1533, tidak ada satupun disebutkan bahwa bangsa itu pernah dipimpin oleh seorang Sapa Inca berjenis kelamin perempuan.
Kalau begitu, bangsa Inca yang mana sebenarnya yang sedang Papa teliti bersama dengan teman-teman arkeolognya ?
Aku jadi makin tertarik dengan semua itu. Dengan penuh semangat, kuraih sebuah pacul yang terletak di hadapanku, dan mulai menggali perlahan-lahan, sambil berharap-harap, mudah²an kali ini aku yang akan mendapatkan sesuatu seperti pot emas itu.
Aku lalu mulai berkhayal tentang sebuah pertemuan para arkeolog terkenal di dunia untuk merayakan keberhasilanku karena telah berhasil mengungkap sebuah misteri arkeologi yang selama ini banyak dipertanyakan oleh banyak orang.
Di benakku, aku berada di sebuah pesta mewah, yang dihadiri oleh banyak selebriti, dengan berbagai pemimpin-pemimpin dari berbagai belahan dunia, para konglomerat, dan pemimpin-pemimpin industri terbesar dunia turut hadir dalam pesta untuk memberikan penghargaan atas jasa-jasaku itu.
“ Selamat ya Miss Aning atas keberhasilan anda mengungkap rahasia sejarah terbesar ini.. “ Presiden Amerika menyalami tanganku erat-erat. Aku tersenyum bangga.
“ Anda memang hebat, satu-satunya arkeolog yang mampu melakukan hal ini hanyalah yang terbaik, dan menurut saya, andalah orangnya ! “ pujian kali ini datangnya dari Queen Elizabeth II dari Inggris sana. Dalam hati aku bertanya, mana Pangeran William dan Pangeran Harry yang tampan itu ?.
Aku lalu berbaur dengan ratusan tamu-tamu lain yang semuanya adalah selebriti-selebriti entertainment, dan juga politikus-politikus serta tokoh-tokoh penting dunia.
Disudut kulihat ada Brendan Fraser, pemeran utama film Mummy sekuel I dan II sedang bercakap-cakap dengan Nicole Kidman, juga ada si cantik Paris Hilton yang sedang mengangkat toast untukku.
Dari Indonesia juga ada banyak selebriti dan artis-artis yang menghadiri pesta perayaan keberhasilanku. Ada Krisdayanti, ada juga Rossa si penyanyi mungil bersuara merdu itu, dan sementara mengisi acara di panggung, Glenn Fredly sedang berduet mesra dengan mantan istrinya, Dewi Sandra.
Aku merasa sangat bahagia, dan seperti hendak terbang ke awan, apalagi saat melihat Brad Pitt dan Angelina Jolie, turut hadir. Tapi kok Angelina Jolie bergelayut mesra sama Arya adikku, bukannya sama Brad Pitt ? kok ada Arya sih ?
PLOK ! sebuah batu kerikil kecil mendarat tepat di jidatku, membuatku tersadar dari lamunan indah dan kembali ke alam nyata, dan begitu semua selebriti itu hilang dari pandangan maya hasil ilusiku, samar-samar wajah adikku yang kadang sangat menyebalkan itu muncul tepat dihadapanku. Ternyata Arya yang melempariku dengan batu kerikil itu.
“ Kak Aning, lagi mikirin apa sih ? kok air liurnya sampe netes gitu... “ Arya tertawa terbahak-bahak, membuatku lekas-lekas menyeka sudut mulutku dengan punggung tangan.
Ternyata adikku itu hanya mengerjaiku, tak ada air liur disana. Aku lalu balas melemparinya dengan segumpal tanah yang kugali.
“ Emang kamu nggak ada kerjaan lain, selain mengganggu orang yang lagi kerja, ya ? “ rutukku kesal.
“ Kerja apaan ? Kak Aning lagi nyari cacing tanah, ya ? “ canda Arya lagi, adikku itu memang keterlaluan.
Di rumah kami berdua dijuluki Tom & Jerry sama Mama, karena tak pernah akur biar cuma semenit.
“ Bukan, aku lagi gali lobang kubur buat kamu ! “ balasku tak kalah sengit. Kulihat adikku itu membelalakkan matanya, rasain ! Tapi kemudian dia mengeluarkan jurus lainnya,
“ Ya sudah...kalau Kak Aning selesai, bikin satu lagi buat Kakak, tetanggaan sama aku, biar kita dekat “.
Aku langsung meraup segenggam tanah, tapi belum sempat kulempari adikku itu, Arya keburu lari menuju tenda kami berdua, untuk menyelamatkan dirinya, sebelum benda-benda berat berjatuhan menimpa kepalanya. Aku memiliki kebiasaan jelek yang agak sukar untuk dihilangkan kalau sedang marah sama adikku itu.
Tanganku suka melempari Arya dengan semua barang-barang yang bisa kujangkau dengan tanganku. Seperti dulu waktu kami masih kecil, dia menggunting rambut boneka Barbie ku dengan gaya rambut Punk, membuatku marah besar dan melemparinya dengan gunting yang dia pakai untuk menggunting rambut si Barbie itu, sehingga Mama dan Papa terpaksa melarikan Arya ke rumah sakit untuk di jahit kepalanya gara-gara kena gunting yang kulempar.
Arya memang usil, tapi aku sangat sayang sama adikku itu, meskipun kadang-kadang kejahilannya padaku sering melewati batas. Aku bahkan pernah menangis dan tak bicara padanya selama seminggu gara-gara dia menyebutku ‘perawan tua tak laku’ hanya karena aku tak suka keluar rumah dan hanya mendekam dikamar terus bersama dengan buku-buku dan komputerku.
“ Nanti, Kak Aning pacaran sama Abraham Lincoln saja... ‘ ledeknya saat melihat aku tengah membaca ‘Sejarah Amerika’.
“ Biarin ! dari pada kamu, setiap semester raportmu kebakaran melulu, dasar otak udang ! “ balasku tak kalah sengit. Bukannya marah dikatain otak udang, dia hanya tertawa lalu meleletkan lidahnya padaku.
“ Biar otak udang,tapi keren, dan banyak yang naksir aku, segudang ! Kalau Kak Aning siapa yang naksir ? paling-paling penjaga perpustakaan yang rambutnya sudah putih semua kayak megaloman itu, hahaha !!!... “ dia tertawa terbahak-bahak. Aku mulai naik pitam. Belum lagi kutemukan kata-kata untuk membalas ucapannya, Arya sudah menyambung ledekannya padaku.
“ Hati-hati,lho, nanti jadi perawan tua yang nggak laku-laku, kebanyakan gaul cuma sama buku melulu. Atau Kak Aning mau aku masukin ke Biro Jodoh di internet ? “
Aku benar-benar tak mampu lagi menahan kekesalanku, airmataku langsung tumpah dan aku langsung berteriak memanggil Mama, sedangkan Arya langsung berlari masuk ke kamarnya, dan seperti biasanya sambil tertawa terbahak-bahak karena sudah berhasil membuatku kesal lalu menangis.
Malam sudah semakin larut, aku terus melanjutkan penggalian pribadiku, sambil sesekali mengorek-korek tanah dengan harapan mendapatkan sesuatu dari dalam situ. Tetapi, sepertinya benda-benda peninggalan purbakala itu tak mau aku temukan. Sebab selain beberapa jenis batu yang kutemukan, aku hanya menemukan kerikil-kerikil halus di tempatku menggali.
Keringatku sudah membasahi kaos putih di bawah mantel tebalku, pacul yang ku pakai belum juga menyentuh apa-apa. Dengan kesal ku lempar pacul itu ke arah semak-semak, yang anehnya langsung berbalik ke arahku, melayang seperti sihir-sihir di film Harry Potter, dan mendarat dengan sukses di atas jidat jerawatan-ku.
“ Aiii….!!!! “ kepalaku terasa berdenyut-denyut hebat. Tiba-tiba ku dengar suara cekikikan seseorang. Perlahan ku tolehkan kepalaku ke arah suara itu, ternyata berasal dari seorang gadis berusia kira-kira 14-an tahun, yang di temani oleh seorang pemuda kira-kira seumurku yang berwajah tampan dengan kulit kecoklatan (BERSAMBUNG)

Keterangan Bahasa :

Lima = Ibu kota Peru
Sleeping bag = Kantong tidur, biasa di pakai saat mendaki gunung atau berkemah
Valley of the queens = Lembah di Luxor ( Mesir ) tempat di makamkan para ratu-ratu bangsa Mesir kuno.
Acllahuasi = Tempat tinggal para wanita terpilih ( misalnya para gundik raja, dan
juga anak² perempuan, dan saudari mereka )
Inti = Dewa/Tuhan tertinggi dalam kepercayaan suku Inca
Manta = Semacam kain penutup yang di pakai untuk melindungi badan dari udara dingin.
Panaca = Keturunan suku Inca
Altittude Sick = Sakit yang datang saat seseorang tak bisa menahan tekanan atmosfer pada ketinggian, biasanya berupa kehilangan kesadaran, atau hidung yang berdarah.
Llautu = Semacam penutup kepala dari kain dengan berbagai macam warna yang di gunakan sebagai hiasan rambut.
Coca = Semacam daun ganja yang kalau di bakar dan terhisap asapnya bisa langsung fly dan bisa tak sadarkan diri bila terhirup dalam jumlah banyak.Bisa membuat seseorang terganggu otaknya bila digunakan dalam dosis tinggi
Sapa Inca = Raja / Pemimpin
No es nada nuevo? = ( Bahasa Spanyol ) Tak ada hal/berita yang baru ?
Quechua & Aymara = Dua bahasa yang dipakai oleh bangsa Inca
Machu Pichu = Reruntuhan bekas kota yang diyakini adalah pusat kekaisaran Inca, yang juga dikenal dengan Kota Yang Hilang.
Atahualpa = Nama Kaisar/Raja/Pemimpin terakhir bangsa Inca sebelum kekaisaran itu punah.
29 Mei 2011 | By: nsikome

PARTY GIRL

Untuk semua yg suka Pesta, dan gadis cantik.....enjoy guys..





PARTY GIRL



By : N.SIKOME

Suara musik tekno yang memekakkan telinga bergaung ke sekeliling ruangan. Rommy memejamkan matanya sejenak. Kepala cowok itu terasa mulai berdenyut-denyut. Dalam hati dia menyesal telah memenuhi ajakan Rio datang ke pesta ini. Sebenarnya dia ingin tinggal di tempat kost saja, tapi Rio memaksa setengah mengancam bahwa kalau Rommy tak ikut, dia tak akan di perkenankan lagi untuk meminjam ataupun menyentuh Laptop Rio. Dengan berat hati, cowok itu terpaksa mengikuti sahabatnya ke pesta gila ini, padahal dia pada dasarnya bukanlah type orang yang suka pesta semacam ini.
- Hei....Rom !!! gimana pendapat kamu ?? – Rio tiba-tiba saja sudah muncul di samping Rommy.
- Pendapat tentang apa ? -
- Tentang pesta ini !! – Rio setengah berteriak
Rommy hanya mengangkat bahunya, dengan mimik yang di buat se-memelas mungkin.
- Aku bosan, Rio. Kita pulang, yuk !! – ajak Rommy, namun sahabatnya hanya mengedipkan sebelah mata, lalu berlalu dari hadapan cowok itu. Kembali lagi Rommy di hinggapi perasaaan yang sangat tidak nyaman. Cowok itu memutuskan untuk berkeliling saja, dan sebisa mungkin menghindari suara musik yang memekakkan itu. Dia lalu berjalan melewati teras, untuk menuju taman belakang rumah. Baru saja Rommy hendak memutari sebuah sudut, tiba-tiba matanya menangkap sesosok tubuh yang sedang asyik bergoyang mengikuti irama musik tekno. Bagaikan sebuah magnet, sosok itu langsung menarik perhatian Rommy. Sosok itu masih terus asyik bergoyang, seakan tak memperdulikan keadaan di sekelilingnya.
Seorang gadis. Cantik sekali. Berkulit putih bersih dengan rambut yang di biarkan terurai sebahu, dia kelihatan seperti seorang bidadari modern.
Merasa tengah di perhatikan, gadis itu menoleh ke arah Rommy, dan melemparkan senyum ke arah cowok itu. Manis sekali.
Dan untuk yang pertama kali semenjak dia tiba di tengah pesta ini, Rommy bersyukur bisa berada di tempat ini, bisa melihat gadis cantik itu, tepatnya.
- Hai...kok kamu dari tadi diam aja, nggak turun ke dancefloor kayak yang lain ?? – gadis itu tiba-tiba sudah berada di depan Rommy. Yang saking terpesonanya, dia tak menyadari bahwa gadis itu tengah berjalan menuju ke arah-nya.
- Ehm...e...aku nggak bisa dance kayak kamu, aku nggak biasa, maksudku..... – tergagap-gagap Rommy menjawab pertanyaan gadis itu.
- Namaku Nina, kamu siapa ? – dia memperkenalkan dirinya
- Aku Rommy, -
- Nggak suka pesta-pesta yang beginian, ya ? – tebak Nina bernada yakin
- He’eh, kok tahu ? -
- Soalnya kamu dari tadi aku liat bengong melulu, mondar-mandir aja kayak setrikaan, sementara kita-kita lagi asyik di dancefloor, - tutur Nina panjang lebar, membuat Rommy tak urung tersenyum juga mendengar celoteh gadis itu.
- Aku memang ke sini karena di ajak temen, lebih tepatnya di paksa sama temen aku. Dan, lagian aku pikir-pikir, nggak ada salahnya di coba, mungkin aja aku bisa suka, siapa yang tahu ?? -
- Dan ternyata kamu nggak suka ?? – tebak gadis itu lagi, Rommy hanya senyum-senyum.
- Kamu sendiri, suka dengan pesta-pesta seperti ini, Nina ? – Rommy balas bertanya
- Lumayan...buat ngilangin stress, aku lebih suka ke pesta kayak gini, -
- Emang nggak capek dance berjam-jam kayak gitu ? -
- Capek sih, tapi kalo udah biasa, nggak terasa capeknya – Nina menghapus keringat di dahinya.
- Eh, kamu udah punya pacar belom, Rom ?? – todong Nina. Di tanya seperti itu, Rommy langsung gelagapan.
- Emm....ehm....belom...emangnya kenapa ?? – biasanya kan cowok yang nanya kayak gitu, ini malah terbalik. Jelas aja Rommy langsung panik.
- Aku suka kamu, mau nggak kamu jadi pacar aku ?? – tembak Nina langsung. Muka Rommy langsung berubah merah seperti kepiting rebus.
- Kamu...bercanda-nya jangan gitu, dong Nin !! – tukas Rommy jengah.
- Aku serius nih, Rom. Aku mau tanya, kamu mau nggak jadi pacar aku ? tinggal jawab ya atau tidak, itu aja... – Nina menjawab pede.
- Kk...kka...kamu cantik, Nin. Tapi..... – Rommy tak sanggup menjawab. Nina mendekatkan mukanya ke arah muka cowok itu, yang seketika itu juga langsung merasa susah untuk bernapas.
- Nina !!!! lagi ngapain kamu di sini ?? kamu di cari Andro, tuh !! – entah darimana datangnya, tiga orang gadis berpakaian pesta sudah berada di dekat Rommy dan Nina
- Lagi cari labaan baru, Nin ?? – gadis yang satunya mulai menggoda Nina.
- Aku lapor Andro, nih..... – sambung yang satu lagi.
- Ahh.....ngapain si Andro cari aku ? kan kami udah putus.... – jawab Nina enteng
- Sejak kapan ? baru dua menit yang lalu, saat kamu lagi godain mahkluk tampan ini ??.... – gadis berbaju terusan mengerlingkan matanya pada Rommy, yang semakin mirip dengan kepiting rebus.
- Yeee.....kalian nggak ada kerjaan lain, selain ganggu kesenangan aku, ya ?? – Nina mendelik kesal. Sementara ketiga gadis temannya tertawa riuh.
- Nin...aku pergi ke dalam dulu, ya ? mau cari temen yg ajak aku kesini... – Rommy akhirnya bisa bersuara juga.
- Trus, yang tadi gimana, Rom ?? – tanya gadis itu. Cuek.
- Ah....bercandanya entar pas tanggal 1 april tahun depan aja, Nin... – Rommy langsung melambai pergi. Meninggalkan Nina yg terpaku mendengar jawaban cowok itu. Ini adalah yang pertama kalinya dia di tolak cowok.
Nina memang cantik, tapi dia adalah cewek pesta. Dan Rommy, mengerti bahwa dia tak akan pernah pacaran dengan type cewek semacam itu. Dia masih merinding, saat mengingat pertanyaan Nina tadi. Memang cewek punya hak untuk itu, tapi caranya kan nggak harus se-ekstrem Nina tadi. Bisa bikin lari cowok, tuh !!

-Rom, ada yang nanyain kamu, tuh !! – Rio menepuk pundaknya, mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju tempat kost yang tak jauh dari kampus.
- Siapa ?? – tanya Rommy acuh tak acuh
- Nina, dia telpon aku terus, nanyain kabar tentang kamu ! – Rommy masih diam, seperti tak ingin menanggapi percakapan tentang Nina.
- Dia itu banyak yang naksir, lho !! – sambung Rio lagi
- Aku nggak termasuk di dalamnya !! – cetus Rommy cepat. Dia berdusta
- Dia akan datang ke tempat kost kita hari ini, -
- Apaaa ???..... – Rio seperti tersengat lebah mendengar ucapan sahabatnya
- Tuh dia udah di depan rumah !! – tunjuk Rio kedepan
Nina memang sudah ada di sana, tengah berdiri resah di bawah panas sinar matahari siang. Tapi kali ini dia nampak beda. Tanpa dandanan heboh, dengan make-up mencolok mata. Gadis itu memakai setelan rok selutut, dengan kaos merah hati. Dia nampak lembut dan cantik.
- Hai..... – Nina menyapa duluan
- Udah lama menunggu, Nin ? – Rio yang bertanya duluan
- Nggak, - Nina menjawab tanpa memandang ke arah Rommy, yang sudah mulai kumat penyakit kikuk-nya.
- Masuk, yuk !! – ajak Rio. Mereka bertiga lalu beriringan masuk ke dalam rumah
- Rom, maafin aku sama temen-temen waktu pesta kemarin itu, ya ? – Suara Nina tak setegas saat dia meminta Rommy untuk jadi pacarnya waktu pesta malam minggu. Suaranya begitu memelas, hingga Rommy hampir-hampir tak percaya bahwa itu Nina yang sama dengan Nina yang dia kenal di pesta.
Nina lalu mulai bercerita, tentang kesendiriannya di rumah, orangtua-nya yang selalu sibuk dan tak pernah memberi perhatian padanya. Rommy terenyuh. Tanpa sadar, dia merengkuh gadis yang kini kelihatan lembut seperti anak domba itu ke pelukannya, saat Nina mulai terisak-isak.
- Ssssttt......Nina, aku sayang kamu, tau nggak ? aku mau banget jadi pacar kamu.... – hibur Rommy, berusaha menenangkan gadis itu
- Bener, Rom ? – Nina menengadah, ada airmata di kedua mata indahnya. Gadis itu tersenyum.
- Tapi, kamu harus stop ke pesta-pesta kayak gituan, maksudku, jangan sering-sering... -
- Untukmu, aku akan berhenti sama sekali ke pesta kayak gitu, - bisik Nina lembut. Rommy merasa sangat bahagia. Dia memang sudah jatuh cinta sama Nina, sejak pertama kali dia melihat gadis itu.

Malam minggu berikutnya

-Rom, nggak sama Nina ? – Rio tengah berkemas-kemas untuk kencan malam minggunya
- Nggak, Nina lagi ke Manado, Omanya di sana lagi sakit. Selasa dia balik lagi kesini – jawab Rommy tanpa mengalihkan pandangannya dari novel Sidney Sheldon yg tengah dia tekuni
- Ooooo.......aku cabut dulu, ya ? – Rio lalu melangkah keluar.

Di sebuah rumah, tak jauh dari tempat kost Rommy

Suara musik hingar-bingar memenuhi seisi ruangan. Sebagian tamu tengah bergerombol menikmati cemilan dan minuman, sebagian lagi tengah asyik bergoyang mengikuti suara musik di dancefloor.
- Shinta.....minggu depan party-nya di rumah kamu, kan ? –
- Kamu kan udah punya daftar pesta-pesta kita, Nina. Masak lupa ???? -

SEBUAH PERBEDAAN


Setiap Manusia dimuka bumi ini dilahirkan berbeda-beda, namun, janganlah PERBEDAAN itu dipakai sebagai alasan untuk MEMBEDA-BEDAKAN Manusianya...





SEBUAH PERBEDAAN

By : N.Sikome

Suara deras hujan bulan desember terdengar seperti sebuah nyanyian sendu, sedih dan kelabu. Sungguh sangat tak mengenakkan bagi orang-orang sendirian seperti Carla. Sudah satu jam lebih, dia terpaku di depan jendela kamarnya, menatap titik-titik hujan yang jatuh. Dia merasa dirinya seperti terasing di sebuah planet lain yang sama sekali tak di kenalnya. Saat pertama datang di kota ini, Carla merasa sangat kesepian karena dia tak kenal satu orang-pun di sini. Dan, hari-hari berikutnya pun dia terus merasa sendiri, merasa terus menjadi orang asing di kota yang sudah 5 tahun menjadi tempat tinggalnya. Carla tak mengerti mengapa dia masih merasa asing di situ, teman-teman sekantornya pun demikian. Ada Horlan cowok Batak yang baru sampai dua bulan yang lalu, tapi sudah bertingkah laku seperti orang Betawi asli. Hal itu tidak berlaku bagi Carla, dia merasa dia tercabik dari asal usulnya, merasa asing dan tersisih.
Hujan masih terus turun membasahi tanah kota Jakarta yang penat dan bising, Carla masih terus terpaku di depan jendela kamar kontrakan kecilnya, mencoba untuk menggali isi benaknya, mencari jawaban dari semua yang dia rasakan. Masa lalu, mungkin itu yang menjadi penyebabnya, pikiran gadis itu melanglang ke belakang………………..
Terlahir dari orangtua yang berasal dari benua yang berbeda, tak membuat Carla merasa beda dengan anak-anak lainnya, walau pada kenyataan, bentuk fisiknya sudah cukup untuk bisa membuat orang mengambil kesimpulan, bahwa dia sebenarnya berbeda. Kultur dan cara hidup yang sangat terbuka di kota tempat dia lahir tak membedakan warna kulit atau warna matanya membuat Carla merasa sama dengan orang lain di situ, bahkan teman-teman sepermainannya pun seperti tak melihat perbedaan itu, dia menganggap dirinya adalah bagian dari mereka, bagian dari kota itu, dia mencintai tanah, air, alam dan manusia yang bermukim di situ, tempat yang dulu dia anggap sebagai surga masa kecilnya.
Sayang sekali, kebahagiaan itu hanya berlangsung pada masa kecilnya. Semakin dia beranjak dewasa, semakin banyak orang melihat dirinya dengan pandangan yang berbeda-beda. Mulanya, dia sama sekali tak mengacuhkan semua itu, tapi saat usianya mulai beranjak remaja, pandangan-pandangan aneh yang di tujukan orang-orang terhadap dirinya mulai terasa menganggu. Carla sempat bertanya-tanya heran pada dirinya sendiri, mengapa orang lain memandangnya sedemikian rupa ? saat usianya menginjak 16 tahun, dia menyadari kenyataan bahwa dia berbeda, di hadapan cermin lemari bajunya. Saat itu, hal pertama yang di lihat Carla adalah realita bahwa dia tak punya mata seperti teman-teman sepermainannya semenjak kecil. Dia bermata biru langit. Lebih dalam lagi dia memperhatikan dirinya, Carla semakin menyadari, bahwa dia benar-benar berbeda. Kulitnya putih susu, tak sama seperti orang² di kampung yang rata-rata berkulit agak kuning - kecoklatan. Dulu waktu dia masih kecil, banyak orang suka menyebutnya dengan sebutan ’BULE’, kini dia mulai menyadari arti sebutan itu, dan dia merasa sangat terganggu. Kalau saja pandangan orang lain terhadap dirinya hanya sebatas rasa heran atau semacam itu, Carla tak akan merasa terganggu, tetapi yang menyakitkan adalah pandangan bercampur curiga terhadap dirinya. Bahkan teman-teman bermain Carla semenjak mereka masih kanak-kanakpun mulai menjauhi dirinya. Tragedi pertama berawal di pesta ulang tahun Nina, sahabat karib Carla. Saat itu adalah pertama kali bagi gadis itu menghadiri sebuah pesta khusus untuk anak-anak berusia remaja.
Carla merasa sangat bersemangat dengan pesta itu, dia tak sabar menanti hari ulang tahun Nina seperti sedang menanti hari ulang tahunnya sendiri. Saat hari itu tiba, dengan penuh rasa antusias Carla menyiapkan dirinya untuk menghadiri pesta sahabat karibnya itu. Gaun yang akan dia pakai di pesta itu sudah di persiapkan sejak sebulan yang lalu. Dengan bantuan Ibunya, Carla mendandani dirinya yang saat itu akan menginjak usia 17 tahun.
Pesta ulang tahun Nina berjalan dengan lancar dan sangat memuaskan. Musik yang di persiapkan Joe, kakak laki-laki Nina sesuai dengan selera semua orang yang hadir. Suasana riang gembira itu akan mungkin akan berlangsung lama bagi Carla kalau saja kejadian tak mengenakkan tidak datang menimpa dirinya. Berawal dari Carla yang ingin pergi ke kamar kecil. Tanpa dia sadari, ada sesosok tubuh yang mengikutinya secara sembunyi-sembunyi saat dia melangkah ke kamar kecil di rumah Nina yang sudah sangat di kenalnya. Carla baru saja memutar gagang untuk membuka pintu dan keluar dari WC, saat gagang pintu satunya di tahan oleh seseorang. Carla membuka mulutnya hendak berteriak, tapi lelaki yang sudah berdiri di hadapannya dengan sigap membekap mulut gadis itu. Bukan Carla namanya kalau dia tak melawan, dia lalu mencoba untuk melepakan diri dari laki-laki itu, tapi lelaki itu terlalu kuat bagi dia. Carla sudah hampir putus asa karena kelelahan dalam upayanya mencoba untuk memberontak, tiba-tiba pintu keluar kamar kecil di dorong secara paksa dari luar. Ternyata Anggie, kakak Nina sudah berdiri di sana. Laki-laki yang tangannya sedang merengkuh Carla dengan kuat tiba² mengendurkan pelukannya. Carla masih bingung dan tak menyadari keadaaan yang sebenarnya, menghambur melepaskan diri dari laki-laki itu, berlari ke arah kakak Nina sambil tersedu. Tanpa di sangka, begitu dia tiba di hadapan kakak Nina, sebuah tamparan keras melayang ke pipi kanannya. Anggie menampar Carla.
‘’ Kak Anggie, kenapa kakak menamparku ? laki-laki itu hendak berniat jahat
padaku, Kak !! ‘’ Carla berucap heran di sela sedu-sedannya
‘’ Dasar anak pelacur ! Ibu dan anak sama saja, pelacur !! ‘’ Anggie berkata ketus penuh kemarahan. Carla terpaku mendengar kata-kata yang di lontarkan oleh kakak sahabat karibnya. Dia benar-benar tak mengerti, dengan pikiran yang di liputi oleh berbagai tanda tanya, dia menatap laki-laki yang ada di belakangnya. Terlihat laki-laki itu menatap Anggie dengan mata memelas.
‘’ Maafkan aku, Ang. Dia yang lebih dulu…….’’ Laki-laki itu berucap penuh kemunafikan, seketika Carla menjadi berang. Tapi Anggie sudah berbicara lebih dulu, sebelum Carla sempat mengucapkan sepatah katapun.
’’ Aku sudah tau itu, bangsat ! sekarang keluar dari rumahku, Leon. Dan jangan pernah datang lagi ke sini !! ’’

Peristiwa selanjutnya sangat menyakitkan Carla. Kepada seisi keluarganya, tak terkecuali Nina, sahabat karib Carla, Anggie bercerita bahwa Carla kedapatan sedang mencoba untuk merayu Leon pacar-nya di WC rumah mereka. Sejak malam itu, Nina tak mau lagi berbicara pada Carla. Dan, yang lebih menyakitkan, cerita itu tak hanya sampai pada telinga seisi keluarga Nina, tapi tersebar ke seluruh pelosok kampung mereka. Dalam jangka waktu seminggu, hampir semua orang yang berpapasan dengan Carla menatapinya seperti dia seorang penderita kusta saja. Carla sedih sekali hingga akhirnya dia menjadi anak pemurung dan suka mengurung dirinya di dalam kamar kalau tidak sedang ke sekolah.
Puncak kesedihan Carla adalah saat Nina menyebarkan berita itu di sekolah. Teman² sekolah bahkan guru² mereka memandang Carla seperti sampah. Karena tak tahan dengan semua itu, saat Carla menyelesaikan SMA-nya, dia meminta Ibunya untuk mengijinkan dia tinggal di Jakarta, di rumah kakak tertua Ibunya.
Pelarian itu ternyata sia-sia, tetap saja perbedaan fisik antara Carla dengan orang-orang di sekelilingnya membuat gadis itu terganggu. Pernah dia mencoba untuk memanfaatkan perbedaan itu dengan bekerja sambilan menjadi model untuk iklan pakaian, tetapi buntutnya tetap sama saja, ujung-ujungnya selalu saja ada seseorang yang menawarkan bantuan atau kebaikan dengan meminta imbalan mengerikan. Carla bertahan demi prinsip dan harga dirinya, mungkin saja dia berbeda secara fisik, tapi kultur dan adat itiadat bangsa ini melekat erat di dalam sanubari dan pikirannya. Mengapa orang² hanya mau melihat kulit luar saja ?, selalu Carla bertanya dengan hati perih setiap kali ada yang memandangnya baik dengan tatapan aneh, iri, kagum ataupun curiga.
Dengan berlalunya waktu, Carla berpikir bahwa pikiran masyarakat sekitar juga akan berubah. Tapi ternyata semuanya hanya menjadi impian yang tak terwujudkan, semuanya tetap sama, tak ada satupun yang berubah. Yang berubah paling² hanya tawaran untuk bermain film buka-bukaan atau tawaran iklan yang semakin menderas. Carla kecewa. Bukan itu yang dia inginkan, cita²nya semenjak kecil adalah menjadi seorang pengacara, tetapi kandas saat hari pertama dia hendak mendaftarkan diri di fakultas hukum, seseorang yang mengaku sebagai asisten tetek bengek meminta Carla untuk menemaninya satu-dua malam kalau dia ingin masuk tanpa banyak halangan ke fakultas hukum universitas ternama itu. Sebenarnya bisa saja dia mencari universitas lain, tapi dia sudah terlalu putus asa. Baginya semuanya sama saja, kemanapun dia pergi, orang tetap akan memandangnya sebagai seorang mahkluk aneh yang berbeda. Dia benar-benar bosan. Bosan dengan perbedaan yang dia miliki itu.

Kebosanan itu mencapai batas juga akhirnya. Carla bosan mempertahankan prinsip dan harga diri yang selama ini dia jaga, dia bosan menunggu pengertian dari orang² di sekeliling bahwa dia sama seperti mereka, hanya kulit luar-nya saja yang berbeda. Dia akhirnya menyerah pada kenyataan. Tawaran pertama yang dia terima adalah ajakan makan malam seorang produser film yang bertubuh tambun dan mempunyai sembilan anak. Dia menangis, untuk yang terakhir kalinya.
Tapi semua itu berlangsung sudah begitu lama, dia tak tahu lagi entah sudah berapa lama. Usianya kini beranjak 29 tahun, semuanya itu berawal saat dia baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke 22.
Carla masih terus menatap ke luar jendela kamar kontrakan-nya, hujan masih saja terus jatuh ke permukaan tanah. Dua bulan yang lalu, surat lamaran Carla untuk bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahan garmen di balas. Dia di terima untuk bekerja di sana. Ada sedikit rasa bahagia yang meliputi hatinya saat dia tahu, bahwa ternyata tak semua pintu tertutup untuk orang-orang seperti dirinya. Memang masih ada segelintir orang-orang di perusahan itu yang mencoba untuk menggoda dia, tapi Carla sudah memutuskan untuk menutup masa lalunya. Dia masih teringat dengan jelas, hari pertama saat dia memasuki kantor kerjanya. Ada begitu banyak pasang mata yang memandanginya dengan berbagai macam reaksi. Seperti biasa, laki-laki dengan pandangan mata kagum atau nafsu, dan perempuan dengan pandangan mata iri. Tapi Carla tak peduli, dia sudah terlalu terbiasa dengan semua itu, dia tak mengacuhkannya.
Hujan yang jatuh mulai berkurang, kini yang tertinggal hanyalah rintik-rintik kecil yang memaksakan diri untuk jatuh juga, membasahi tanah Jakarta yang kerontang. Carla masih terpaku di depan jendela itu. Mungkin saja semua akan berbeda jika aku tak berbeda dari mereka-mereka itu, mungkin saja semuanya tak akan jadi seperti ini jika Ibuku tak menikahi laki-laki asing yang aku sendiri tak sempat mengenalnya karena dia keburu meninggal saat aku masih bayi, mungkin saja semuanya akan berakhir dengan kebahagiaan jika……..Carla masih mengeluh dan berandai-andai dalam hatinya.
Semuanya mungkin akan lebih baik jika aku tak pernah lahir ke dunia ini, sesal Carla dalam hatinya. Tapi dia mencoba tersenyum juga walau pahit, toh waktunya untuk hidup tak lama lagi, dua bulan yang lalu, dia menerima hasil laboratorium, bahwa dia positif mengidap AIDS, bukan hanya virus HIV, tetapi AIDS.
Satu yang tak pernah dia mengerti, mengapa orang² di kampungnya menyebut Ibu Carla sebagai pelacur, karena dia menikah dengan orang asing ?! irikah ? cemburukah ? setahu Carla, Ibunya tak pernah sedikitpun menyusahkan orang lain. Bahkan hingga akhir hidupnya, Ibu Carla memilih untuk sendiri ketimbang menerima lamaran² laki-laki yang suka padanya. Saat Carla bertanya mengapa, dia hanya menjawab setengah bercanda, bahwa semua cintanya sudah di bawa mati ayah Carla. Gadis itu hanya tersenyum saat mendengar jawaban Ibunya, tapi dia tahu kalau semua itu benar adanya. Dia merasa berdosa terhadap Ibunya, tapi hukuman untuk dia sudah tiba, dia hanya harus menunggu.
Dia kini hanya hidup untuk menghitung waktu yang tersisa, perbedaan itu telah menghancurkan dirinya.

SELAMAT TINGGAL KENANGAN

Cerpen ini, kudedikasi-kan untuk seluruh Ibu, Mama, Mami, Emak, di Indonesia..
Masih banyak ketidak adilan seperti ini yang terjadi, namun semoga, kita semua akan peduli.....




SELAMAT TINGGAL KENANGAN

Oleh : N.Sikome


Suasana hiruk pikuk antara suara orang yang sedang bercakap-cakap dan bunyi musik mengisi ruangan aula sebesar setengah ukuran lapangan bolakaki yang di hiasi dengan bermacam ragam kertas hias berwarna-warni. Arini tersenyum bahagia melihat semua itu, semuanya adalah hasil kerja Alan anak sulungnya, dan juga Robert sang suami tercinta. Arini tak tahu kalau mereka tengah menyiapkan pesta surprise ini, mulanya dia hanya di titipi pesan untuk menyusul Alan ke aula Ignatius karena ada acara kampus mereka di sana, taunya baru dia sampai, semua sahabat-sahabatnya, sahabat-sahabat Robert, dan juga teman-teman anak²nya tengah menunggu dia di dalam aula, untuk merayakan pesta ulang tahunnya sekaligus syukuran karena Arini berhasil meraih titel Sarjana Hukumnya meskipun agak sedikit terlambat. Dalam hati Arini mensyukuri semua berkat yang telah Tuhan berikan kepadanya. Entah mengapa, tiba-tiba hati Arini merasa tak enak, sepertinya ada seseorang yang tengah memperhatikannya. Sejenak dia melemparkan pandangannya ke sekeliling ruangan aula, dan feeling nya ternyata benar. Di sudut dekat pintu, ada sepasang mata milik seorang laki-laki yang memandanginya cermat. Arini tertegun, pandangan laki-laki itu langsung membawanya ke masa dua puluh tahun yang silam….

Arini terjerembab ke lantai dapur, tubuhnya bengkak dan mukanya penuh dengan bekas-bekas pukulan. Dia menangis, sudah seribu kali dia meminta maaf pada Patrick, tetapi laki-laki itu masih saja terus memukulinya tanpa ampun. Tendangan bertubi-tubi mendarat di sekujur badan perempuan itu. Arini hanya merintih menahan sakit, dia tak ingin mengeluarkan suara lebih, bukan karena takut kedengaran tetangganya, tapi dia tak ingin Alan anak mereka terbangun dan melihat semua adegan itu. Semuanya berawal saat Patrick pulang dari kantor, laki-laki itu meminta Arini untuk membuatkan secangkir kopi. Tanpa sengaja, kopi yang hendak di berikan Arini kepada suaminya tertumpah dan mengenai ujung celana panjang Patrick. Laki-laki itu kemudian menjadi histeris dan mulai memukuli istrinya.
Saat menikah, Arini sama sekali tak tahu tabiat buruk calon suaminya. Bahkan saat mereka pacaran, tak pernah terlihat sedikitpun tanda-tanda bahwa Patrick itu adalah type seorang laki-laki yang ringan tangan dan suka memukul. Semuanya mulai jelas terlihat saat mereka baru menikah. Sedikit saja salah yang di buat Arini, itu sudah cukup untuk menjadi alasan bagi Patrick untuk memukuli istrinya. Arini tak mengeluh, dia bahkan tak pernah mengatakan hal itu kepada keluarganya. Dia tak ingin membuat mereka cemas. Dia berpikir, mungkin kalau dia hanya diam dan tak membalas semua kata-kata kasar dan perlakuan suaminya, satu saat laki-laki itu akan menyadari tingkah lakunya yang tak baik itu.
Tapi semakin hari berlalu, Arini semakin tak yakin dengan apa yang dia pikirkan, karena hingga tahun kelima pernikahan mereka, Patrick masih saja sama. Pernah satu kali Arini mencoba untuk bicara baik-baik dan menganjurkan suaminya agar pergi berkonsultasi dengan seorang psikolog, yang dia terima adalah luka-luka memar yang memanjang di sepanjang lengan dan pahanya. Arini sudah mulai putus asa. Dia sempat bertanya-tanya pada Tuhan, dosa apa yang dia perbuat hingga dia harus menerima hukuman semacam ini. Yang paling menyiksa dia, adalah bahwa ada kali dia harus berbohong kepada anaknya seperti pagi tadi.
Alan baru saja bangun, seperti biasanya anak itu mencari Arini untuk mengucapkan selamat pagi. Sambil berlari kecil, anak yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke empat berlari ke dapur untuk menemui ibunya. Di pintu dapur, Alan tertegun mendapati ibunya tengah berdiri di depan kompor dengan mata sembab berwarna kebiruan.
‘’ Selamat pagi, Mama. Mata Mama kenapa ? ‘’ tanya anak itu polos. Arini bingung harus menjawab apa, anak itu masih terlalu kecil untuk mengerti banyak hal. Dia lalu memilih untuk berbohong saja.
‘’ Mama tadi jatuh dari tangga, Alan. Tapi Mama nggak apa-apa, kok. ‘’ jawabnya berusaha untuk membuat Alan jadi tak kuatir. Tapi jawaban yang dia berikan dengan maksud untuk tidak menyakiti dan membuat anaknya cemas di balas dengan jawaban lain yang menyakitkan hati perempuan itu.
‘’ Kok Mama bohong, sih ? Alan tahu kalau tadi malam Mama di pukulin sama Papa !! Alan sendiri lihat.. ‘’ balas anak itu dengan nada meninggi. Arini terkejut, dia menyalahkan dirinya sendiri yang tak hati-hati. Alan belum seharusnya melihat hal-hal semacam itu.
“ Kok Papa jahat begitu dengan Mama ? Alan benci Papa !! sudah lama Alan tahu kalau Papa selalu tak baik dengan Mama. “ lanjut anak itu. Arini menjadi lebih terkejut, Alan tak boleh membenci ayahnya sendiri. Dia lalu mencoba untuk memberikan penjelasan yang bisa di terima oleh anak seumur Alan.
‘’ Alan, sebenarnya Papa-mu tak ingin bersikap jahat terhadap Mama, Papa-mu itu lagi sakit, makanya dia adakala jadi seperti itu ! ‘’
“ Biasanya orang kalo sakit diam di tempat tidur, di beri obat sama dokter. Kok Papa kalau sakit jadi suka mukulin Mama ? itu sih namanya jahat !! “ Arini terdiam mendengar ucapan anaknya itu, dia tak tahu harus berkata apa lagi. Terlalu sulit untuk menjelaskan sesuatu terhadap anak sekecil Alan.
“ Hush !! kamu tak boleh bicara seperti itu tentang Papa, Alan. Itu sama sekali tidak benar. Sekarang kamu makan pagi dan nanti temenin Mama memetik bunga di taman, ya ?! “ dengan lembut perempuan itu berusaha untuk mengalihkan pembicaraan yang mulai berbahaya itu. Saat anaknya tengah menghadapi sarapan paginya, Arini mengamati putranya itu dengan seribu pertanyaan di benak. Akankah dia sanggup bertahan dengan hidup ini ? sampai kapan ? bagaimana nanti nasib anaknya jika dia bertahan tinggal terus dengan suaminya yang bertemperamen kasar itu ? dst..dst..dst-nya…
Akhirnya, kesabaran Arini mencapai batasnya pada tahun ke enam perkawinan mereka. Sikap suaminya yang kasar dan ringan tangan itu masih bisa di tolerir oleh Arini, jika saja sikap kasarnya itu hanya dia tujukan terhadap Arini. Tapi kali ini semuanya benar-benar sudah melampaui batas. Arini tak bisa melupakan hari itu. Suaminya baru saja pulang kantor. Arini sudah tahu bahwa ada yang tidak beres, mungkin saja ada masalah di kantor Patrick yang membuat laki-laki itu kelihatan uring-uringan. Setelah dia selesai memberi makan malam pada Alan, Arini segera membawa anak itu ke dalam kamarnya, lalu keluar untuk menyiapkan makan malam dia dan suaminya. Dia baru saja hendak mengeluarkan piring dari dalam lemari saat terdengar suara Patrick memanggilnya.
‘’ Kamu memanggil saya, Patrick ? ‘’ tanya Arini pelan. Terlihat betul suaminya mulai gusar. Dia mencoba untuk bersikap biasa.
“ Siapa yang merubah letak meja komputerku ? “ nada suara laki-laki itu mulai meninggi. Arini merasa jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya.
“ Itu si Ani yang mindah, tapi saya yang nyuruh biar ruangan jadi lebih luas. “ Arini memang menyuruh pembantu rumah tangga mereka yang hanya datang siang untuk memindah meja itu.
“ Saya tak pernah meminta kamu untuk melakukan hal itu kan, Arini ? kamu memang selalu membuatku marah !! “ kali ini suara Patrick sudah berupa teriakan. Selanjutnya sudah bisa di tebak, laki-laki itu mulai memukuli Arini. Seperti kesetanan, Patrick menginjak-injak tubuh istrinya itu. Tak puas hanya sampai di situ, dia lalu meraih lampu meja yang terletak dekatnya lalu di hantamkannya ke tubuh Arini. Tadinya perempuan itu mengerang-erang minta ampun seperti biasanya, tapi kali ini dia merasa terlalu sakit untuk bisa mengeluarkan suaranya. Hal terakhir yang di lihat oleh Arini adalah wajah polos Alan yang ketakutan di depan pintu kamar mereka.
Arini terbangun oleh bau tajam obat-obatan. Perlahan dia membuka matanya, di sekeliling perempuan itu hanya ada warna putih. Samar-samar sebuah wajah mendekati mukanya, ternyata itu Ibu Arini.
‘’ Ibu…kok ada di sini ? ’’ suara Arini terdengar pelan hampir tak terdengar .
‘’ Sssst… jangan bicara dulu, kamu masih lemah, Ning. ‘’ wanita tua itu menaruh telunjuknya di bibir.
‘’ Siapa yang kasih tahu sama Ibu ? ’’ Arini bersikeras untuk bicara juga walau sudah di larang oleh Ibunya.
“ Si Ani yang telpon, Ibu langsung terbang kemari. Kamu sudah empat hari terbaring di rumah sakit ini, Ning. Ibu jadi cemas sekali, takut kamu nggak akan bangun-bangun lagi. “ pelan Ibunya menjawab.
Arini tersentak, segawat itukah keadaannya ? apa yang di pakai suaminya untuk memukulinya kali ini hingga dia 4 hari tak sadarkan diri ? tiba-tiba Arini teringat pada Alan.
“ Alan ada di mana, Bu ? “ tanya-nya sedikit cemas. Terlihat wajah ibunya mengkerut, Arini jadi lebih cemas.
“ Bu ?!!……”
“ Ning, Alan ada di kamar sebelah, dia sedang dalam perawatan dokter. “ jawab ibunya perlahan, tapi cukup untuk membuat Arini tersentak kaget. Dia langsung ingin bangun, tapi dia tak punya tenaga cukup untuk itu.
“ Memangnya kenapa dengan Alan, Bu ? ada apa dengan dia ?!! “ Arini bertanya cemas, ada airmata yang mulai berlinang di kedua belah pipinya.
“ Kata si Ani, Alan mencoba untuk menghalangi ayahnya yang tengah memukuli kamu dengan lampu, dan laki² brengsek itu malah memukuli anaknya sendiri. Alan terluka di bagian kepala. Sampai sekarang dia masih berada dalam perawatan intensif. Kamu nggak usah kuatir, Alan pasti akan sembuh. “ Belum pernah Arini merasakan perasaan benci terhadap suaminya seperti yang dia rasakan saat ini. Kalau dia bisa, dia pasti sudah bangkit dan pergi mencari sepucuk revolver untuk membunuh Patrick. Kalau selama ini kelakuan kasarnya terhadap Arini masih bisa di tolerir, tapi apa yang dia lakukan terhadap anak mereka benar-benar tak termaafkan. Arini mulai menangis tersedu-sedu di pelukan ibunya.

Dua bulan Arini dan Alan harus menjalani perawatan di rumah sakit. Menurut Ibunya, setelah apa yang Patrick lakukan terhadap istri dan anaknya, laki-laki itu di tangkap oleh polisi, dan hingga saat ini dia masih berada di dalam tahanan, menunggu untuk di proses. Tiga bulan setelah itu, Arini sudah pulih, anaknya juga. Dia lalu mengajukan permohonan cerai yang tak lama kemudian langsung di kabulkan oleh hakim. Suaminya memohon maaf berulang-ulang sampai berlutut di kaki Arini saat mereka menjalani pengadilan kasus suaminya di mana Arini menjadi saksi. Tapi bagi perempuan itu semuanya sudah terlambat. Patrick memohon ampun dan berjanji akan melakukan semua yang Arini sarankan, asalkan perempuan itu membatalkan niatnya untuk bercerai dari Patrick. Namun Arini tak bergeming, hatinya sangat sakit atas apa yang Patrick lakukan terhadap anak mereka.
Perlakuan Patrick terhadapnya selama 6 tahun membuat Arini kehilangan
kepercayaan kepada kaum laki-laki. Rasanya susah untuk bisa percaya dan menaruh harapan setelah semua hal buruk yang dia alami. Hal itu berlangsung selama 3 tahun sampai Robert muncul dalam kehidupannya. Dia adalah dokter yang merawat Alan. Selama hampir 3 tahun laki² itu mencoba untuk menumbuhkan kembali rasa percaya Arini terhadap hidup berumah tangga, dan juga terhadap kaum pria, dia akhirnya berhasil. Mereka menikah 3 tahun setelah peristiwa itu, setelah 3 tahun saling mengenal dan menyelami pribadi masing-masing.
Sekarang, melihat Patrick kembali setelah dua puluh tahun, membuatnya bertanya-tanya, sudah berubahkah laki-laki itu ? ataukah dia masih berjiwa binatang seperti dulu ?! mengapa dia ada di sini ?! mungkinkah Alan yang mengundangnya datang ?! Arini tak tahu.
‘’ Arin, kuenya sudah siap untuk di nyalakan lilinnya, sayang…’’ terdengar suara lembut Robert membangunkan Arini dari lamunannya. Perempuan itu berbalik dan dia menemui tatapan penuh kasih milik suaminya, tatapan yang masih sama seperti hari pertama mereka menikah dulu. Sekali lagi dia mengucap syukur dalam hatinya. Arini melemparkan pandangannya ke sudut tempat Patrick berdiri tadi, laki-laki itu sudah tak ada lagi di situ, dia sudah pergi. Arini menghela napas panjang, dia tahu bahwa masa lalunya sudah lama pergi ke belakang, dia tak akan mengingatnya lagi. Perempuan itu lalu menegakkan kepalanya, berjalan anggun ke tengah² semua undangan untuk menyalakan lilin di atas kue ulang tahun. Semua mata yang ada di dalam ruangan itu memandangnya, dengan di bantu oleh Robert, dia lalu menyalakan lilin² itu, terlihat kilatan blitz kamera di tangan Indri, putrinya buah pernikahannya dengan Robert. Arini menghirup udara panjang, lalu meniup semua lilin itu hingga padam, meninggalkan asap putih yang menghilang dengan cepat terbawa angin, bersama dengan kenangan² di masa lalunya.

( A woman, she can be your Mother, your wife, your daughter, and your sister, so... respect them !! )
28 Mei 2011 | By: nsikome

KASIH IBU..

This is a story about seorang Ibu yg harus terpisah dari anak-anaknya, karena berbeda kewarga negaraan, dimana di Indonesia, masih sangat sulit bagi anak-anak yang lahir dari orang tua beda nationality untuk mendapatkan hak mereka sebagai warga negara Indonesia juga. Jika bisa, harus melewati lika-liku birokrasi yg menjijikkan..Satu lagi, potret suram keadilan negara ini...





KASIH IBU


Oleh : N.SIKOME


‘Kasih yang tak bersyarat, hanyalah bisa didapat dari seorang Ibu, kepada anak-anaknya..’ . Ungkapan ini memicu kembali kenangan-kenangan masa laluku, yang bisa dibilang adalah merupakan kebalikan dari ungkapan tadi. Aku sedih, geram, dan merasa tak berdaya dengan segala yang terjadi pada diriku. Seandainya saja aku menghadapi segala masalahku dengan orang-orang yang menyayangiku, dan selalu mendukungku dalam setiap keadaan dan kondisi apapun itu, mungkin aku bisa lebih kuat dari hari ini. Namun, Ibuku dan juga keluargaku tak pernah mendukungku, yang mereka tahu hanyalah bagaimana cara untuk memojokkan aku, atau meminta uang dariku. Kasih Ibuku, selalu ada syaratnya.
Hari ini, aku harus menelpon pengacaraku. Proses perceraianku dengan Henry yang sudah berjalan hampir 6 bulan masih menemui jalan buntu. Mungkinkah ada orang yang bisa mengerti perasaan seorang wanita yang terluka seperti aku?. Semenjak kelahiran anak kedua kami, aku mendapati Henry berselingkuh. Mulanya, aku tak pernah curiga dengan semua itu. Pekerjaan Henry yang mengharuskan dia sering bepergian ke luar negeri selama seminggu dua minggu tak membuat aku kuatir. Hanya satu hal yang kupegang dan selalu kutanamkan dalam hatiku, bahwa Henry mencintaiku, anak-anak, dan takkan melakukan hal-hal yang bisa merusak kehidupan keluarga kami. Aku sangat mempercayainya. Sebenarnya, pernikahan kami adalah suatu hal yang sulit bagiku. Perbedaan budaya dimana Henry berasal dari Amerika sedangkan aku adalah orang Indonesia yang memiliki adat-istiadat yang sangat berbeda dengannnya. Namun seperti kata-kata para penyair dalam puisi-puisi mereka tentang cinta, bahwa saat dua insan yang berbeda jenis saling mencintai, segala hal lain menjadi tak berarti. Aku sendiri, tak terlalu tahu dengan cinta itu. Apakah sebenarnya cinta itu ?. Ketika aku harus memilih, aku tak punya pilihan lain, yaitu aku harus menikah dengan Henry, untuk pergi dari rumah neraka yaitu rumah orang tuaku. Saat menikah, aku masih sempat bertanya-tanya pada hati kecilku, tentang pilihan yang sudah kubuat, dan tentang kehidupan dimasa datang yang akan kujalani bersama dengan laki-laki yang terpilih, dan aku sempat ragu. Namun, tak ada jalan untuk kembali. Aku akhirnya memantapkan tekadku, untuk menjalani sebuah kehidupan berumah tangga, yang tidak akan pernah sama dengan kehidupan keluargaku, kehidupan rumah tangga kedua orang tuaku.
Mulanya, aku berpikir bahwa pendapatku pada awal-awal pernikahan kami adalah sangat keliru. Henry adalah seorang laki-laki yang penuh tanggung jawab serta penuh kasih sayang. Apalagi ketika anak pertama kami lahir, segalanya seperti diberkati. Aku sendiri, sering menangis bahagia, meskipun dalam hati aku masih belum yakin, bahwa Henry adalah cinta-ku. Bagiku, dia adalah sesosok laki-laki yang sangat kuhormati, dan dia memang pantas untuk mendapatkan semua kehormatan itu.
“ Bu...ada telpon, dari Amerika “ suara pembantuku membuayarkan lamunanku. Segera ku ambil gagang telpon wireless yang dia bawa ke teras.
“ Hallo... “ salamku tak bersemangat, sebab kutahu pasti itu telpon dari Henry
“ Hallo Mom....apa kabar ? sedang apa Mom sekarang...? “ oh my God, itu suara Brad, anak tertuaku. Tak terasa airmata langsung melelh dikedua pipiku. Betapa aku sangat merindukan mereka bertiga.
“ Hallo sayang... Mom baik-baik,..thank’s. Mom pikir, kamu sudah lupa berbicara dalam bahasa Indonesia, gimana kabar Ryan dan Noah, sweetheart ? “ entah mengapa aku jadi sulit untuk mengendalikan perasaanku. Airmata terus mengalir deras dari mataku. Untung saja mereka berada ribuan kilometer dari rumah, dan tak bisa melihatku menangis seperti ini. Anak-anak itu tak bisa melihatku menangis, mereka pasti akan langsung mencecarku dengann seribu pertanyaan.
“ Mereka baik-baik juga,..kapan Mom akan datang untuk menjemput kita bertiga ? aku sudah rindu sama Mom, nih... “ keluh Brad. Aku tersenyum mendengar celoteh anak itu. Dia memang agak manja terhadapku, soalnya Brad sering sakit-sakitan. Proses saat kelahirannya yang sulit membuat anak itu sering mendapat gangguan kesehatan.
“ Mom juga rindu sekali sama kamu, juga adik-adikmu, gimana kabar sekolahmu ? “ Brad lalu mulai bercerita seperti biasanya saat dia menelponku, tentang sekolahnya, tentang sahabatnya yang bernama Alex, atau gadis kecil bernama Michelle yang selalu merecokinya di kelas. Semuanya membuat aku tertawa, gembira, dan pada akhirnya ketika dia menutup telpon, mataku sudah sembam dan bengkak karena terlalu banyak mengeluarkan airmata. Aku sedih, karena aku akan kehilangan mereka, kehilangan canda, tawa, kenakalan serta kegembiraan yang selalu kunikmati bersama mereka, sejak mereka kecil sampai hampir setahun yang lalu, saat ayah mereka membawa ketiganya pergi bersama dengan dia ke Amerika.
Cerita berlanjut, aku sempat terpukul dan kecewa sekali saat aku mengetahui perselingkuhan Henry. Saat itu, anak keduaku, Ryan, baru saja lahir. Kira-kira tiga minggu sesudah kelahirannya, aku menerima sebuah telpon.
“ Hello...?! “ kuucap salam seperti biasanya orang yang menerima telpon. Sesaat hanya ada kesunyian, lalu suara seorang perempuan yang berucap terburu-buru,
“ Maaf ya... saya salah sambung... “ nada suaranya begitu tidak meyakinkan, membuatku merasa aneh.
“ Kalau anda ingin bicara dengan Mr.Smith, ini memang benar rumahnya,.. “ tukasku lagi, hanya secara spontan, tanpa ada maksud apa-apa.
“ Oh ya...kalau Mr.Smith ada, please.. “ jawabnya lagi. Aku seketika tersadar. Bahwa ada sesuatu yang salah pada suamiku. Ketika aku memanggil Henry dan memberitahu dia bahwa ada seorang perempuan yang menelponnya, cepat-cepat dia mengambil gagang telpon, menempelkan ketelinganya, dan buru-buru menghilang kedalam ruangan kerjanya, dan baru kembali setengah jam kemudian.
“ Itu klien yang sedang bernegoisiasi harga denganku, “ jelasnya ketika keluar dari ruang kerjanya. Aku tak pernah bertanya, ataupuin meminta penjelasan apa-apa. Namun, insting ku sebagai seorang perempuan mengatakan bahwa ada yang tak beres pada suamiku, aku hanya malu untuk jujur, bahwa saat itu aku sudah tahu seketika, kalau Henry memiliki kekasih.
Hari demi hari berlalu, dan aku semakin tersiksa. Aku tahu bahwa Henry memiliki kekasih, namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Ditambah lagi penderitaan mentalku akibat dari kelakuan Ibu mertuaku, aku sering berpikir untuk bunuh diri. Namun, aku masih kuat. Nantinya aku baru menyadari, bahwa ternyata kekuatanku yang paling besar datang dari anak-anakku. Merekalah yang membuat aku kuat dan bisa bertahan dari semua kesengsaraan itu. Ibu Henry sendiri adalah seorang wanita berkulit putih yang sangat bangga akan warna kulitnya itu. Semua yang dia ucapkan, dan kelakuannya menunjukkan bahwa dia memandang rendah terhadap orang-orang berkulit kuning seperti aku, seakan-akan orang seperti aku hanyalah seekor lalat menjijikkan yang hinggap diujung sepatunya. Meskipun sulit, aku juga berhasil menamatkan kuliahku dengan hasil yang memuaskan. Kuliahku di Indonesia memang terputus karena aku harus segera berangkat ke Amerika. Namun kulanjutkan studiku disana, karena aku tak ingin menyia-nyiakan apa yang sudah kumulai terutama dengan pendidikanku. Aku sendiri adalah seorang perempuan yang selalu mementingkan pendidikan. Bagiku, laki-laki adalah tulang punggung keluarga, dan adalah orang yang harus menafkahi keluarganya, namun perempuan tidak hanya harus berpangku tangan, sebab jika terjadi sesuatu dan lain hal pada si tulang punggung keluarga, otomatis si perempuanlah yang harus mengambil alih. Dan bila si perempuan tidak memiliki bekal seperti pendidikan formal yang memadai, apalah jadinya ?. Aku bersyukur bisa menyelesaikan kuliahku, karena aku baru menyadari manfaatnya sekarang.
Sekitar empat tahun yang lalu, kami masih tinggal di Amerika. Tiba-tiba, oleh perusahaannya Henry ditugaskan ke Mexico, kesuatu daerah pegunungan disana, yang sedang membangun bendungan air untuk pembangkit tenaga listrik mereka yang sangat besar. Sebelumnya Henry memang sudah beberapa kali kesana saat sedang melakukan tender dengan pemerintah negara tersebut. Sayang sekali, karena kebijakan perusahan yang menilai bahwa situasi daerah tempat Henry bertugas tidak aman, maka keluarga tidak bisa mengikuti para pekerja disana. Akhirnya, kami berembuk dan memutuskan bahwa aku dan anak-anak pulang ke Indonesia, dan Henry setiap bulan menyusul kami ke Indonesia dan cuti selama 2 minggu, sebab pekerjaan di sana baru akan selesai dalam jangka waktu 2 tahun. Aku sendiri, sudah hampir tak kuat menanggung beban itu sendirian, Ryan sudah berusia 5 tahun, dan selama itu aku menderita dengan kebohongan demi kebohongan yang Henry sampaikan padaku.
Kira-kira 5 bulan yang lalu, tanpa sengaja aku membuka laptop milik Henry. Saat itu aku hendak meng-copy daftar pendapatan kami tahun ini untuk pajak. Namun aku jatuh pada sebuah file yang dinamakan seperti nama perempuan. Betapa aku yang sudah hancur menjadi lebih remuk saat melihat isi file tersebut. File itu berisi foto-foto mesra Henry dengan perempuan yang ternyata bernama Hannah, dan yang lebih memilukan hatiku, ada banyak foto-foto intim antara mereka berdua, yang hanya bisa didapat di situs-situs pornografi di Internet.
Bagai dihantam palu, aku merasa sangat sakit. Namun seluruh akal sehatku tidak mati. Cepat ku-copy foto-foto jorok dan juga beberapa email cinta mereka berdua kedalam flash disk ku, lalu segera mematikan laptop Henry, tepat saat dia sudah selesai mandi.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaanku saat melihat laki-laki itu berjalan masuk kedalam kamar. Anehnya, tak ada perasaan marah, yang ada hanya rasa muak dan ingin muntah ketika melihat Henry masuk. Sejam berikutnya, aku langsung menghubungi pengacara, dan seminggu kemudian berkas-berkas untuk perceraian kami masuk ke pengadilan. Karena kami menikah di Amerika, maka proses perceraian kami dipindahkan kesana. Saat itu aku masih syok, dan tak bisa berpikir dengan cermat. Bahkan, saat dia mengajak anak-anak untuk pergi bersamanya ke Amerika, aku langsung mengijinkan. Ternyata dia mempunyai rencana lain, dia ingin mengambil anak-anak dariku.
Aku sempat mengumpat-umpat dan memaki hukum dinegeri ini. Mengapa anak-anakku yang harus jadi korban ? aku bisa memenangkan hak perwalian anak-anakku, dan aku ingin agar anak-anakku dibesarkan olehku, meski aku harus mengais dari tempat sampah sekalipun. Namun hukum di negeri ini tak mengijinkan. Anak-anakku ikut warga negara ayah mereka, dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Hanya untuk mengurus visa setiap bulan saja mahalnya minta ampun, belum lagi tikus-tikus di kantor Imigrasi yang selalu meminta jatah mereka, seakan-akan mereka adalah preman-preman pasar. Namun aku tahu, pasti aku akan mandapatkan jalan keluar.
“ Ma, kapan kita ketemu ? “ suara Ryan ditelpon begitu menggemaskan. Aku rindu sekali pada mata coklat mudanya, serta kenakalan yang melebihi kenakalan kakak dan adiknya. Dia memang tak pernah memanggilku ‘Mom’
“ Mama belum tahu sayang, tapi mama yakin kalau kita bakal ketemu lagi.. “ hiburku, entah pada siapa. Pada Ryan, atau aku ?
“ Ryan sudah rindu sama Mama, mau jalan-jalan kepantai, disini tak ada pantainya...” keluhnya. “ Ryan juga bosan disini, habisnya...Noah suka mengganggu Ryan... “ lanjutnya lagi, mengadu. Airmataku mengalir semakin deras, aku hampir tak bisa menahan isakku. Ah, Ryan...anak itu memang paling tak bisa akur dengan Noah adiknya. Hampir setiap saat mereka selalu bertengkar, namun bila satu tak kelihatan, mereka selalu saling mencari.
“ Nanti kalau kita ketemu, pasti Mama ajak Ryan jalan-jalan ke pantai seperti dulu, tapi Ryan harus janji, bahwa Ryan akan baikan sama Noah, dan tidak akan pukul Noah lagi. Noah kan adikmu...janji ya Nak ? “
“ Tapi Mama harus janji juga sama Ryan, kalau kita akan segera bertemu, Ryan rindu sama Mama... “ ada tangis diseberang sana. Ryan menangis. Hatiku seperti tertusuk belati, sakit sekali. Dalam hati aku bersumpah, apapun yang akan terjadi, aku akan berjuang untuk anak-anakku. Rasanya tak adil bila kasih seorang Ibu terhadap anak-anaknya, harus terpisahkan hanya karena selembar kertas dan cap bernama “VISA”.


THE END

MINISERI-kisah Keluarga Om Kalo' & Tanta Onya - SERI 1 (Judul : Di Ibadah Kolom)

Hi semua, ketemu lagi...udah lama banget ya. Aku akhir2 ini sibuk banget, banyak kerjaan dan nggak punya waktu buat ngedit..kali aku ini mau posting dulu mini seri aku yang ditulis pake dialek Manado. Miniseri ini ada 8 seri, dan kutulis waktu tahun 2002. Bagi yang nggak ngerti, nggak apa-apa, aku mau posting yg lain juga kok, pake bahasa indonesia...Selamat menikmati ya...



DI IBADAH KOLOM


‘’ Onyaaaaaaaa !!!!! ‘’ dapa dengar Om Kalo pe suara rupa tu Tarzan ilang tali mamudu bapangge pa dia pe bini sayang-sayang. Biar kasiang tu umur perkawinan somo bajalang 20 taong, Om Kalo nyanda pernah pake tu istilah, ‘taong pertama kaweng, maitua tasangko di batu, paitua skop tu batu kong bilang “sapa ini ley so nyanda ada karja taruh batu di tengah jalang ? awas ta dapa pa dia itu !!”. Taong kalima kaweng, maitua tasangko di akar pohong, paitua cuma tengo kong basuara ; “bae-bae kasiang bajalang, banyak pohon basar memang di sini ! “. Taong ka spuluh perkawinan, maitua tasangko nentau di apa stou kong langsung jatung ka tanah, paitua langsung toreba ; “Ngana ini coba kwa’ kalo mo bajalang pake mata sadiki !! “. Nyanda ada di kamus Om Kalo tu kalakuang bagitu. Maklumlah, dulu waktu masa² batunangan, susah skali Om Kalo da dapa pa Tanta Onya. Soalnya, Tanta Onya itu termasuk primadona kampung, tambah lagi tanta Onya pe sebe pe jaha rupa tu anjing Helder pa dorang pe birman di sabalah. Pokoknya, kalo mo inga tu dulu-dulu, Om Kalo cuma jaga tatawa sandiri. Depe perjuangan dalam merebut tanta Onya pe hati memang luar biasa. Sampe² om Kalo pernah rako pa om Utu, depe saingan berat waktu itu. Mar itu dulu waktu masih muda. Skarang om Utu so kaweng, so ada anak. Dorang dua deng om Kalo batamang dekat sampe detik ini. Rupa skarang, om Kalo sementara ada tunggu pa om Utu for mo pigi ka ibadah kolom pa dorang om Hans pe rumah. Om Utu kwa’ ada janji mo singgah pa dia.
“ Kiapa ley kasiang ngana Kalo, babataria rupa tu tukang jual ikang melek ?! “ tanta Onya kelihatan kurang sanang.
“ Ngana ini eh Onya kita nyanda abis herang, tiap kali basaleng baju, deng jam-jam ngana baforo di muka cermin, kaluar kamari masih tetap Onya. So deng jiwa raga ada ba meikep, takira ley kong kaluar kamari so jadi rupa Tamara Bleki itu parampuang pe fasung di sinetron ! “ om Kalo stengah baterek pa tanta Onya.
“ Hi dodo’ ngana ini Kalo, asal-asal cumu ngana orang pe fam, nanti dorang tuntut di muka pengadilan baru kapo’ ! depe nama Tamara Blezinsky bukang Bleki, susah jo memang ngana ini kuno, nyanda jaga bauni tu sinetron !! “
“ Biar jo kasana ngana bilang kita ini kuno, tambah tu artis-artis nentau ada kerasukan opo lokon stou kong pake nama stengah mati mo cumu ! ngana ini kalo so klaar tempel² tu kueku di pongo-pongo, marijo torang somo pigi ka ibadah kolom, jang rupa minggu lalu waktu sampe, tu tuang rumah so sementara bajalang kukis ! “
“ Ah, ngana ini mo stel cari alasan ley Kalo ! ngana sandiri yang sengaja mo baterlambat lantaran so tau kalo yang mo pimpin ibadah om Arnol ! “ tanta Onya pe kata-kata langsung bekeng depe paitua so nyanda bisa berkutik. Om Kalo memang pastiu kalo Om Arnol yang pimpin ibadah, soalnya tu syamas satu itu kalo bekeng khotbah depe panjang lawang-lawang Suharto pe pidato 17 agustus. Pernah satu kali om Kalo riki tamudung lantaran nyanda sadar so tasono waktu om Arnol ada sementara pimpin doa syafaat. Om Kalo pe malo deng marah waktu itu memang sampe di solop. Bekeng lebe om Kalo pastiu, itu om Arnol pe doa syafaat depe panjang 2 x 45 menit kalo mo kase pisah deng depe bahela napas, lawang² menit bolakaki kwa’ memang !!
“ Hush !! palang-palang sadiki kalo mo bicara Onya, birman do’en riki somo dapa dengar ?! “ ternyata om Kalo katu’ tako birman dengar dia nyanda suka pa om Arnol pe khotbah. “ Marijo torang barangkat ! “ om Kalo langsung tarek depe bini pe tangan.
“ Kita pe kira ngana ada janji pa Utu mo tunggu pa dia ? “ tanta Onya herang batanya.
“ Biarakang jo kasana pa Utu itu, dia da bilang mo singgah kamari jam 7, ini so jam 7 lewat dia bulum muncul-muncul ! “
“ Terserah pa ngana noh, kalo ngana so suka mo pigi, marijo dang ! “
Torang pe om Kalo deng Tanta Onya langsung kaluar pintu rumah. Biasanya dorang salalu pigi kolom dengan Keke dorang pe anak semata wayang yang rupa anak² muda skarang pe istilah, baru mo bartumbuh taji alias umur² ABG ( anak baru gode’ eh gede !! ). Cuma berhubung Keke hari ini ada pigi balajar pa depe tamang pe rumah, cuma dorang dua laki-bini yang pigi ibadah.
Sampe pa om Hans pe rumah, ternyata so banyak orang di sana. Tu tampa duduk yang tuang rumah ada sadia akang amper fol. Om Kalo tatawa dalam hati, dia memang so bakira² kalo hari ini akang banyak orang yang datang.
“ Ngana lia jo Onya, kong sadiki jo tu manusia ni hari. Tau jo bukang, ibadah pa om Hans pe rumah, sapa dulu….! “ om Kalo babise pa tanta Onya pe talinga.
“ Hush, ngana ini eh pe mulu batata skali, kiapa so kalo banyak orang datang di sini ? “
“ Eh Onya, ngana do’ rupa tu nentau-nentau jo, biasa…dorang tau tanta Els tukang bekeng kukis sadap, makanya tiap kali ibadah di sini, salalu banyak tu kapala² pamalas muncul lantaran kukis. “
“ Kalo, ngana ini nembole berenti curiga sadiki ? ngana mo pi tau so kalo dorang datang lantaran kukis ato lantaran Tuhan ? “ tanta Onya so mulai pastiu deng om Kalo yang tinggal ada ba ober nyanda berenti.
“ Huss…badiang jo Onya, tu ibadah somo mulai ! “ om Kalo kase mata basar pa depe bini. Tanta Onya pe napsu so sampe di gargantang, om Kalo yang dari tadi nyanda stop angka cirita, ini dia bastel kase mata manyala rupa tu tanta Onya yang dari tadi tinggal ada ba pek-pek nyanda stop. ‘Awas ngana sampe di rumah sabantar’, tanta Onya bilang dalam hati. ‘Ta suruh tidor deng Brino di luar kwa’ pa ngana !!’.
Sementara doa pembukaan, om Utu muncul deng tanta Lena depe maitua. Dorang dua langsung dudu di dekat pa tanta Onya deng om Kalo, kebetulan masih ada 1 stengah tampa dudu di bangku itu. Sebenarnya boleh for dua orang, mar berhubung tanta Lena agak berukuran ‘Extra Large’, terpaksa tanta Lena cuma badudu stengah panta.
‘’ Uff…sorry Lo kita terlambat sadiki ! “ om Utu babise pa om Kalo
“ Makanya kita so nyanda tunggu pa ngana, Tu. Kiapa terlambat ?! “ tanya om Kalo balas babise.
“ Biasa…maitua pe smengken ilang, terpaksa musti bakutulung cari. “
“ Dasar memang parampuang, kang ? kita ley tadi kurang da stengah paksa pa Onya baru dia baangka dari muka cermin ! “
“ Hey !! coba badiang sadiki ngoni dua, ibadah blum klaar re’en !! “ tanta Lena batoreba, soalnya tu laki² dua itu lama² so nyanda bakubise, mar so jaga bacirita biasa. Om Utu deng om Kalo langsung tutu mulu. Om Utu sandiri tako basuara lebe, sebab terakhir kali dia manyao pa tanta Lena, tapis-tapis kalapa yang malayang pa depe kapala. Depe maitua itu memang panjaha, deng om Utu juga termasuk anggota ISTI ( ikatan suami takut istri ). Ibadah berjalan dengan khidmat sampe selesai. Om Kalo nyanda tasono, sebab kali ini bukang om Arnol yang pimpin, mar om Epo, dorang pe penatua. Waktu tuang rumah sementara ada bajalang kukis deng teh, om Kalo pe mata langsung tabuka lebar-lebar. Sebenarnya tadi dia memang so agak manganto sadiki, untung om Epo pe khotbah nyanda panjang-panjang. Om Kalo pe mata memang langsung tabuka lantaran dapa lia tu kukis lalampa depe kesukaan. Bukan sambarang kukis lalampa, mar lalampa made in tanta Els. Kalo lalampa orang laeng yang bekeng, om Kalo tolak. Tanta Els memang terkenal jago bekeng kukis sadap. Depe produk terkenal sampe luar daerah. Mar tanta Els tetap cuma suka jual di dalam kota depe kukis-kukis. Yang paling om Kalo suka, tanta Els pe lalampa memang laeng daripada yang laeng. Baik depe rasa maupun depe cara bakar. Berhubung tanta Els pe kukis so terkenal deng laris terjual, depe harga jadi agak-agak mahal. Mar tetap saja tiap hari minggu om Kalo salalu suruh pa Keke pigi beli for bekeng tamang minum kopi pagi-pagi biar cuma 10 biji lalampa.
Waktu giliran om Kalo, nya’ pake malo² dia langsung ambe 4 lalampa kong taruh pa dia pe piring. Tanta Onya pe biji mata riki amper balumpa kaluar dapa lia om Kalo ambe 4 biji tu kukis.
‘’ Eii Kalo, ngana ini eh bekeng malo jo, kong sadiki jo itu kukis ngana da ambe ! ‘’ protes tanta Onya lantaran so malo.
‘’ Onya kasiang, ibadah kolom di sini nanti ulang 6 bulan datang, mo dapa lalampa gratis bagini musti tunggu lama ley ! “ om Kalo nyanda farek deng depe bini pe protes. Tanta Onya langsung badiang dapa lia depe laki pe model. Memang kalo perkara lalampa-nya tanta Els, nyanda ada guna dia mo buka suara. Depe laki itu masuk kategori ‘pemadat’ kukis lalampa. Kalo mo dipikir-pikir, lebe bagus depe laki yang cuma jadi ‘pemadat’ kukis lalampa, daripada rupa om Kale, tanta Mina pe laki yang madat captikus kong tiap malam pinjam got di muka pa dorang oma Nona pe rumah.
Setelah samua so klaar, banyak yang mulai permisi pulang, termasuk om Utu deng tanta Lena. Dorang dua memang mo bacapat, lantaran Ungke cuma sandiri di rumah ( Ungke itu dorang dua pe anak terakhir umur sama deng Keke, dorang pangge sayang-sayang Ungke lantaran tanta Lena orang Sanger dari Tamako, om Utu sandiri dia orang Langowan atas. )
‘’ eh Kalo, Onya, somo kamuka re’en torang dua, neh ?! “ om Utu pamitan pa tanta Onya deng om Kalo, sambil baangka badiri.
“ Eh iyo dang kalo bagitu, jang lupa ibadah kaum bapa lusa neh Utu !! ‘’ om Kalo manyao pa om Utu.
“ Yo’i…don’t worry, Lo !! “ om Utu sok ber-Inggris ria, maklumlah dulu dia kan bekas guide. Om Utu deng tanta Lena lalu mulai bajalang ka pintu keluar. Tiba-tiba dapa dengar om Kalo bataria,
“ Utu, ngana pe kidung jemaat tatinggal di sini ! “ om Kalo lalu baangka capat-capat dari bangku for mo kase om Utu pe kidung jemaat. Baru dia sampe di tengah ruang tamu-nya om Hans & tanta Els, mendadak dari dalam om Kalo pe kaki calana panjang kaluar 8 biji kukis lalampa. Om Kalo pe muka langsung pucat rupa topong trigu, samua mata terarah pa om Kalo, ada yang sinis, ada yang tangisi-ngisi dapa lia om Kalo pe model. Tanta Onya sandiri pe muka ikut-ikutan jadi pucat. Dorang dua laki bini tanpa ba-bi-bu langsung permisi pulang.
Sementara ada bajalang di jalan, om Kalo buka suara,
‘’ Pe soe skali kita lupa kalo calana panjang ini pe popoji samua so lobang ! ‘’
‘’ Itu kwa’ ngana pe talimburang Kalo ! ‘’ tanta Onya menyalahkan om Kalo.
“ Mar ngomong-ngomong Onya, kiapa itu lalampa ada 8, sedangkan kita tau cuma 4 yang kita da taruh di dalam popoji ?!!!!
Tanta Onya pe muka langsung bersemu merah rupa baru abis ofu tikang…….


Paris, 21 FĂ©vrier 2002

Nantikan kisah keluarga om Kalo deng tanta Onya berikutnya…